Menuju konten utama
2 November 1871

Traktat Tukar Guling: Aceh Dibarter Pantai Gading

Saat Inggris "menyerahkan" Aceh kepada Belanda, jalan menuju penaklukkan Aceh menjadi sangat terbuka.

Traktat Tukar Guling: Aceh Dibarter Pantai Gading
Ilustrasi perang Aceh. tirto.id/Gery

tirto.id - Nino Bixio punya pengalaman buruk di Aceh. Kawan seperjuangan Bapak Nasionalis Italia Giuseppe Garibaldi itu pernah jadi budak di sana. Ia diperjualbelikan dan akhirnya ditebus bebas oleh saudagar-saudagar Penang. Nino kemudian pulang ke negaranya. Setelah Italia bersatu sebagai negara, Nino menjadi Senator pada 1869 dan mengirim kapal Maddaloni ke Hindia Belanda.

Begitulah kisah yang diceritakan Paul t'Veer dalam Perang Aceh: Kegagalan Snouck Hurgronje (1985). Kala Nino jadi budak, Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat dan punya hubungan diplomatik dengan negara-negara penting abad ke-19.

Pada September 1871, ketika Aceh dipertuan oleh Sultan Mahmud Syah, sebuah kapal perang Belanda singgah di pelabuhan. Kapal itu mengangkut kontrolir Pemerintahan Dalam Negeri E.R Krayenhoff. Ia datang sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Menurut Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh (2005), sebelum 1871 Belanda sudah merasa Aceh enggan berhubungan dengan mereka. Kedatangan kapal itu didorong keyakinan Krayenhoff akan pulihnya persahabatan Aceh dengan Belanda.

Baca juga: Pembantaian yang Dilakukan Belanda di Pedalaman Aceh

Selama di Aceh, Krayenhoff sempat bertatap muka dengan Habib Abdurrahman, pemangku jabatan Perdana Menteri Aceh. Habib satu ini, di depan mata Krayenhoff, dengan angkuhnya memamerkan hubungan diplomatik Aceh dengan Turki, Inggris, Prancis, dan negara lainnya. Bagi Krayenhoff dan orang Belanda sezaman, laku Habib itu dianggap tidak patut.

Bulan-bulan berikutnya, kedaulatan Aceh terancam. Rupanya Inggris yang sebegitu lama membiarkan Aceh berdaulat hendak mengadakan perubahan di Sumatera. Sementara Belanda, yang baru saja menghapus Tanam Paksa di Jawa dan mulai memberlakukan ekonomi liberal, hendak menjadikan Sumatera sebagai lahan tambahan baru untuk menggemukan kas kerajaan.

Lantaran persaingan ekonomi antar negara Eropa kian meningkat, Inggris berusaha mencari aman di sekitar Sumatera. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), sejarawan Merle C. Ricklefs mengungkapkan, “London (Inggris) mengambil keputusan bahwa akan lebih baik membiarkan Belanda menguasai Aceh daripada negara yang lebih kuat seperti Perancis atau Amerika.” Dua negara terakhir kebetulan pernah punya sejarah permusuhan hebat dengan Inggris dalam dua revolusi.

Baca Juga: Jejak Revolusi Perancis di Lagu PKI

Inggris dan Belanda pun sepakat tukar-guling tanah koloni. Belanda menyerahkan Pantai Gading kepada Inggris dan sebagai imbalannya Belanda akan mendapatkan Aceh. Dalam perjanjian terdahulu terkait nasib Sumatera, menurut Muhammad Ibrahim, dkk., dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991), Inggris dan Belanda tak pernah melibatkan Aceh ketika membahas nasib Sumatera. Bahkan, nama Aceh sama sekali tak disebut.

infografik mozaik kesultanan aceh runtuh

Akhirnya, Belanda dan Inggris menemukan kata sepakat. Mereka menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Traktat Sumatera pada 2 November 1871. Pasal pertama kesepakatan itu berbunyi: “Yang Mulia Ratu Britania (Inggris) tidak lagi keberatan atas semua perluasan dari Kerajaan Belanda di semua bagian Pulau Sumatera.”

Tentu saja Aceh termasuk di dalamnya. Traktat ini diterima secara mayoritas oleh Majelis Rendah (Parlemen Belanda) pada 16 Desember 1871.

Baca juga:

Lewat Traktat Sumatera, Inggris melepaskan Aceh bak daging yang siap diterkam singa bernama Belanda. Traktat itu pun sebenarnya ancaman bagi eksistensi Aceh yang semula secara tidak langsung berada dalam posisi lebih aman oleh Inggris. Setelah traktat ditandatangani, menurut catatan Reid, banyak yang menduga cepat atau lambat Aceh akan jadi taklukan Belanda yang ingin berkuasa penuh di daerah itu.

Dua tahun setelah traktat, dugaan itu terbukti: Belanda benar-benar mengirim ekspedisi militer ke Aceh pada 8 April 1873. Johan Harmen Rudolf Köhler, seorang jenderal keturunan Yahudi, menjadi panglima ekspedisi tersebut. Pada sebuah pertempuran Kohler terbunuh di pekarangan Masjid Raya Aceh. Setelah itu Belanda tak hanya serius, tapi lebih keras dengan mengirim lebih banyak lagi armada militer.

Baca Juga: Kematian Mayor Jenderal Kohler dalam Perang Aceh

Tatkala perang meletus, Nino Bixio mulai menemukan kesempatan balas dendam pada Aceh. Ia kini sudah jadi jenderal dan menjadi komandan kapal pengangkut Maddaloni—sebuah kapal besar bercerobong dua, bertiang empat, dan berbobot 1.500 ton.

Maddaloni disewa Belanda sebagai kapal pengangkut pasukan. Ongkosnya mahal untuk ukuran zaman itu: 1.500 gulden per hari. Sayangnya, Nino tak lama menikmati uang sewa yang didapat. Ia juga belum sempat menuntaskan dendamnya. Penyakit kolera keburu membikin mampus jenderal itu pada Desember 1873. Padahal Perang Aceh baru selesai di awal abad berikutnya.

Salah satu konsekuensi Traktat Sumatera yang mesti ditanggung Belanda adalah mengeluarkan banyak dana untuk penaklukan Aceh. Tapi setelah itu Belanda lebih bebas mengeksploitasi Sumatera tanpa merasa rikuh pada Inggris yang dalam banyak perang modern nyaris selalu membantu Belanda.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan