Menuju konten utama
Periksa Data

Transisi Berliku dari Batu Bara Menuju Energi Bersih untuk Listrik

Indonesia mau beralih ke energi bersih untuk menggantikan batu bara sebagai sumber energi listrik. Bagaimana kemajuannya hingga saat ini?

Ilustrasi Periksa Data Energi Bersih. tirto.id/Quita

tirto.id - Saat menghidupkan lampu, mungkin hanya sebagian kecil orang yang memikirkan sumber energi listrik yang mengaliri lampu tersebut. Kemungkinan besar, batu bara yang menjadi bahan bakar listrik lampu tersebut di Indonesia. Penggunaan batu bara untuk listrik pun bukanlah suatu hal yang baru.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada Tirto, Rabu (15/9/2021), menceritakan bahwa Indonesia telah memanfaatkan batu bara untuk menggantikan minyak BBM sebagai pembangkit listrik sejak tahun 80-an. Alasannya, Indonesia ingin mengekspor minyak lebih banyak di tengah kenaikan harga minyak dan memerlukan substitusi baru untuk kebutuhan dalam negeri. Batu bara pun dianggap paling murah dan pasokannya berlimpah.

Pada 2021, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan melalui siaran pers bahwa cadangan batu bara Indonesia masih tersedia sebanyak 38,84 miliar ton dan dapat mencukupi hingga 65 tahun ke depan, apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru. Perhitungan ini dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun.

"Mau tidak mau [batu bara] masih menjadi andalan Indonesia dalam penyediaan energi dengan harga terjangkau," jelas Ridwan dalam seminar daring pada 26 Juli 2021.

Kendati demikian, pasokan energi fosil seperti batu bara dapat habis seiring meningkatnya kebutuhan. Kajian IESR pada Agustus 2020 menemukan bahwa konsumsi domestik batu bara meningkat hampir dua kali lipat selama periode 2014-2019 yang disokong oleh ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Tak hanya masalah ketersediaan, kajian Greenpeace Indonesia dan Universitas Harvard pada Agustus 2015 memperkirakan bahwa partikel polutan dari pembakaran batu bara mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa setiap tahunnya di Indonesia. Angka ini diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU baru.

Penambangan batu bara menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap tanah, sumber air, udara. Kajian yang sama, mengutip Studi Greenpeace Indonesia pada 2014 lalu, mengungkap bahwa 45 persen sungai di Kalimantan Selatan berpotensi tercemar limbah berbahaya dari konsesi tambang.

Lebih lanjut, pada siaran pers, Dirjen Ridwan Djamaluddin dari ESDM pun mengatakan, pembangkit listrik batubara berkontribusi sebanyak 35 persen dari 1.262 Giga Ton emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia. Sejalan dengan data itu, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sektor energi paling banyak berkontribusi emisi Gas Rumah Kaca dibandingkan sektor lainnya selama 2000-2019, meskipun ada tahun-tahun tertentu ketika sektor kehutanan dan penggunaan lahan menyusul kontribusi sektor energi.

Untuk mencegah dampak lingkungan batu bara serta mengantisipasi kelangkaan energi, Indonesia mengupayakan transisi ke energi terbarukan (EBT). "Transisi energi ini mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan energi di masa mendatang," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam acara webinar pada 21 Oktober 2020, mengutip siaran pers.

Bagaimana perkembangan EBT untuk pembangkit listrik saat ini jika dibandingkan dengan batu bara? Apa kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan EBT dan memitigasi dampak lingkungan batu bara? Lalu bagaimana masa depan pemanfaatan energi dari batu bara dan EBT?

Transisi Masih Lambat?

Presiden Joko Widodo dalam dalam pidatonya tanggal 1 Desember 2015 berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan internasional dibandingkan kegiatan normal (business as usual) pada 2030. Salah satu langkah yang akan diambil antara lain meningkatkan bauran penggunaan EBT menjadi 23 persen pada 2025.

Namun, transisi tersebut masih lambat yang tercermin dari rendahnya porsi EBT dalam bauran energi primer nasional pada medio 2014-2020. Kementerian ESDM mencatat porsi EBT dalam bauran energi nasional pada 2020 baru mencapai 11,2 persen, sedangkan sisa bauran energi pada tahun 2020 masih didominasi oleh batu bara (38,04 persen).

Bauran EBT untuk pembangkitan listrik juga masih rendah jika dibandingkan dengan batu bara selama periode 1971-2020, berdasarkan data Bank Dunia dan Kementerian ESDM yang diolah IESR. Sebaliknya, batu bara masih mendominasi sumber energi pembangkit listrik per semester I 2020, jauh berkali-kali lipat dibandingkan EBT.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan kepada Tirto bahwa kebijakan pemerintah yang melindungi dinamika harga energi fosil menjadi salah satu akar masalah lambatnya perkembangan EBT di Indonesia.

Ia menyebut kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan patokan harga beli batu bara dalam negeri untuk konsumsi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 70 dolar Amerika Serikat per ton sebagai kebijakan yang telah menjamin ketersediaan pasokan dan harga batu bara, meskipun harga batu bara internasional cenderung naik pada 2017-2021.

Menukil dari Investing.com, harga batu bara global memang anjlok pada Maret-September 2020 dengan harga terendah pada 48,5 dolar Amerika Serikat (AS) pada 7 September 2020. Namun, harga tersebut terus melonjak hingga 177,45 dolar AS per 14 September 2021, atau sekitar 2,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan harga beli yang dipatok oleh pemerintah.

Fabby menilai, pembangkit EBT sebenarnya lebih murah daripada batu bara jika pemerintah tidak melindungi industri batu bara dengan kebijakan-kebijakan tersebut.

"Karena ada diskriminasi harga itu juga energi terbarukan tidak bisa berkembang, jadi secara artifisial harga listrik PLTU itu dibuat rendah," ucap Fabby.

Fabby menduga, kepentingan industri batu bara untuk mendapat pasar dalam negeri mendorong kebijakan diskriminatif tersebut. PLN yang sudah "terlanjur" membangun PLTU secara masif setelah pengembangan PLTU selama beberapa dekade terakhir menjadi alasan lain untuk melanjutkan pemanfaatan batu bara.

Di sisi lain, upaya melindungi harga batu bara bertujuan mencegah kenaikan biaya produksi batu bara. "Karena dia [biaya produksi] tidak naik, pemerintah tidak perlu menaikkan tarif listrik. Karena kalau menaikkan harga listrik, pemerintah tidak populer," jelas Fabby.

Secara umum, Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024 Kementerian ESDM pun mencatat beberapa kendala dalam implementasi EBT antara lain masih mahalnya investasi pembangkit EBT. Investasi subsektor EBT dan konservasi energi pun rendah pada 2015-2019. Pada 2019, investasi di subsektor tersebut hanya Rp1,71 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan Mineral dan Batu bara (Rp6,52 triliun).

Namun, Febby mengatakan bahwa pembangkit EBT, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), kini sudah lebih efisien dan ekonomis dibandingkan teknologi terdahulu.

Langkah Energi Bersih?

Pemerintah telah mendorong kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional antara lain dengan menyederhanakan perizinan dan nonperizinan, bekerjasama dengan instansi pemerintah dan nonpemerintah untuk meningkatkan investasi, dan menerbitkan regulasi untuk fasilitas pajak penghasilan di bidang EBT, mengutip siaran pers.

Indonesia juga tengah merancang Peraturan Presiden (Perpres) yang akan memperbaiki harga EBT serta memberikan insentif fiskal dan perpajakan. Namun, Perpres ini belum terbit karena masih menunggu draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN Tahun 2021—2030 diselesaikan, menukil dari Bisnis.com. Hingga 13 September 2021 ini, Perpres mengenai harga EBT ini belum juga dikeluarkan.

Senada, Komisi VII DPR RI sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang antara lain akan mewajibkan badan usaha untuk melakukan pembelian listrik dari EBT. Namun, RUU ini masih terganjal isu kepastian hukum dan berusaha dalam mengimplementasikan kewajiban ini, mengutip Katadata. Pada 13 September 2021, Badan Legislasi DPR bersama Komisi VII DPR juga telah menyelenggarakan rapat pleno untuk membahas harmonisasi RUU EBT.

Pemerintah pun hendak mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, mengutip rilis pers Kementerian ESDM. Percepatan ini salah satunya dilakukan lewat PLTS Terapung, yakni penyediaan listrik melalui tenaga surya di atas air.

Semua danau, waduk dan bendungan yang ada di Pulau Jawa akan masuk dalam PLTS Terapung, ungkap Kementerian ESDM. Kementerian ini memperkirakan bahwa potensi produksi listrik dari program ini akan sebesar 1.900 Mega Watt (MW).

“Matahari ada dimanapun, dan tidak terlalu sulit dan kompleks untuk melakukan studi kelayakan untuk membangun PLTS, apalagi untuk PLTS atap,” tertulis dalam siaran pers tersebut.

Menanggapi masalah lingkungan, Dirjen Ridwan Djamaluddin dari ESDM mengatakan melalui keterangan tertulis bahwa pemerintah mencari terobosan baru melalui penggunaan teknologi berbasis energi bersih, termasuk teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Teknologi ini mengurangi emisi CO2 ke atmosfer melalui penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang yang kemudian disimpan atau digunakan kembali, mengutip energy.gov.

"Salah satu upaya pemerintah saat ini adalah mendorong agar batu bara dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan lingkungan. Kita selalu berusaha menggunakan teknologi batu bara dengan cara yang lebih bersih," tegas Ridwan.

Indonesia pun tengah menyusun regulasi terkait CCUS ini per 24 Mei 2021, mengutip siaran pers Kementerian ESDM terpisah.

Masa Depan EBT & Batu Bara?

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pengembangan EBT ke depan perlu memberikan kondisi lapangan tanding usaha yang merata (level playing field) agar EBT dapat berkompetisi dengan batubara, ujarnya kepada Tirto lagi.

Selain itu, Indonesia perlu mempersiapkan imbas penurunan permintaan batu bara untuk transisi energi bersih. Tren global saat ini memang menunjukkan bahwa pemanfaatan energi akan beralih ke EBT. Kajian IESR terpisah menyatakan, penurunan harga energi tenaga surya dan angin mengakibatkan transisi energi bersih ini, sehingga berdampak terhadap permintaan batu bara domestik dan global.

Data Carbon Tracker yang dikutip IESR memproyeksikan bahwa biaya untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara akan lebih mahal pada 2030 daripada membangun energi terbarukan di hampir semua wilayah di dunia. Indonesia diperkirakan akan mencapai titik tersebut pada tahun 2029.

“Penurunan permintaan batubara akan berimplikasi kepada keberlanjutan industri batu bara sebagai salah satu komoditas ekspor dan sumber energi untuk pembangkitan listrik,” ungkap Fabby dalam keterangan tertulis terpisah.

Pada 2014-2019, Indonesia menerima pendapatan dari batu bara sekitar Rp31 triliun (2,17 miliar dolar AS) atau hampir 80 persen dari total pendapatan nonminyak dan gas, menurut analisis IESR. Artinya, penurunan ekspor batu bara akibat EBT dapat menekan anggaran pendapatan dan belanja negara serta menyebabkan defisit pada neraca perdagangan.

Selain itu, PLTU berisiko menjadi aset-aset terdampar (stranded assets) akibat dari ketidakekonomisan proyek. Oleh karena itu, Fabby mengusulkan moratorium pembangunan PLTU baru untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran EBT.

Ia juga mendorong PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis untuk melakukan retrofit (penambahan teknologi baru) untuk mempertahankan efisiensi. Pemerintah juga dapat merencanakan percepatan penutupan PLTU dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan.

“Untuk industri batu bara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang,” katanya dalam keterangan tertulis yang sama.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty