Menuju konten utama

Trauma dan Terabaikan: Anak-anak di Tengah Konflik Vertikal

Sudah lebih dari tiga dekade sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Namun anak korban konflik antara negara dan warga, cenderung terabaikan.

Trauma dan Terabaikan: Anak-anak di Tengah Konflik Vertikal
Ilustrasi anak korban penggusuran. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Khanza akan merayakan ulang tahun ke-6, Rabu 17 Agustus lalu. Orang tuanya, Desi dan Lindung, sudah menyiapkan perayaan kecil-kecilan untuk anak bungsu mereka itu. Kue ulang tahun sudah disiapkan.

“Sebentar ya, Nak. Ibu siapkan dulu barang dagangan kita, setelah itu baru potong kue ulang tahunnya,” kata Desi kepada anaknya yang sejak siang mulai rewel dan bertanya-tanya kapan kue ulang tahunya akan dipotong. Rencananya kue itu bakal di potong di lapak Desi di Pantai Purus, Padang.

Janji itu urung terwujud. Beberapa menit setelah barang dagangan terkembang, sore yang cerah itu berubah kelabu bagi keluarga Desi dan keluarga PKL lainnya di Pantai Purus.

Kurang lebih 150 personel Satpol PP Kota Padang datang ke Pantai Purus mencoba menggusur para pedagang. Upaya penggusuran yang represif disertai kekerasan verbal terhadap PKL, segera menyulut kerusuhan. Aksi saling lempar batu antara petugas dan massa terjadi.

Korban berjatuhan. Pihak Satpol PP mengklaim 5 anggotanya terluka, dan 2 unit mobil rusak. Beberapa pedagang dikeroyok petugas, termasuk seorang remaja perempuan anak salah satu pedagang. Seorang anak mengalami luka di bagian kening akibat terkena lemparan batu. Seorang pengunjung perempuan yang hendak merekam kericuhan, turut menjadi korban kekerasan oleh Satpol PP.

Menurut laporan LBH Padang dalam jumpa pers pasca kericuhan, masih ada korban lain dari pihak pedagang dan warga yang enggan melapor. 2 pedagang dan 1 pengunjung telah melapor ke Polresta Padang.

Sore 17 Agustus itu merupakan upaya penggusuran besar-besaran dan paling ‘brutal’ selama beberapa tahun terakhir di Pantai Purus.

Atas nama pembangunan pariwisata, sejak 3 bulan terakhir Pemerintah Kota Padang terus mencoba menggusur puluhan PKL Pantai Purus. Nyaris setiap hari, di luar kericuhan, ada gesekan antara petugas Satpol PP dan pedagang. Sebelumnya, pada akhir Juni dan awal Juli, juga terjadi kericuhan dalam skala yang lebih kecil. Beberapa pedagang diberitakan mengalami penganiayaan.

Di sepanjang 4 KM garis Pantai Purus sendiri, terdapat kurang lebih 50 PKL yang menggantungkan ekonomi keluarganya. Mayoritas PKL adalah kaum ibu penduduk Purus—suatu pemukiman miskin di Kota Padang. Mereka berdagang di bibir pantai dengan membawa serta anak-anaknya. Setidaknya terdapat 20-an anak-anak di kawasan tersebut yang terpaksa menyaksikan kekerasan demi kekerasan dan berhadap-hadapan dengan berbagai bentuk intimidasi.

Parade Kekerasan Anak

Parade Kekerasan Negara Terhadap Anak. foto/Randi Reimena

“Ayahmu kena keroyok,” kata Desi, menirukan ucapan Khanza yang saat itu diberi tahu ada keributan di tepi pantai oleh tetangga. Lindung, ayah Khanza, adalah satu korban pengeroyokan petugas pada 17 Agustus itu. Saat peristiwa itu terjadi, Khanza sedang berada di rumah yang berjarak sekitar 100 meter di seberang jalan dari titik kerusuhan. Bocah lima tahun itu menangis keras dan berusaha mencari kedua orang tuanya.

