Menuju konten utama

Tragedi Semanggi Pelanggaran HAM Berat, Rujukan Jaksa Agung Keliru

Rekomendasi DPR RI tak boleh jadi dasar menyimpulkan tak adanya pelanggaran HAM berat dalam tragedi Semanggi I dan II.

Tragedi Semanggi Pelanggaran HAM Berat, Rujukan Jaksa Agung Keliru
Jas Almamater Universitas Atmajaya dan foto Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang meninggal saat peristiwa Semanggi I. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Jaksa Agung ST. Burhanuddin menganggap Tragedi Semanggi "bukan merupakan pelanggaran HAM berat." Hal ini ia ungkapkan saat rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Kamis (16/1/220) kemarin.

Tragedi Semanggi merujuk ke dua peristiwa yang terjadi pada periode awal reformasi. Saat itu beberapa warga sipil meninggal dunia diduga oleh aparat, termasuk mahasiswa UI bernama Yap Yun Hap. Ia meninggal di depan Kampus Atma Jaya Jakarta. Setiap tahun para mahasiswa dan masyarakat mengenangnya dengan menabur bunga persis di titik ia ditembak.

Burhanuddin mendasarkan pendapatnya dari "hasil rapat paripurna DPR RI" tanpa menyebut waktu. Namun saat rapat kerja perdana pada 7 November 2019, menurutnya keputusan itu adalah hasil rapat paripurna DPR periode 1999-20204.

Lebih detail, mengutip Kontras, kesimpulan bahwa tak ada pelanggaran HAM berat di Tragedi Semanggi diputuskan DPR RI pada 9 Juli 2001. Saat itu hanya PDI, PDKB, dan PKB yang mengatakan ada pelanggaran HAM berat. Sisanya, termasuk Golkar dan Fraksi TNI/Polri, menyatakan sebaliknya (PDF).

Burhanuddin keliru persis karena ia mengutip hasil rapat paripurna yang merupakan forum politik, kata Komisioner Komnas HAM Chairul Anam.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kewenangan Jaksa Agung adalah penyidikan, yang penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Artinya, seorang Jaksa Agung yang paham peraturan semestinya melihat kasus dari kacamata hukum, bukan yang lain.

"Lah ini kok tiba-tiba pernyataannya politik banget? Ada apa dengan Jaksa Agung dan Presiden Jokowi?" katanya kepada reporter Tirto, Kamis (16/1/2020).

Komnas HAM sendiri telah merampungkan tugasnya menyelidikan kasus pelanggaran HAM ke Kejagung pada 27 Desember 2018. Bukan cum Tragedi Semanggi, tapi juga delapan kasus lain seperti Peristiwa 1965-1966, Talangsari, dan Trisakti.

Anam menegaskan dalam berkas penyelidikan tersebut, Komnas HAM tegas menyimpulkan Peristiwa Semanggi adalah pelanggaran HAM berat. Idealnya Kejagung melanjutkan prosesnya ke tahap penyidikan, dan bahkan pengadilan.

Ia meminta Burhanuddin memeriksa berkas Komnas HAM dan mengklarifikasi ucapannya yang keliru itu.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga menegaskan bahwa seorang pimpinan lembaga penegak hukum semestinya tidak mendasari pernyataannya dari keputusan politik.

"DPR, kan, prosesnya pasti politis. Jaksa Agung seharusnya pakai [argumen] hukum," kata Asfin kepada reporter Tirto.

Burhanuddin punya alasan lain kenapa tak juga menyidik kasus. Dalam rapat tersebut ia mengatakan instansinya selalu kesulitan dalam hal "kecukupan alat bukti." Menurutnya Komnas HAM pun tak bisa menjanjikan minimal dua alat bukti.

Asfin mengatakan pernyataan itu pun keliru karena mencari bukti, katanya, adalah "tugas Jaksa Agung sebagai penyidik."

Asfin khawatir sikap ini jadi preseden para penegak hukum lain. "Bayangkan kalau semua penyidik Polri kayak Jaksa Agung. Penyelidik kasih berkas, dia bilang kurang bukti. Padahal dia yang harusnya mencari bukti. Terus dia nurut keputusan politik."

Kritik juga disampaikan anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari. Taufik yang pernah aktif sebagai pengacara di YLBHI itu menilai sikap Jaksa Agung hanya akan membuat kasus pelanggaran HAM masa lalu tak kunjung selesai.

"Harus dicari solusinya, saya tidak ingin ini terus-menerus menggantung," kata Taufik, Kamis (16/1/2020).

Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly enggan berkomentar banyak. Di DPR RI, Kamis (16/1/2020) sore, ia mengatakan "harus koordinasi dulu dengan kementerian atau lembaga lainnya" sebelum memberikan penjelasan lengkap.

Namun ia menolak anggapan pernyataan Jaksa Agung menggambarkan sikat pemerintah dalam memandang pelanggaran HAM berat. "Bukan begitu. Kita lihat dulu nanti," kata Yasonna sembari bergegas ke mobilnya.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI SEMANGGI atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo & Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto