Menuju konten utama

Transaksi Rudal dan Nuklir yang Bikin Mesra Turki dan Rusia

Manuver Turki-Rusia kian mengkhawatirkan NATO. Erdogan dan Putin cuek, yang penting kolaborasi politis-ekonomis terus jalan.

Transaksi Rudal dan Nuklir yang Bikin Mesra Turki dan Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) bertemu dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan di Sochi, Rusia, Rabu (3/5). ANTARA FOTO/REUTERS/Alexander Zemlianichenko/Pool

tirto.id - Presiden Rusia Vladimir Putin keluar mobil sambil mengancingkan jasnya. Senyumnya lebar. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan buru-buru melepas jaket, dibantu seorang ajudan, dan menyambut Putin dengan jabat tangan erat. Raut mukanya tak kalah gembira.

Obrolan kecil berlangsung sebelum keduanya menyusuri jalan menuju tempat pelaksanaan protokoler sederhana di Ankara, Selasa (3/4/2018). Di atas panggung keduanya berdiri berdampingan, bersikap khidmat selama lagu kebangsaan Turki dan Rusia dibawakan. Usai sesi foto di hadapan awak media, Erdogan dan Putin masuk ke gedung pertemuan.

Entah direncanakan atau tidak, keduanya memakai dasi berwarna senada: merah tua. Nuansanya mesra. Semesra hubungan diplomatik serta kerjasama politik-ekonomi Turki dan Rusia dalam beberapa tahun terakhir.

Kunjungan luar negeri kali ini adalah yang pertama dijajaki Putin sejak memenangi pemilihan umum pada bulan Maret lalu. Washington Post melaporkan hasil pokok dari pertemuan tersebut adalah penegasan bahwa rencana Turki untuk membeli sistem pertahanan rudal jarak jauh Rusia itu “kesepakatan yang sudah selesai.”

Akhir tahun kemarin Turki dan Rusia sudah terlebih dahulu menandatangani perjanjian suplai baterai rudal S-400 berjenis surface-to-air (SAM) dari Moskow ke Ankara. Reuters mencatat nila transaksinya mencapai kurang lebih $2,5 miliar. Barang-barang itu rencananya dikirim mulai kuartal pertama tahun 2020 mendatang.

Merujuk BBC News, Rusia mengatakan sistem serangan rudal S-400 memiliki jangkauan hingga 400 kilometer. S-400 mampu melumpuhkan 80 target secara bersamaan. Tiga tahun lalu Rusia mengerahkan rudal ini dari pangkalan angkatan udaranya dekat Latakia, Suriah, setelah jet Turki menembaki sebuah pesawat tempur Rusia jenis SU-24 di perbatasan Suriah-Turki.

Insiden itu menyebabkan perpecahan diplomatik, tetapi Erdogan mampu mendamaikannya kembali. Turki-Rusia memang baru-baru ini mesra. Sebelumnya hubungan kedua negara yang dipisahkan oleh Laut Hitam ini mengalami sejumlah goncangan.

Pada tahun 2015 misalnya, pesawat Su-24 milik Rusia ditembak jatuh Angkatan Udara Turki di perbatasan Turki-Suriah pada bulan November. Moskow menjatuhkan sejumlah sanksi kepada Ankara, termasuk embargo terhadap beberapa produk makanan Turki, serta larangan penerbangan sewaan dan penjualan paket tur ke sana serta pemberlakuan kembali visa untuk pengunjung asal Turki.

Hubungan kedua negara kembali membaik setelah Erdogan mengambil inisiatif. Ia menyatakan penyesalan atas insiden pesawat Sukhoi. Putin pada Rabu (29/6/2016) menerimanya, dan segera mencabut pembatasan perjalanan warganya ke Turki serta memerintahkan normalisasi perdagangan kedua negara.

Pada kunjungan Putin ke Ankara kemarin Erdogan berbicara tentang “upaya-upaya meracuni kerjasama Turki-Rusia”. Ia juga mengucap syukur, “Alhamdulilah hubungan kami mampu mengelakkan upaya-upaya itu dengan sukses. Dengan setiap provokasi yang gagal, hubungan kami diperkuat. Seperti baja dari besi usai dipadamkan dengan air.”

Kini kedua negara punya “musuh” bersama, yakni anggota-anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.

NATO adalah sebuah organisasi internasional yang dibentuk untuk menjaga keamanan dan pertahanan militer para anggota, yakni sejumlah negara Eropa plus Amerika Serikat. NATO berdiri usai ditandatanganinya Persetujuan Atlantik Utara yang ditanda tangani di Washington pada 4 April 1949. Negara-negara Eropa timur atau bekas Uni Soviet banyak yang bergabung usai perang dingin. Namun, Rusia jadi pengecualian.

Rusia-NATO telah menjalin kerja sama penjagaan keamanan kawasan sejak awal 1990-an. Namun soal kerja sama senjata Turki-Rusia, sejumlah anggota NATO menyatakan tidak suka. Turki adalah anggota NATO yang harus patuh terhadap aturan pembelian senjata dari luar negeri. Erdogan harus kooperatif dan menyesuaikan diri dengan sistem, sementara membeli rudal dari Rusia tergolong melenceng dari sistem itu.

Dalam laporan New York Times bulan September lalu, kantor pusat NATO di Brussels menyatakan Turki adalah anggota pertama yang melakukan transaksi senjata dengan Rusia. Diketahui pula sebelumnya Turki berniat membeli rudah dari Cina, namun diurungkan sebab mendapat tekanan dari Amerika Serikat. Tekanan yang sama ternyata muncul untuk anggota-anggota NATO bekas Uni Soviet.

Menariknya, Erdogan 'bandel'. Kepada surat kabar Hurriyet ia berkata tak ada yang berhak mengatur bagaimana Turki menjalankan industri pertahanannya. “Kami membuat keputusan tentang independensi kami sendiri. Kami berkewajiban untuk mengambil tindakan keselamatan dan keamanan untuk membela negara kami,” katanya, dan ditanggapi pujian dari barisan pendukung di dalam negeri.

Infografik nuklir dan rudal

Hubungan Turki dan Barat sedang memanas sejak percobaan kudeta yang gagal pada 2016 silam. Erdogan menuduh intelektual Turki, Fethullah Gulen, sebagai dalang di baliknya. Gulen, yang bermukim di Amerika Serikat sembari mengurus yayasan-yayasan pendidikannya, menolak tuduhan ini. Tapi Erdogan bersikeras, dan otomatis melancarkan kecaman para pemerintah AS sebab dituduh melindungi Gulen.

Turki turut bersitegang dengan Jerman. Tahun lalu Sigmar Gabriel, Menteri Luar Negeri Jerman, berkata bahwa pemerintah Jerman akan menghentikan sementara ekspor senjata berat ke Turki. Alasannya karena Turki melanggar hak asasi manusia di dalam negeri, juga terkait manuver Erdogan merepresi orang-orang Kurdistan hingga ke Suriah.

Selain NATO secara organisasi, Rusia juga sedang dalam hubungan yang tak bagus dengan Barat, dalam hal ini Inggris. Pangkalnya ada pada kasus diracunnya mantan mata-mata Rusia Sergei Skripal dan putrinya di Salisbury, Inggris, pada 4 Maret lalu.

Perdana Menteri Inggris Theresa May menuduh rezim Putin dalangnya, mengingat racunnya hanya diproduksi Rusia. Tapi Putin menolak mentah-mentah dengan menyebutnya sebagai omong kosong. Putin menyatakan Rusia tidak memiliki racun yang dimaksud dan telah memusnahkan semua senjata kimia di bawah pengawasan internasional.

Musuh bersama membuat Turki-Rusia kian solid. Selain bisnis senjata, keduanya akan mewujudkan rencana yang telah disepakati sejak 2010: pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Turki.

Merujuk Reuters, pihak yang akan membangun adalah korporasi Rusia bernama Rosatom dengan perkiraan biaya di kisaran $20 miliar. Lokasinya berada di tepian laut Mediterania, tepatnya di Akkuyu, Provinsi Mersin. Kapasitas produksinya mencapai 1.200 megawatt. Saat kunjungan Putin juga mengunjungi kompleks pembangkit listrik.

Erdogan berkata jika pembangkit akan mulai menyediakan 10 persen dari kebutuhan energi Turki mulai tahun 2023. Tahun tersebut juga menandai 100 tahun berdirinya Republik Turki dan menjadi tonggak bagi visi Turki yang ingin mengurangi ketergantungan impor. Target ini dinilai akan susah dipenuhi, tetapi Rosatom juga bekerja lebih keras terutama untuk menarik perhatian pemegang saham.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN RUSIA TURKI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf

Artikel Terkait