Desi tak tahu persis apakah anaknya sempat menyaksikan peristiwa tersebut. Namun yang jelas, setelah itu, tingkah laku Khanza mulai berubah. Khanza yang biasanya periang, kini lebih banyak banyak murung. Desi melihat ada perubahan dan sadar bahwa anaknya mengalami trauma.

"Sampai sekarang dia sangat ketakutan kalau melihat Satpol PP," terang Desi.

Khanza bahkan menangis ketakutan jika melihat ayahnya memakai baju yang dipakai di hari kerusuhan.

"Ayah jangan pakai baju itu lagi. Tidak boleh," kata Desi menirukan Khanza.

Fathar meraung sejadi-jadinya. Di depan mata kepalanya, anak 5 tahun itu melihat kakak perempuannya Regi (16) diamuk petugas praja wanita Satpol PP. Rika, ibu mereka, berusaha menolong.

“Saya coba lindungi Regi dengan badan saya, tapi anak saya tetap dipukul. Jilbabnya ditarik sampai lepas”, kata Rika.

Sejak kerusuhan pada 17 Agustus itu, Fathar menjadi makin takut melihat seragam Satpol PP. Fathar juga menangis jika ayah dan ibunya membahas peristiwa hari itu.

“Takut Fathar. Jangan cerita Kak Egi dipukul,” kata Rika menirukan anaknya.

"Anak-anak ramai di sini," kata pedagang lain bernama Ika saat menjelaskan kondisi Pantai Purus yang jadi semacam taman bermain bagi anak-anak. "Tapi sejak ada kerusuhan itu, mereka jadi ketakutan."

Saat kerusuhan pecah pada 17 Agustus itu Ika menyaksikan Greska (5) anaknya menggigil ketakutan. "Dia langsung sembunyi di bawah kolong meja, lalu menangis memanggil-manggil saya," kata Ika.

Greska jadi pemurung setelah menyaksikan peristiwa hari itu. Sebelum kerusuhan itu Greska adalah anak yang riang dan lincah.

Khanza, Fathar, dan Greska adalah beberapa di antara setidaknya 20-an anak pedagang Pantai Purus yang berusia antara 5-11 tahun.

Saat saya mewawancarai ibu-ibu pedagang lainnya pasca kerusuhan, mereka mengatakan umumnya anak-anak ketakutan melihat petugas Satpol PP. Mereka akan berlarian, menangis, atau memeluk ibunya erat-erat begitu melihat petugas Satpol PP lewat.

Parade Kekerasan Anak

Parade Kekerasan Negara Terhadap Anak. foto/Randi Reimena

Bahaya Anak yang Terpapar Kekerasan

Menurut pakar kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Limijati Bandung, Elvine Gunawan, apa yang dialami oleh anak-anak pedagang di Pantai Purus adalah kondisi stress pasca trauma. Kondisi tersebut bisa terjadi karena anak-anak terus menerus terpapar kekerasan di sekitarnya. Dampaknya bisa berbahaya.

Terlebih anak-anak usia dini seperti Fathar atau Khanza. “Semakin dini usia anak menyaksikan kekerasan, semakin sering mereka terpapar kekerasan, semakin besar risiko gangguan mental emosional anak tersebut ketika dia dewasa,” kata Elvine saat saya hubungi lewat panggilan telepon, Minggu (11/9).

Jika tidak mendapat penanganan, lanjut Elvine, selain berpotensi menimbulkan depresi berkepanjangan juga sangat mungkin membuat anak tumbuh menjadi individu yang agresif dan punya kecenderungan melakukan tindak kriminal.

Kondisi tersebut bisa menjadi makin parah jika terjadi di kawasan pemukiman kelas bawah seperti Purus.

Menurut Elvine, kemiskinan berkaitan erat dengan tumbuh kembang anak. Anak-anak yang hidup dalam keluarga kelas bawah pola tumbuh psikoneurogeniknya cendrung tidak baik. “Anak-anak [dari keluarga kelas bawah] ini lebih gampang stres, cendrung punya gangguan kognitif,” tambahnya.

Karenanya, menurut Elvine, jika Pemerintah Kota bersikeras melakukan penggusuran, terlebih dengan cara-cara represif, maka akan tercipta lingkaran setan. Keadaan ekonomi keluarga yang makin memburuk akibat kehilangan mata pencaharian ditambah dengan praktik kekerasan yang dipertontonkan aparat pemerintahan, akan menjadi lahan subur bagi bibit-bibit kriminalitas di masa depan.

Sampai berita ini ditulis, belum ada solusi dari Pemerintah Kota Padang terkait persoalan PKL di Pantai Purus. Perwakilan Pedagang yang didampingi LBH Padang telah melakukan audiensi dengan Pemerintah Kota. Mereka telah menyatakan menolak digusur dan meminta Pemerintah Kota memfasilitasi kegiatan dagangnya. Namun Pemko masih belum memberi jawaban pasti. Satpol PP Kota Padang, sebagai perpanjangan tangan Pemko Padang, melalui akun Instagramnya mengatakan akan tetap menertibkan (baca: menggusur) PKL di sepanjang Pantai Purus dengan dalih melanggar ketertiban umum.

Parade Kekerasan Anak

Parade Kekerasan Negara Terhadap Anak. foto/Randi Reimena

Anak dalam Konflik Vertikal

Sudah lebih dari tiga dekade sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Konstitusi pun sudah mengakui hak anak lewat amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Sebuah kementerian yaitu Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) serta lembaga pemerintah yang bersifat independen yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), didirikan untuk memastikan terlindungi dan terpenuhinya hak anak.

Selain anak korban kekerasan seksual, KemenPPPA dan KPAI telah memberi perhatian besar pada anak korban konflik sosial yang sifatnya horizontal. Namun anak korban konflik vertikal antara negara dan warga, cenderung terabaikan.

Berbeda dengan anak korban kekerasan seksual dan anak korban konflik horizontal, sejauh ini KPAI ataupun KemenPPA tidak punya kajian serta data pasti terkait anak-anak terdampak konflik vertikal antara pemerintah dan warga.

Sementara itu konflik antar pemerintah dan warga terus terjadi. Penggusuran hunian maupun penggusuran lapak PKL yang disertai dengan kekerasan dengan anak-anak sebagai korban terus berlangsung, terutama di wilayah perkotaan. Kebijakan pembangunan yang inklusif, yang mempertimbangkan kepentingan serta hak anak masih jauh panggang dari api.

Pembangunan Tuna Hak Anak

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengakui hal tersebut. Menurutnya ketika ada penggusuran, pemerintah seringkali tidak memperhatikan terlindunginya hak anak.

“Anak-anak kerap dilihat sebagai objek yang terpisah dari kebijakan penggusuran,” Kata Jasra. Dan menurutnya, kondisi tersebut terjadi hampir di banyak kasus. “Idealnya Dinas Perlindungan Anak harus terlibat aktif ketika ada rencana penggusuran yang berpotensi menimbulkan bentrokan. Namun, dalam praktiknya, hal itu tak terjadi.”

Diabaikannya lembaga seperti KPAD dan DPPA dalam merancang kebijakan pembangunan tampak dalam banyak kasus. Di Bandung misalnya. Anak-anak penghuni pemukiman di Jalan Anyer Dalam, Bandung, pada 19 November 2021, mengalami trauma karena menyaksikan proses penggusuran paksa yang disertai kekerasan. Pada 13 Desember 2019, proses penggusuran dengan kekerasan juga terjadi di depan mata anak-anak yang mengakibatkan puluhan anak mengalami trauma. Di Tangerang, anak-anak korban penggusuran Tol JORR2, mengalami trauma karena intimidasi aparat. Di Sunter, Jakarta, anak-anak mengalami tekanan psikologis karena penggusuran.

Lembaga-lembaga tersebut baru ikut terlibat setelah terjadinya penggusuran. Dalam kasus-kasus tersebut, seperti kasus di Taman Sari, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru akan melakukan penanganan dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setelah anak-anak menjadi korban.

Nasib Anak Korban Konflik Vertikal di Daerah

Kondisi di Bandung atau Jakarta sedikit lebih baik dibanding daerah seperti Padang. Selain KPAI yang segera turun tangan meski tetap saja diabaikan dalam merancang kebijakan pembangunan, di sana juga terdapat komunitas-komunitas warga serta relawan yang mengadakan trauma healing.

Di Bandung, relawan dan komunitas lokal segera turun tangan untuk menyembuhkan trauma anak-anak tersebut. Di Anyer Dalam, Komunitas Badut Necis, mengadakan trauma healing bagi anak-anak. Di Taman Sari, beberapa relawan turun ke lokasi tak berselang lama setelah terjadinya penggusuran yang disertai kekerasan itu. Demikian juga dengan anak korban penggusuran di Pancoran, Jakarta.

Di Padang itu semua tidak terjadi. Anak-anak PKL Pantai Purus nyaris diabaikan begitu saja. Tak ada relawan yang turun ke lokasi, sejumlah LSM yang bisa menjadi jembatan bagi anak dengan Pemerintah Daerah juga belum hadir.

Institusi pemerintah terkait perlindungan anak pun tidak bereaksi. Padahal Kota Padang punya Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Padang dan satu Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Anak (UPTD PA) Provinsi Sumatera Barat yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Sumatera Barat.

Dua minggu setelah kerusuhan, Rika, Desi, Ika, dan ibu-ibu PKL lainnya masih kebingungan melihat kondisi anak mereka. Mereka tidak tahu harus kemana mengobati anaknya.

“Bagaimana cara menyembuhkan Khanza ini?” tanya Desi. “Kalau bisa Khanza seperti dulu lagi dan tidak khawatir berlebihan kalau ayahnya bepergian.”

Saat mencoba mencari tahu bagaimana mekanisme penanganan anak terdampak kekerasan seperti Khanza ke institusi terkait yang ada di Padang, ternyata prosesnya cukup berbelit.

Awalnya saya mencoba membuat laporan online di situs yang dibuat DPPPA Provinsi Sumbar. Namun membuat laporan di layanan bernama SIPPAK (Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan) itu juga tidak mungkin.

Salah satu syarat wajib membuat laporan ialah data diri pelaku kekerasan yang harus detail. Pelapor wajib mengisi form berisi pelaku, NIK, tanggal lahir, alamat sesuai KTP, sampai nama ayah dari si pelaku. Hal tersebut tentu sangat sulit karena pelaku bukan dari rumah tangga yang sama atau individu dari lingkungan sekitar korban.

Saya kemudian mendatangi langsung Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Padang. Pejabat di sana mengatakan tidak tahu kalau ada kasus di Pantai Purus. "Sejauh ini kami belum mengetahui adanya kasus seperti itu saat penertiban di Pantai Purus," kata Kepala Seksi Perlindungan Anak, Suryani, Selasa, (8/9).

Suryani melihat bahwa justru Satpol PP lah yang menjadi korban. “Tapi di pemberitaan yang saya baca, Satpol PP yang jadi korban dan mengalami luka-luka,” katanya. Kalau memang ada anak yang mengalami trauma, “Akan kita rujuk ke psikolog,” katanya lagi.

Biasanya lembaganya akan turun setelah menerima pengaduan masyarakat soal adanya anak yang mengalami kekerasan. Namun saat ditanya apakah lembaganya akan turun meninjau kondisi anak-anak pedagang di Pantai Purus, Suryani tak memberikan jawaban pasti. "Kita koordinasikan dulu dengan Kepala Dinas, karena akhir-akhir ini beliau sangat sibuk dan banyak kegiatan," kata dia.

Saya juga mendatangi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Sumbar untuk menanyai mekanisme penanganan terhadap anak-anak terdampak konflik. Lalu saya diarahkan ke UPTD PA Sumatera Barat, namun tak ada seorang pun di kantor tersebut saat saya datangi. “Semuanya sedang ada rapat di luar,” kata petugas pengamanan, Kamis (1/9).

Kepala UPTD PA Sumbar, Hendri Hasbullah, yang kemudian dihubungi lewat panggilan telepon pada Selasa (13/9), mengatakan jika kasusnya terjadi di Kota Padang, maka pihaknya membutuhkan rekomendasi terlebih dahulu dari dinas yang berwenang di wilayah Kota Padang yaitu DP3AP2KB Kota Padang.

“Untuk kasus seperti di Purus, karena berada di kota Padang, itu jadi kita tidak bisa masuk kalau dinas yang di kota tidak memberikan rekomendasi,” Kata Hendri.

Kalaupun UPTD PA Sumbar bisa turun tangan, menurut Hendri, hasilnya pun belum bisa maksimal karena kurangnya sumber daya.

“Kita ga punya psikolog. Jadi harus cari psikolog dulu,” lanjutnya. Ia kemudian menjelaskan bahwa biasanya yang diajak kerjasama adalah psikolog dari Unand, namun itu pun baru bisa berjalan sepanjang tidak ada bentrokan jadwal. “Setelah dapat psikolognya, jadwalnya harus disesuaikan juga.”

Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Sumbar. Kata Hendri “Kebanyakan UPTD [di Indonesia], juga di Sumbar, ga punya psikolog.”

Di tengah situasi tersebut, Pemko Padang belum juga membuat lembaga independen seperti Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) yang bisa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak di daerah.

Ironi Kota Layak Anak

Juli lalu Kota Padang dianugrahi Kota Layak Anak oleh KemenPPPA. Penghargaan tersebut diklaim sebagai bukti “bahwa Pemko Padang bekerja maksimal selama ini. Melindungi hak-hak anak serta memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak.”

Menurut Pemko, anugerah tersebut didapat berkat “program-program di hampir seluruh OPD di Pemko Padang memang diarahkan untuk dapat memenuhi hak anak”. Program tersebut antara lain, pencarian anak berbakat melalui program Wali Kota Cilik (Wakoci), didirikannya Forum Anak di tingkat kecamatan dan kelurahan, pengadaan WiFi gratis di kelurahan.

Selain itu, Pemko juga mengatakan kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Kota Padang dapat ditangani dengan baik.

Akhir tahun lalu, Padang menjadi pusat protes atas maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Beberapa kelompok masyarakat sipil menggaungkan Sumbar Darurat Kekerasan Seksual dan turun ke jalan. Mulai dari tokoh adat, pemuka agama, akademisi, angkat suara, menuntut pemerintah mengambil langkah konkrit. Media dan publik mengawal kasus-kasus tersebut. Ini adalah kabar baik bagi perlindungan dan pemenuhan hak anak korban kekerasan seksual.

Di kota yang sama, puluhan anak PKL Pantai Purus harus hidup dalam ketakutan dan trauma, jauh dari kondisi layak. Hak mereka atas rasa aman serta untuk mendapat konseling belum terpenuhi. Meski begitu, kebanyakan Kaum Ibu PKL Pantai Purus tak punya pilihan selain membawa mereka ke lokasi berdagang keras itu. Selain rumah yang memang kosong karena semua anggota keluarga harus bekerja di luar rumah, mereka tidak punya biaya untuk menitipkan anak-anaknya di tempat seperti PAUD.

Tak lama lagi anak-anak PKL Pantai Purus memasuki usia wajib sekolah. Namun ibu mereka belum tahu bagaimana akan membiayai pendidikan anak-anaknya. Jika pemerintah tetap menggusur lapak-lapak mereka, maka masa depan anak-anak tersebut akan semakin suram. Tanpa support system dari masyarakat dan pengabaian oleh pemerintah, mereka harus berjuang sendiri-sendiri.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya

tirto.id - Indepth
Reporter: Nandito Putra & Randi Reimena
Editor: Adi Renaldi