Menuju konten utama

Tren Dakwah Politis, dari Medos hingga Layar TV

Mubalig menjadi sebuah profesi, perubahan tak terelakkan untuk mengisi dahaga kelas menengah Indonesia yang religius.

Tren Dakwah Politis, dari Medos hingga Layar TV
Ilustrasi: dakwah Islami antara bisnis dan politis. Tirto/Lugas

tirto.id - Anda bisa mudah menemukan ustaz yang terkenal berkat media sosial melebarkan media dakwah ke layar kaca, ataupun sebaliknya. Tawaran demi tawaran untuk tampil di TV berdatangan. Belum lagi dari kajian ke kajian off air hingga keliling kota. Deretan mubalig ini bahkan mengklaim jadwalnya sudah padat hingga 2020. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, logikanya para dai telah menjadi sebuah profesi, dengan tarif bervariarif.

Hal ini dibenarkan Muhammad Agung Izzulhaq, produser pelaksana sekaligus presenter "Damai Indonesiaku", program ceramah dua jam di tvOne yang tayang dua kali selama sepekan. Menurutnya, tarif off air para ustaz biasanya lebih mahal ketimbang on air. Kendati demikian, ia menolak menyebut tarif ustaz yang biasa mengisi ceramah untuk program tersebut.

“Karena sifatnya on air (disiarkan di TV), jadi sekaligus menjadi media para ustaz untuk dikenal masyarakat luas,” jelas Agung.

Ia menambahkan, program "Damai Indonesiaku" memiliki standar tersendiri terkait tarif ustaz dan sejauh ini tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan, lanjut Agung, ustaz sepopuler Abdul Somad pun tak pernah menetapkan tarif tertentu.

Produser program religi SCTV Endah Wulandari mengatakan tarif off air yang lebih mahal ketimbang on air, kendati ia menolak menyebutkan angkanya, karena kebutuhan teknis seperti akomodasi. Soal besaran tarif ustaz, ujar Endah, biasanya ditentukan tingkat popularitasnya.

Selama ia menggeluti industri televisi sejak 1992, Endah berkata bayaran untuk ustaz selalu dinegosiasikan. “Jadi tidak ada yang dominan satu sama lain. Kami selalu menggunakan jalan tengah. Tarif yang dipatok ustaz, kami sesuaikan dengan budget program,” ujarnya.

Baik Agung dari tvOne maupun Endah dari SCTV mengakui biaya operasional acara dakwah minus musik terbilang cukup murah. Tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam, stasiun TV bisa mendapatkan kue iklan.

Tren Program Ceramah, Lumbung Iklan Stasiun TV

Setidaknya dalam satu dekade terakhir, paras layar kaca tanah air cenderung lebih religius. Kendati bukan dominan, tetapi program ceramah ustaz, apalagi di bulan Ramadan, mendapatkan porsi besar. Misalnya tvOne yang menayangkan konten religius lebih dari 10 persen dari proporsi acara per hari selama Ramadan, atau SCTV yang mencapai hampir 7 persen.

Pertanyaannya, seberapa besar animo khalayak sehingga stasiun TV ramai-ramai menayangkan program dakwah?

Kendati sampai kini belum ada data yang bisa diakses publik, kita bisa melihatnya melalui perolehan rating dan share program. Program "Kata Ustadz Solmed", yang disiarkan SCTV, pernah menembus share 31. Sebagai gambaran, share sinetron, program dengan rating tertinggi di Indonesia, paling banter hanya bisa menyentuh angka 15. Itu pun sudah menduduki peringkat nomor satu dari seluruh stasiun. Terbaru, program "Gema Ramadan"—tayangan yang namanya "Semesta Bertasbih" bila di luar bulan puasa—berhasil mendapat share 15,9 dengan pengisi acara Ustaz Adi Hidayat.

Banyak faktor yang menentukan tinggi-rendahnya share suatu program. Dari jam tayang, pengisi acara, hingga tema yang diusung dalam suatu episode program. Satu yang pasti, rating dan share untuk saat ini menjadi satu-satunya rapor yang menunjukkan seberapa besar suatu program diminati masyarakat, dan tentu meraup kue iklan.

Menarik melihat tvOne. Mengklaim sebagai stasiun televisi berita, televisi yang dimiliki pengusaha-cum-politikus Aburizal Bakrie ini dalam praktiknya memberi porsi cukup besar untuk program dakwah. Ia jauh berbeda jika dibandingkan Kompas TV yang sama-sama stasiun televisi berita. Program dakwah dari televisi punya Jakob Oetama ini hanya mengisi 4,17 persen dari seluruh acara setiap hari, satu program berdurasi 60 menit, bernama "Syiar Syiar Ramadan."

Infografik HL Indepth Dai Seleb

Kawin Silang Mubalig & Politik

Savic Ali, peneliti Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menilai ada corak tertentu pada masing-masing stasiun televisi bila menyangkut program dakwah tersebut.

Ia mencontohkan Metro TV yang dianggapnya "cenderung moderat" karena menampilkan ulama Quraish Shihab. Ada Trans 7 yang lebih memilih "ustaz-ustaz Salafi" berpandangan konservatif, serta Kompas TV yang "bermain aman" dengan ulama-ulama seperti Mustofa Bisri atau Gus Mus.

Sementara tvOne, katanya, kerap menghadirkan "ustaz-ustaz provokatif" karena upaya stasiun televisi itu menggaet penonton.

“Mereka cari yang sedang terkenal. Tampaknya tidak terlalu mempertimbangkan apakah ustaz tersebut memiliki perspektif kebangsaan atau tidak,” ujar Savic kepada Tirto, Jumat terakhir bulan Mei.

Namun secara umum, menurutnya, mubalig-mubalig yang menghiasi layar kaca itu cukup “aman” untuk masyarakat.

Menurut Savic Ali, gerakan 212—mobilisasi politik di panggung pemilihan gubernur Jakarta tahun lalu—hanya memicu panggung keagamaan menjadi lebih politis. Para ustaz mulai memasuki ranah politik, kata Savic, "kendati mereka tak paham betul persoalan."

Intoleransi masih menjadi konten paling menjual yang dibawakan para ustaz, yang dibantu sebarannya lewat media sosial. “Masyarakat lebih senang yang bombastis,” ujarnya.

Meski ada paras dakwah yang disebut Savic sebagai "bombastis" itu, toh mubalig yang berpandangan moderat masih minim memanfaatkan media sosial sebagai sarana adu narasi untuk mengkonter pesan-pesan intoleran. Mereka masih asyik berkutat di gelanggang konvensional, ujarnya.

Karena itu, demi menutupi peran di kalangan muslim moderat, Savic bersama koleganya membuat situsweb Islami.co seraya melebarkan target pembaca NU Online.

“Ini untuk memastikan kepada masyarakat bahwa Islam yang dipeluk itu moderat dan toleran,” kata dia.

Baca juga artikel terkait DAKWAH ISLAM atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri & Aulia Adam
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam