Menuju konten utama

Trastuzumab, Obat Kanker Payudara yang Tak Lagi Ditanggung BPJS

Trastuzumab sebagai obat pasien kanker payudara tak ditanggung oleh BPJS Kesehatan terutama bagi peserta yang baru terdiaknosis.

Trastuzumab, Obat Kanker Payudara yang Tak Lagi Ditanggung BPJS
Herceptin Trastuzumab. REUTERS/Luke MacGregor

tirto.id - Kanker merupakan salah satu penyakit yang membawa pengaruh besar terhadap kehidupan sosial ekonomi penderitanya. Proses pengobatan dan obat-obat kanker butuh biaya yang tak sedikit.

Sejak pertama kali Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan dibuka dan menjamin pengobatan pasien kanker. Jumlah penderita kanker yang selama ini “bersembunyi” akibat ketidakmampuan biaya akhirnya muncul ke permukaan.

Kepala Subdirektorat Penyakit Kanker dan Kelainan Darah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Niken Wastu Palupi mengatakan, jumlah pembiayaan untuk pengobatan kanker terus naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, beban biaya kanker pada 2014 mencapai Rp1,5 triliun, meningkat pada 2015 jadi Rp2,2 triliun. Pada 2016, biayanya bertambah jadi Rp2,3 triliun. Pada 2017, hingga September saja biaya sudah mencapai Rp2,1 triliun.

Beban biaya pengobatan untuk kanker ada di urutan kedua setelah jantung. Padahal jumlah kasus kanker di Indonesia hanya mencapai 4,8 juta sementara jantung mencapai 22,9 juta kasus. “Jelas biaya per orang untuk kasus kanker lebih besar,” kata Niken dalam paparan di Kemenkes beberapa waktu lalu.

Di luar persoalan dana pengobatan kanker yang terus membesar, para pasien yang sebelumnya tak terjamah akses pengobatan akhirnya bisa memperjuangkan kesempatan hidupnya dengan program BPJS Kesehatan. BPJS menjamin sebagian besar fasilitas dan obat-obat pasien penderita kanker.

Sayangnya, belakangan muncul rencana pembatasan obat kanker dari BPJS Kesehatan. Hal tersebut diutarakan oleh Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti-fraud Rujukan BPJS Kesehatan, Elsa Novelia, pada bulan lalu.

"Kita cari pilihan obat lain dengan mempertimbangkan tak hanya soal biaya tapi juga efektivitas obat," kata Elsa dalam seminar Harapan Penderita Kanker di Era BPJS kala itu.

Trastuzumab diperuntukkan bagi pasien kanker payudara metastasis dengan status penanda HER2 positif. Pasien dengan HER2 positif memiliki protein berlebih di luar sel-sel tubuh yang bertindak sebagai reseptor dan mendorong pertumbuhan sel. Rencananya, trastuzumab hanya diberikan pada pasien yang sudah mendapat terapi ini sebelum 1 April, tapi tidak berlaku bagi pasien BPJS Kesehatan yang baru terdiagnosis sesudah 1 April 2018.

"Batasnya 1 April, pasien sebelum itu dijamin terapinya sampai selesai, pasien sesudah itu tidak dijamin," tegas Elsa.

Keputusan BPJS ini mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Klinis (DPK). Lembaga ini bertugas sebagai penengah sengketa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan berada di bawah Kemenkes. Mereka menilai trastuzumab tidak efektif untuk terapi kanker payudara stadium lanjut sehingga keberadaannya ditinjau ulang dalam Formularium Nasional (Fornas). Akibatnya keputusan ini menimbulkan kontroversi terutama di kalangan penderita kanker payudara.

“Sampai saat ini trastuzumab memang obat yang paling efektif. Jadi pasien kan kaget apalagi yang sedang pengobatan,” ujar Shanti Persada dari Love Pink, sebuah organisasi yang berisikan para penyintas kanker payudara.

Shanti menceritakan perjuangannya melawan kanker payudara dengan bantuan obat trastuzumab. Baginya, obat tersebut sangat berjasa mengantarkannya pada kesembuhan. Sejak pertama kali didiagnosis kanker payudara stadium 3B pada 2010, Shanti sudah menggunakan trastuzumab sebanyak 30 kali untuk pengobatan. “Obat itu sangat berarti buat saya.”

Infografik Trastuzumab

Biaya Obat yang Mahal

Shanti adalah representasi pasien kanker payudara lainnya yang masih memiliki harapan agar BPJS berubah pikiran. Jika pun tidak, setidaknya terdapat obat subtitusi atau pengganti yang memiliki efektivitas setara atau malah lebih baik dari trastuzumab.

“Jika tidak ditanggung BPJS kita jadi susah karena mahal,” katanya.

Pasien kanker payudara setidaknya menerima delapan kali terapi dengan trastuzumab. Obat ini per vial dihargai Rp25 juta, sehingga setidaknya total pengeluaran per delapan siklus mencapai Rp200 juta.

dr.Sonar Soni Panigoro, dari Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia mengatakan, mahalnya biaya membeli trastuzumab membuat keuangan BPJS jadi kocar kacir. Selama ini, saking mahalnya, trastuzumab hanya diberikan pada pasien yang sudah berada pada stadium lanjut. Periode terapinya diperkecil jadi delapan siklus. Padahal, idealnya mereka menerima 17 siklus dalam setahun.

“trastuzumab membikin ratusan miliar (rupiah) keluar hanya untuk kelompok tertentu.”

Bila ditilik dari sisi kesehatan, obat ini memang memberikan manfaat bagi pasien kanker payudara. Dengan trastuzumab harapan hidup pasien bisa meningkat lebih dari 20 persen. Namun, ia hanya digunakan oleh kelompok pasien tertentu. Menurut Sonar, secara kasar hanya 20 persen pasien kanker payudara yang memakai obat ini. Kasus HER2 positif hanya sebesar 15-20 persen dari seluruh kanker payudara di dunia.

Pasien yang diberi trastuzumab akan dinilai kepatutannya oleh dokter. Tidak semua pasien dengan status penanda HER2 positif mendapatkannya. Hanya mereka yang memiliki peluang, tapi tidak bagi mereka yang harapan hidupnya dinilai kecil.

Ia mengaku trastuzumab sebagai sebuah dilema. Di sisi ekonomi kesehatan, obat tersebut terlalu mahal, sedangkan anggaran yang dimiliki BPJS terlalu sedikit. Bahkan bila trastuzumab ditiadakan, anggarannya dapat dialokasikan kepada jenis obat lain yang lebih banyak digunakan oleh pasien BPJS Kesehatan.

Organisai kesehatan dunia, WHO telah memasukan trastuzumab dalam daftar obat yang diperlukan dalam sistem perawatan kesehatan dasar. Ia bahkan dinilai paling efektif dan aman untuk kondisi yang memerlukan prioritas penanganan. Artinya, mencabut trastuzumab dari fornas sama saja meruntuhkan harapan hidup pasien kanker payudara, terutama peserta BPJS Kesehatan.

Salah satu pihak yang turut menentang pencabutan trastuzumab dari fornas adalah Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) Cabang DKI Jakarta, Dr Ronald Hukom SpPD KHOM. Ia mengatakan obat ini sudah teruji mampu mengobati pasien kanker payudara. Hingga kini trastuzumab merupakan standar terapi dan satu-satunya pilihan terapi lini pertama HER2 positif.

“Obat ini sudah membantu proses penyembuhan banyak pasien kanker payudara,” katanya seperti dikutip dari situs resmi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra