Menuju konten utama
9 Mei 2012

Tragedi Sukhoi di Gunung Salak: Maut dalam 38 Detik yang Terabaikan

Pekat halimun.
Hari nahas pesawat
menghantam gunung.

Tragedi Sukhoi di Gunung Salak: Maut dalam 38 Detik yang Terabaikan
Ilustrasi Sukhoi Superjet 100. tirto/Sabit.

tirto.id - Menaiki sebuah tebing curam, di antara semak-semak pada ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut, Eko Siswono, mantan juru foto Tempo, memotret sebuah punggungan di puncak satu Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Objek yang ia foto adalah tebing curam yang longsor dan dipenuhi kabut dengan jarak pandang terbatas.

Setelah beberapa kali mengambil gambar, ia memperbesar hasil jepretannya. “Ini logo Sukhoi,” kata Eko saat itu. Gambar yang diambil Eko berhasil mengabadikan sayap berlogo pesawat Sukhoi yang tersangkut di punggungan, di sela-sela tebing pada puncak satu Gunung Salak.

“Ini logo di sayap belakang, tapi ke mana badan pesawatnya?” Arie Basuki, pewarta foto dari merdeka.com mengamati hasil jepretan Eko.

Eko dan beberapa pewarta foto yang berangkat bersama tim penyelamat Badan SAR Nasional (Basarnas) dari pendakian Pos Komando Kandang Sapi, Desa Cijeruk, tak satu pun menemukan badan pesawat Sukhoi. Hanya serpihan kecil berwarna putih dan logo pesawat yang tersangkut di dinding tebing.

Hari itu, Kamis 10 Mei 2012, sehari setelah Pesawat Sukhoi Superjet 100 dinyatakan hilang kontak di sekitar Gunung Salak, saya bersama 11 pewarta foto ikut tim penyelamat Basarnas mencari lokasi jatuhnya pesawat itu.

Berjarak 60 kilometer dari lokasi hilangnya Sukhoi, di Bandara Halim Perdanakusuma, para anggota keluarga penumpang menunggu cemas. Mereka menanti kepastian di depan monitor televisi, di hari yang sama ketika Sukhoi dinyatakan jatuh. Belum ada kepastian informasi apapun tentang para penumpang dan awak pesawat yang seluruhnya berjumlah 45 orang itu.

Siaran dari pos komando tim penyelamat di Cijeruk, Jawa Barat, terus diputar. Mereka memandangi layar televisi, menanti kabar baik sekaligus mukjizat. Dari posko-posko komando yang dijadikan pusat informasi tim penyelamat, pewarta menyemut. Di media daring, kabar itu terus diwartakan. Saking derasnya berita Sukhoi saat itu, situs berita cepat detik.com sempat memuat foto hoaks jatuhnya pesawat Sukhoi. Belakangan, detik.com meminta maaf kepada pembaca dan keluarga korban atas penayangan foto yang tidak diverifikasi itu.

Di tengah berita yang terus bergulir, keluarga penumpang menanti kabar tentang nasib sanak saudara mereka yang ikut dalam uji coba penerbangan Sukhoi. Kejadian ini pula yang membuat media saat itu memahami pentingnya verifikasi di tengah industri media yang menghamba pada kecepatan.

Sebelum Pesawat Menabrak Gunung Salak

Jakarta… Romeo Alfa Three Six Eight Zero One request descend from 10.000 feet to 6.000 feet,” Aleksandr Yablontsev, sang pilot Sukhoi, meminta menurunkan ketinggian kepada petugas di menara Jakarta Approach, Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Ketika Yablontsev menurunkan ketinggian, kecepatan pesawat di menara Jakarta terdeteksi 290 knot atau 537 kilometer per jam, separuh dari kecepatan maksimum. Itulah detik-detik terakhir Yablontsev berbicara dengan petugas menara pemantau. Setelahnya, permintaan agar pesawat berbelok ke arah kanan tak mendapat tanggapan. Moncong pesawat mengarah ke Gunung Salak.

Pilot tak mengetahui jika pesawat yang ia kendalikan mengarah dalam bahaya. Menurut laporan majalah Tempo edisi 21 Mei 2012, tujuh menit setelah Yablontsev meminta berbelok ke arah kanan, Sukhoi lenyap dari pantauan radar Jakarta Approach.

“Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One…. Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One.” Tiga kali dipanggil, pilot Yablontsev tak juga menyahut.

Sukhoi baru dinyatakan hilang empat jam kemudian. Kecelakaan itu terjadi pada 9 Mei 2012, tepat hari ini enam tahun silam.

Esoknya, pesawat buatan Rusia tahun 2009 itu dinyatakan jatuh di Gunung Salak berbarengan dengan penemuan titik lokasi jatuhnya. Jenazah para korban baru bisa dievakuasi tiga hari setelah Sukhoi dinyatakan hilang kontak.

Infografik Mozaik Tragefi Sukhoi

38 Detik Terabaikan

Dari rekaman kotak hitam yang berhasil dibuka Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terungkap, sebelum pesawat jatuh Alexandr Yablontsev terdengar mengobrol dengan pilot asal Indonesia. Tak teridentifikasi siapa pilot asal Indonesia itu, tapi yang pasti, Yablontsev sedang berbincang soal keunggulan Sukhoi sebelum pesawat nahas itu menghantam gigir gunung.

Ketika obrolan itu dilakukan, Yablontsev mengabaikan peringatan bahaya dari dalam kopkit termasuk permintaan kopilot Alexandr Kochetkov tentang cuaca. Padahal Yablontsev hanya punya waktu 38 detik untuk menghindari gunung di depannya.

“Tujuh detik menjelang tabrakan terdengar peringatan berupa suara 'landing gear not down' yang berasal dari sistem peringatan pesawat," ujar Ketua KNKT Tatang Kurniadi ketika mengumumkan hasil investigasi kecelakaan Sukhoi, tujuh bulan setelah kejadian.

Tapi, detik-detik itu diabaikan Yablontsev. Ketika alarm peringatan terus berbunyi sebanyak enam kali, ia mengira ada kerusakan pada database kontur. Ia kemudian mematikan alarm. Dua detik kemudian "duarrr"—pesawat meledak menghantam dinding puncak satu Gunung Salak. Sejak saat itu, Sukhoi dinyatakan hilang kontak hingga akhirnya ditemukan dalam kondisi hancur dan menewaskan 45 orang, terdiri dari 37 penumpang dan 8 awak pesawat.

“Maybe... database,” kata Yablontsev untuk terakhir kalinya.

Perbincangan itu menjadi kunci kenapa kemudian Sukhoi—pesawat yang sedang melakukan demonstrasi penerbangan untuk membetot pembeli di Indonesia itu—sirna. Menurut laporan majalah Tempo edisi Desember 2012, ketika Sukhoi dinyatakan jatuh, Rusia, negara tempat pesawat itu dibuat, meminta penyelidikan kotak hitam pesawat dilakukan di Moskow.

Namun, permintaan itu ditolak Tatang Kurniadi. Rusia kemudian mengirimkan tim ke Jakarta untuk melakukan penyelidikan bersama. "Mereka berkepentingan karena Sukhoi menjadi andalan industri penerbangan Rusia," ujar Mardjono Siswosuwarno, Ketua Tim Penyelidik Sukhoi KNKT, seperti dikutip Tempo.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN PESAWAT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Ivan Aulia Ahsan