Menuju konten utama

Transplantasi Penis Ternyata Bukan Hal yang Mustahil

Namun, selain harus menghadapi risiko penolakan fisik, penerima organ harus beradaptasi secara psikis dengan organ baru pada tubuhnya.

Transplantasi Penis Ternyata Bukan Hal yang Mustahil
Ilustrasi transplatasi penis. tirto.id/Fiz

tirto.id - Keberhasilan tim dokter di Amerika Serikat melakukan transplantasi penis dan skrotum lengkap pada Maret 2018 menjadi solusi bagi individu yang memiliki cedera penis. Orang-orang dengan kanker, riwayat kecelakaan, atau penyakit lainnya dapat memperbaiki fungsi seksual dan urinari sehingga identitas, harga diri, dan hubungan personalnya kembali normal.

Transplantasi yang dilakukan tim dokter rumah sakit Johns Hopkins itu menjadi operasi genital lengkap pertama di dunia. Mereka melakukan tindakan selam 14 jam pada seorang tentara militer Amerika Serikat yang terluka parah akibat ledakan di Afganistan. Richard Redett, ketua tim transplantasi, berani menjamin pasien akan pulih dan mendapatkan fungsi genitalnya kembali.

“Butuh waktu sekitar enam bulan bagi saraf untuk pulih dan kembali berfungsi,” katanya, seperti ditulis Telegraph.

Ahli bedah memindahkan seluruh penis, skrotum tanpa testikel, dan dinding perut parsial dari donor yang sudah meninggal. Mereka menghubungkan tiga arteri, empat pembuluh darah, dan dua saraf untuk memberi jalan bagi aliran darah masuk ke jaringan donor. Tim melakukan pembedahan dengan melibatkan transplantasi kulit, otot dan tendon, saraf, tulang, dan pembuluh darah.

“Saraf dan pembuluh darah dihubungkan kembali, dilihat dengan bantuan mikroskop.”

Meski mendapat donor penis dan skrotum lengkap, menurut Telegraph, tentara tersebut tidak bersedia menerima testis dari donornya. Testis mengandung sperma dari donor yang baru saja meninggal, sehingga ia menolak untuk menghindari masalah etika yang mungkin terjadi ketika punya anak nanti. Segera setelah itu, pada Mei 2018 tim peneliti dari Massachusetts General Hospital, Boston mengafirmasi transplantasi penis berhasil dilakukan pada pasien dengan riwayat penititis subtotal kanker penis.

Sejatinya, usaha melakukan transplantasi penis sudah dijalankan berpuluh-puluh tahun lalu. Menurut laporan Guardian, Anthony Atala, seorang ahli bedah urologi telah memiliki konsep transplantasi penis manusia sejak 1992. Namun, ia mencoba merancang penis menggunakan sel pasien, bukan sel donor.

Pada 1970-an, satu-satunya pilihan perawatan bagi pasien dengan cedera penis adalah dengan mengkonstruksi penis dengan kulit dan otot dari paha atau lengan bawah. Fungsi seksual dapat dipulihkan dengan prostetik penis yang ditanam.

Prostetik penis dapat dipilih dalam dua bentuk. Yang pertama adalah prostetik berupa penis lunak, bentuknya semi kaku, sehingga sulit disembunyikan dari balik celana.

Kedua, tipe prostetik yang batangnya bisa digelembungkan sewaktu-waktu menggunakan pompa larutan garam yang ditempatkan dekat skrotum. Teknologi ini masih berbentuk sederhana dan terasa kurang nyaman saat melakukan penetrasi. Masih menurut laman yang sama, pada 2006 Atala dan timnya mengumumkan keberhasilan transplantasi organ bioteknologi pertama. Mereka menanam kandung kemih terhadap tujuh pasien pada 1999.

Dua tahun setelah pengumuman tersebut, Atala dan rekan-rekannya dari Wake Forest Institute for Regenerative Medicine melakukan uji coba transplantasi penis hasil rekayasa biologis ke 12 kelinci. Semua kelinci dikawinkan dan empat di antaranya berkembang biak. Awal 2014, ia juga mengklaim sukses mentransplantasi vagina bioteknologi pada empat perempuan yang dilakukan pada 2005-2008.

“Tapi [membuat penis] manusia terbukti sulit karena lebih rumit secara struktural dan kepadatan selnya,” kata Atala, seperti ditulis Dara Mohammadi di laman Guardian.

Penis terdiri dari jaringan unik erektil spons. Selama ereksi, sinyal dari saraf memicu pembuluh darah melebar dan darah mengisi jaringan spons sehingga penis memanjang dan kaku. Atala menggunakan teknik sedikit berbeda untuk transplantasi penis dengan rekayasa biologis. Rumah penis tetap diambil dari donor, tapi ia diisi sel milik pasien. Hingga kini, ia masih berusaha menyesuaikan teknologi, proses, rasio sel untuk mendapatkan struktur yang tepat.

Infografik Transplantasi Penis

Risiko Transplantasi Penis

Segala usaha yang dilakukan Atala untuk membuat penis dari sel pasiennya sendiri memang beralasan. Ia ingin meminimalkan risiko imunologis dan psikologis setelah tindakan transplantasi. Segala jenis transplantasi organ memiliki risiko penolakan jaringan donor oleh tubuh penerima. Mekanismenya terjadi karena sel T dalam tubuh mengidentifikasi organ donor sebagai zat yang merangsang respons imun (antigen).

Risiko penolakan akan semakin tinggi jika antara donor dan penerima tak memiliki ikatan darah. Untuk meminimalkan kemungkinan ini, penerima donor harus menjalani terapi rutin guna mengontrol sistem kekebalan. Lazimnya, mereka diberi obat anti-penolakan atau imunosupresan guna menekan sistem imun tubuh. Selain penolakan organ oleh tubuh, pasien transplantasi penis juga akan menghadapi masalah lain terkait gangguan psikologis.

Diwartakan Guardian, transplantasi penis berhasil dilakukan di Cina pada 2006 terhadap seorang pria yang organnya rusak akibat kecelakaan. Ia tak dapat melakukan hubungan seksual maupun buang air kecil secara normal karena penisnya tersisa hanya sepanjang 1 cm. Tim dokter Rumah Sakit Umum Guangzhou melakukan prosedur operasi rumit selama 15 jam untuk menghubungkan saraf dan pembuluh darah kecil.

“Penis sepanjang 10 cm ditambahkan ke pasien berumur 44 tahun itu,” demikian ditulis Ian Sample dalam laporannya.

Sepuluh hari pasca-operasi, hasil tes menunjukkan organ donor dapat tersuplai darah dan pria tersebut dapat buang air kecil dengan normal. Sayang, pasien justru meminta pengangkatan penis donor 14 hari kemudian, padahal tak ada tanda-tanda donor penis ditolak tubuh. Pasien dan isterinya mengaku memiliki masalah psikologis parah terhadap penis donor tersebut.

Clint Hallam, pasien transplantasi tangan pada 2001 juga pernah meminta prosedur serupa. Pasca-operasi, Hallam merasa tak tahan harus melihat tangan donor yang ia anggap menjijikkan dan layu setiap hari, sehingga memutuskan membatalkan prosedur transplantasi dirinya. “Aku sudah terpisah secara mental dari itu [tangan donornya],” kata Hallan.

Jean-Michel Dubernard, seorang ahli bedah Perancis, mengatakan faktor psikologis menjadi masalah serius bagi banyak pasien penerima organ donor. Dokter ahli yang berhasil mentransplantasi wajah seorang perempuan akibat serangan anjing ini mengatakan tidak mudah bagi pasien menerima organ orang mati untuk digunakan setiap hari.

“Sulit melihat ke cermin [dan] melihat wajah orang yang sudah mati.”

Baca juga artikel terkait TRANSPLANTASI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani