Menuju konten utama
27 Januari 1981

Tragedi Tampomas II yang Terbakar dan Tenggelam di Laut Jawa

Salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah transportasi laut di Indonesia.

Tragedi Tampomas II yang Terbakar dan Tenggelam di Laut Jawa
Ilustrasi Mozaik Tenggelamnya KMP Tampomas II. tirto.id/Tino

tirto.id - Malam itu, Minggu, 25 Januari 1981, Endang Waryana nyaris terlelap saat tiduran di bak sebuah truk yang parkir di dek kendaraan. Sebagai juru minyak di bagian mesin Kapal Motor (KM) Tampomas II, tugasnya hari itu telah selesai. Sejak angkat sauh di Tanjung Priok, Jakarta, kapal sudah berlayar lebih kurang 18 jam, dan diperkirakan merapat tengah hari esok di Pelabuhan Ujungpandang, Sulawesi Selatan.

Malam telah melingkupi cakrawala, dan kapal terus melaju membelah ombak Laut Jawa bulan Januari yang terkenal ganas. Waktu itu, Tampomas II telah melewati perairan dekat Kepulauan Masalembo, sekitar 270 kilometer arah utara Tanjung Perak, Surabaya.

Tiba-tiba hidung Endang mencium bau hangus dan hawa di dek kendaraan menjadi terasa agak panas. Saat terbangun, matanya melihat cahaya merah bernyala-nyala, hanya dua puluh meter di belakang bak truk tempat ia tiduran. Endang bertindak cepat, melaporkan keberadaan api kepada Masinis III, W. Hamzah, dan kepada mualim serta perwira piket yang bertugas malam itu.

Endang bersicepat kembali ke dek kendaraan, mengambil tabung pemadam, dan menyemprotkannya. Namun sial, yang keluar dari tabung hanya angin. Tabung-tabung pemadam lain yang masih berfungsi segera diserahkannya kepada masinis-masinis yang menghambur keluar dari kamar mesin, menyemprotkannya ke sumber api, yakni empat skuter Vespa yang dibungkus karung. Karena tidak juga padam, Endang berlari mencari selang air. Apa daya, asap keburu tebal, dan dek kendaraan sudah sepenuhnya tertutup. Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Siapa penumpang pertama yang mengetahui kebakaran, tidak ada yang tahu. Menurut Dahlan Iskan dalam laporan utama TEMPO No. 50, Th. X, 7 Februari 1981 berjudul “Neraka 40 Jam di Tengah Laut”, saat api mulai berkobar di dek kendaraan, sebagian penumpang masih bersantai menikmati musik di bar kapal atau menikmati santapan malam di restoran, sedangkan sebagian yang lain sudah bersiap masuk ke kabin atau menggelar alas tidur di dek penumpang. Menurut seorang penumpang yang diwawancarai Dahlan, lagu terakhir yang dibawakan malam itu oleh biduanita Ida Farida adalah lagu Ebiet G. Ade, “Berita Kepada Kawan” yang salah satu liriknya berbunyi, “Perjalanan ini t’rasa sangat menyedihkan.... Sayang engkau tak duduk, di sampingku, Kawan....

“Belum lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM Tampomas II panik. ‘Api! Api!,’ pekik mereka. Dan asap tebal yang berasal dari bagian belakang kapal milik PT. Pelni itu mengurung mereka,” tulis Dahlan saat membuka laporan utama sepanjang empat halaman. Bunyi bel penanda kebakaran, keriuhan penumpang, dan arahan petunjuk pemakaian pelampung dari ABK segera memecah keheningan malam di tengah lautan.

Kepanikan Tak Terkendali

Selagi kepanikan melanda seluruh penumpang dan awak kapal pontang-panting memadamkan kebakaran, Nakhoda Abdul Rivai memerintahkan mesin kapal dimatikan, sebagai antisipasi agar api tidak menjalar ke mesin dan memicu ledakan. Namun, matinya mesin mengakibatkan penerangan seluruh kapal ikut padam sehingga menambah kepanikan para penumpang.

Di tengah suasana inilah beberapa penumpang terjun ke laut untuk menyelamatkan diri. “Yang terjun malam itulah yang banyak meninggal,” ujar Kasim, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Ujungpandang yang baru saja diwisuda di Jakarta dan hendak kembali ke kampung halamannya. Kasim menyebut, sejumlah penari wisuda yang ikut dalam rombongannya termasuk di antara penumpang yang terjun ke laut pada malam nahas itu.

Saat menerima kembali laporan bahwa api tak bisa dipadamkan, Rivai memerintahkan mesin dihidupkan kembali. Ia bermaksud membawa Tampomas II ke pulau terdekat agar penumpang dapat diturunkan. Mesin pun coba dihidupkan, menyala, tetapi hanya sebentar sebelum mati kembali, karena terjadi ledakan keras di dek kendaraan dan mengurung awak kamar mesin yang tidak dapat keluar hingga tewas.

Dengan keadaan yang bertambah kalut, markonis (operator telegraf) Odang Kusdinar meminta izin Rivai untuk mengirim sinyal SOS. Namun, Rivai mencegah tindakan Odang, karena menurutnya akan merepotkan kapal di seluruh dunia. Sebagai gantinya, Rivai mencoba melemparkan suar ke udara. “Anehnya, bola api itu tidak meledak di udara,” kata Hadi Wiyono, perwira jaga yang malam itu tugas di anjungan. Satu-satunya jalan ialah mengirimkan berita kebakaran ke radio pantai terdekat, antara Surabaya atau Ujungpandang.

Kobaran api di dek kendaraan semakin menjadi-jadi karena ledakan-ledakan yang terasa hingga geladak dan dek penumpang. Jilatan api dari bawah menjadikan besi-besi pegangan dan lantai kapal panas membara. Api dengan cepat merambat naik meruntuhkan lantai demi lantai dek kapal, membuat para penumpang yang berlarian terjerembap masuk kobaran api dan tewas terpanggang.

Listrik yang padam, api yang tidak terkendali, dan sekoci yang diperebutkan banyak penumpang, bertambah runyam karena angin kencang membesarkan kobaran api dan ombak besar menghantam kapal dari berbagai sisi. “Di samping itu, makanan dan minuman sudah tidak ada. Rasa haus dan lapar mulai menghantui para penumpang yang masih ada di atas. Semua penumpang yang hidup berada di haluan kapal,” catat Sinar Harapan dalam reportase “Kesaksian Penumpang2 yang Selamat” yang dimuat edisi 29 Januari 1981.

Di tengah kacau-balau itu, seorang penumpang muda keturunan Arab, Nur Abdullah, berseru dari haluan agar kru di anjungan—tempat tertinggi di kapal—mengumandangkan azan untuk meredakan ombak dan angin, seperti kebiasaan nelayan Bugis. Tetapi yang justru keras terdengar adalah takbir beramai-ramai, sehingga suasana di haluan mirip malam lebaran. Gelap malam dan kepulan asap tebal menjadi satu-satunya yang dapat dilihat penumpang Tampomas II, menanti pergantian hari di tengah ancaman maut.

Pertolongan Pertama dari KM. Sangihe

Melego jangkar sejak tengah malam, keadaan Tampomas II tambah mengenaskan dari jam ke jam sejak api membesar hingga matahari menyingsing. Nyaris delapan jam situasi itu bertahan. Tidak ada upaya meminta tolong, karena semua peralatan komunikasi tidak bisa dipergunakan, sementara markonis Odang Kusdinar sudah terbawa salah sebuah sekoci yang diturunkan, kira-kira pukul 23.30 WIB, hanyut ke arah timur bersama puluhan penumpang lain. Harapan nyaris pupus, sementara maut terus mengintai. Sejak dini hari, Nakhoda Rivai bersama sejumlah ABK menginspeksi seluruh kapal, mencari jenazah penumpang yang hangus di antara runtuhan dek untuk dikubur di laut tanpa persemayaman.

Di perairan yang sama, puluhan mil dari koordinat perhentian Tampomas II, Agus K. Sumirat memulai tugasnya sebagai kapten KM. Sangihe pada 26 Januari 1981, dengan ritus biasa yang dilakukan tiap pagi: meneropong ke sekeliling cakrawala. Dengan kelajuan 10 knot, Sangihe yang tengah sakit berlayar dari Pare-Pare untuk dinaikkan dok di Surabaya.

“Kap!” panggil Mualim I Sangihe, J. Bilalu, kepada Sumirat saat tengah meneropong cakrawala. “Boleh juga, tuh, Pertamina. Dia dapat sumur minyak baru lagi,” kata Bilalu sambil menuding asap yang membubung di kejauhan. Saat itu pukul 06.15 WIB. Sangihe terus melaju, hingga sekitar sejam kemudian, Bilalu tersadar bahwa asap yang ia lihat bukanlah sumur minyak baru. “Kap! Asap itu dari kapal. Bukan dari Pertamina,” pekiknya. “Kita menuju ke sana,” sahut Nakhoda Sumirat. Kira-kira pukul 07.35 WIB, barulah Bilalu dapat benar-benar melihat jelas nama kapal yang berasap itu: Tampomas II.

Saat melihat Sangihe yang sedang melaju, Hadi Wiyono bergegas mencari cermin untuk memantulkan cahaya matahari ke Sangihe sebagai sinyal minta tolong. Ketika telah benar-benar memastikan Tampomas II dalam bahaya, markonis KM. Sangihe, Abubakar, diperintahkan memberitahu radio pantai mana saja yang bisa dijangkau. “Tiga menit kemudian, saya bisa berhubungan dengan radio Jakarta, memberitahukan KM. Tampomas II terbakar,” ujar Abubakar sebagaimana dikutip Dahlan dalam reportasenya di TEMPO.

Sangihe terus mendekati Tampomas II, Sumirat mengawasi dari ruang kemudi kapal. Saat dilihatnya penumpang Tampomas II sudah mengenakan pelampung dan berdesakan di anjungan dan haluan kapal, Sumirat memerintahkan Abubakar untuk mengirim SOS, persis pukul 08.15 WIB.

Sesudah memastikan Tampomas II dapat didekati dari jarak aman karena telah buang jangkar, Sangihe segera mengelilingi Tampomas II untuk mencari titik untuk merapat (tender). Namun Sumirat tidak bisa memutuskan untuk tender dari lambung kanan maupun kiri karena sama-sama riskan. Selain itu, karena kondisi mesin kapal tidak prima, sulit baginya untuk melakukan manuver merapat.

“Kapten Rivai, Nakhoda Tampomas, adalah teman sekelas saya di AIP. Bayangkan bagaimana perasaan saya setelah tidak berhasil merapat di kapalnya,” sesal Sumirat kemudian. Satu-satunya jalan adalah mencoba mendekat dari arah depan Tampomas, dengan membuang jangkar sejauh 8 segel, sehingga jarak keduanya berkisar 100 meter.

Untuk menghubungkan dua kapal, seorang ABK mencoba menautkan tali yang telah dilempar dari Tampomas dengan tali dari Sangihe. Akan tetapi, karena tegangan tali dan ombak yang cukup besar, rentan sekali seutas penghubung itu terputus. Karenanya, Sumirat ingin agar ada dua tali yang mengikat Sangihe dan Tampomas. Karena tidak ada ABK yang berani untuk mengerjakannya, seorang penumpang asal Manado, Youce Freddy, memberanikan diri. “Saya tidak tahan mendengar jeritan mereka,” ungkap Freddy saat mengingat orang-orang yang sudah berjubel di haluan kapal itu berseru, “Panas! Panas! Neraka! Cepat kirim air!”

Usaha mengirim Freddy ke Tampomas II segera dipersiapkan. Dengan mengikatkan tali ke pinggangnya, Freddy meniti tali dengan bergelantungan pada tali pertama. Selamat! Tak butuh waktu lama, pemuda 20 tahun yang menumpang Sangihe untuk mencari kerja ke Jakarta itu segera mencari tempat paling aman untuk mengikatkan tali kedua. Tetapi alangkah terkejut Freddy setibanya ia di Tampomas II dan melihat 20-an jenazah berserakan di geladak. “Mayat itu sudah hitam. Di antaranya seorang wanita dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3 tahun,” kisahnya.

Sambil menyambung tali penaut, sebuah sekoci diturunkan dari Sangihe, dengan ABK berjumlah 8 orang di dalamnya, untuk mengevakuasi penumpang yang terapung di laut. Semua penumpang dalam keadaan sehat, kecuali luka bakar di kaki mereka. Ulang-alik sekoci itu naik dan turun, hingga seluruhnya, Sangihe berhasil menyelamatkan 158 penumpang.

Karena cuaca kian buruk, pertolongan dengan sekoci dihentikan saat ombak kembali mengamuk dan kabut mulai menebal. Menurut catatan kronologi yang disusun Sinar Harapan, gerimis yang turun pukul 16.00 cukup mendinginkan. Tiga puluh penumpang dan awak kapal berhasil dipindahkan ke Sangihe. Sayangnya, sekira pukul 18.30, gerimis berhenti dan api kembali berkobar hingga membuat dinding lambung kanan Tampomas II terlihat merah membara.

Saat senja tiba, dengan berat hati, Sumirat memerintahkan Sangihe agar menjauh dari Tampomas II, semata agar tak terjadi tabrakan saat laut mulai pasang. Karena kapal-kapal lain belum tiba, Sangihe yang menjauh diikuti sumpah-serapah penumpang yang masih bertahan di haluan dan anjungan karena dianggap pengecut.

Akhir Riwayat Tampomas II

Butuh dua jam lebih sejak Sangihe bertolak menjauh hingga tibanya kapal lain, yang didahului KM. Ilmamui pada pukul 21.00. Terhalang cuaca buruk dan gelombang besar serta angin yang sangat kencang, pertolongan menjadi muskil. Ilmamui yang segera parkir dalam radius aman dari Tampomas II hanya mampu menerangi kapal yang terbakar itu dengan lampu sorot.

Malam itu juga, kapal-kapal milik Pelni seperti KM. Wayabullah, KM. Brantas, KM. Adhika, dan KM. Bengawan, yang diperintahkan untuk mengevakuasi para korban mulai berdatangan dan bergabung dengan Ilmamui mengepung Tampomas II yang telah separuh dilalap api. Kapal lain, KM. Sengata milik PT. Porodisa Lines yang saat itu lewat memutuskan bergabung. Juga kapal tanker Istana VI yang melintasi Masalembo pada pukul 01.00 WIB, Selasa, 27 Januari 1981, ikut membantu. Semua kapal itu menantikan datangnya pagi untuk melanjutkan proses pemindahan penumpang yang hidup dari Tampomas II dan pengangkatan jenazah yang mengambang di laut. Barulah pada pukul 04.20 WIB, fajar menyingsing di perairan Masalembo.

Tanpa menunggu lama, kapal-kapal yang telah merubung segera bergerak maju dalam operasi penyelamatan serba cepat yang dikoordinasi Sangihe. Kecepatan dipertaruhkan, karena semakin lama semakin banyak penumpang yang tewas, entah terpanggang lantai kapal yang membara, maupun yang kehausan dan kelaparan karena bantuan logistik tidak juga tiba.

Istana VI dengan kargo minyak yang mereka bawa, mengakibatkan dinding kapal yang rendah sehingga dengan mudah dipanjat penumpang yang berenang. Sedangkan KM. Sengata mengandalkan jaring yang mereka pasang di lambung kiri dan kanan kapal, sehingga banyak penumpang yang berenang dan meraih jaring itu bisa naik dan selamat. Sengata juga menjadi satu-satunya yang memberanikan diri mendekat beberapa belas menit ke sisi Tampomas II sehingga beberapa penumpang dan awak yang berhasil melompat ke Sengata dapat diselamatkan. Sengata berhasil menyelamatkan 169 penumpang, sementara Istana VI berhasil menyelamatkan 144 penumpang dan 4 jenazah.

Pertolongan darurat yang dilakukan secara spontan oleh kapal-kapal yang kebetulan melintas Masalembo sejatinya diakibatkan ketidakberdayaan SAR bergerak lebih trengginas. Mengaku telah menerima permintaan bantuan sejak Senin siang, laporan dari Sangihe itu baru ditindaklanjuti Pusat SAR Nasional (Pusarnas) pada Selasa pagi, saat Kepala Pusarnas ketika itu, Marsekal Dono Indarto yang tengah dinas ke Semarang, baru dapat dihubungi kantornya untuk dimintai perintah pengerahan.

Selama lebih kurang 18 jam sejak laporan Sangihe diterima, Koordinator Rescue II Surabaya yang bermarkas di Pangkalan Udara Juanda hanya mengirim sebuah pesawat Nomad yang berputar-putar di atas Tampomas II tanpa dapat menerjunkan bantuan. Juga saat perintah pengerahan tenaga untuk evakuasi Tampomas II turun, medan kerja yang sulit dan cuaca buruk di tengah laut mengakibatkan bantuan untuk korban tidak tersalurkan secara optimal.

Infografik Mozaik KMP Tampomas II

Infografik Mozaik Tenggelamnya KMP Tampomas II. tirto.id/Tino

Masalah lain yang tidak kalah merepotkan adalah kala itu Pusat SAR Nasional belum memiliki peralatan penyelamatan sendiri. “Kami hanya mengkoordinasi. Yang punya alat dan tenaganya dari instansi lain,” kata Marsekal Dono. “Kalau instansi yang dihubungi tidak segera bergerak, kami tidak bisa apa-apa.” Selain itu, gerak regu penyelamat juga ikut dihambat oleh orang-orang bukan SAR seperti juru kamera TVRI, wartawan, pejabat Pelni, hingga petugas pelabuhan Tanjung Perak yang ulang-alik diangkut pesawat Albatros milik SAR untuk melihat-lihat situasi korban. Padahal, pesawat itu seharusnya lebih banyak mengangkut bantuan logistik dan anggota regu penyelamat untuk membantu korban. Kekeliruan fatal di lapangan seperti ini turut disesali oleh Menteri Perhubungan saat itu, Marsekal Roesmin Noerjadin.

Dikepung api yang terus membara, tanpa makanan dan minuman, dan asap yang terus menusuk paru-paru, menjadikan semakin banyak penumpang yang memilih terjun ke laut, alih-alih menanti regu penyelamat yang tak kunjung datang. Saat awak kapal lain mulai bergantian mencari sekoci yang masih kosong, Nakhoda Abdul Rivai tegas memilih tinggal di kapalnya. “Tolong kirimi saya air dan makanan, karena saya akan tetap berada di kapal ini sampai detik terakhir,” pesan Rivai kepada ABK Tampomas II, Bakaila, yang menyampaikannya pada Agus K. Sumirat, nakhoda Sangihe dan sahabat karib Rivai.

Berbagai upaya penyelamatan dan pengiriman bantuan terus dilakukan, kendati ada saja hambatannya. Mulai dari cuaca yang tidak kunjung membaik, sekoci yang hanyut saat dilepas, hingga bantuan yang terjatuh ke laut sebelum dapat diterima korban. Besarnya bantuan yang datang berduyun-duyun itu tidak kurang karena masifnya pemberitaan Tampomas II sehingga makin banyak kapal-kapal yang ikut membantu, beberapa di antaranya bahkan membawa dokter dan belasan perawat untuk mengobati korban yang luka atau cedera.

Namun tetap saja, dalam waktu tiga jam, hanya beberapa ratus penumpang lagi yang bisa diselamatkan dan jenazah yang bisa diangkut dari laut. Laporan Sinar Harapan yang dijadikan sebagai berita utama edisi 28 Januari 1981 menyebut angka 649 korban berhasil diselamatkan dalam dua hari Senin dan Selasa, dengan sebagian dibawa ke Ujungpandang, sementara sebagian lagi dibawa ke Tanjung Perak, Surabaya.

Di tengah hujan dan kabut yang tambah tebal, kapal-kapal yang terlibat dalam operasi penyelamatan dikejutkan dengan ledakan keras dari buritan Tampomas II. Ledakan itu diduga berasal dari tabung LPG yang digunakan untuk dapur kapal hingga menjebol pintu Roll-on-Roll-of di bagian belakang, tempat keluar masuk kendaraan. Keadaan kapal yang sudah ringsek, jutaan kubik air laut segera membanjiri Tampomas II dan membuat kapal miring secara perlahan.

“Menit-menit yang mendebarkan dari tragedi ini berjalan terus tanpa ada upaya yang mampu mengatasinya. Mulai jam 12.25, gerakan itu begitu cepat. Kapal bertonase 2419,9 DWT terbenam jelas dan kelihatan terjungkal, dengan lobang jangkar di haluan berada di atas,” tulis Sinar Harapan saat menggambarkan detik-detik terakhir Tampomas II.

Hanya butuh waktu kurang dari 20 menit untuk Tampomas II lenyap dari permukaan laut, tenggelam untuk selama-lamanya, hari ini, 41 tahun lalu. Pukul 12.42 WIB, atau 17 menit sejak ledakan terdengar, berakhirlah riwayat 36 enam jam neraka di Laut Jawa itu.

Sementara Tampomas II hilang dari pandangan, markonis Abubakar di KM. Sangihe masih terus menerima pertanyaan mengenai posisi Tampomas II. “Dijawab bagaimana, Kap?” Nakhoda Agus K. Sumirat hanya dapat bergumam, “Sedang menuju ke dasar laut.”

Baca juga artikel terkait TAMPOMAS atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi