Menuju konten utama
24 September 1999

Tragedi Semanggi II dan Suramnya Kasus Pelanggaran HAM oleh Aparat

Luka abadi.
Mendung tak berganti di
langit Semanggi.

Tragedi Semanggi II dan Suramnya Kasus Pelanggaran HAM oleh Aparat
Ilustrasi tuntutan keadilan untuk korban Tragedi Semanggi II. tirto/Sabit

tirto.id - Jumat pagi sekira pukul 09.00. Yap Yun Hap baru saja tiba di rumahnya. Ia pulang setelah sehari sebelumnya, Kamis (23/9/1999), ikut berdemonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan menuntut pencabutan dwifungsi ABRI.

Yun Hap tak lama di rumah karena pada tengah hari ia sudah hendak pergi lagi berdemonstrasi. Sebelum berangkat, sang ibu, Ho Kim Ngo, meminta agar Yun Hap tinggal saja di rumah. Ia punya firasat tak baik.

"Ibu sudah melarang dia supaya jangan demo, nanti kenapa-kenapa. Soalnya menurut ramalan Cina, orang sio ular tahun ini sial. Tetapi Yun Hap orangnya memang keras, dia tetap berangkat ke kampus. Katanya: kalau kenapa-kenapa, itu sudah takdir. Soalnya seminggu lalu ada saudara saya yang nggak ikut demo pun meninggal karena ditabrak," ucap Yun Yie, adik Yun Hap, sebagaimana dikutip harian Kompas (26/9/1999).

Dari Kampus UI Depok Yun Hap bersama kawan-kawannya lalu berkeretaapi menuju Jalan Jenderal Sudirman. Ia sampai di sana ketika hari sudah petang. Yun Hap dapat tugas untuk mengamati keadaan. Setelah itu ia bergabung bersama demonstran lain yang berkumpul di sekitar kampus Universitas Atma Jaya, Semanggi.

Seturut laporan harian Kompas (28/9/1999), sejak petang hingga pukul 20.30 demonstrasi berjalan tenang. Sekira 300-an demonstran dari kalangan mahasiswa dan masyarakat umum sedang makan bersama di pinggir jalan. Ada pula aparat kepolisian yang bertugas di sana. Tak ada keributan sama sekali.

Ketenangan itu koyak ketika pukul 20.30 terdengar tembakan dari kejauhan. Massa demonstran yang kaget mulai berdiri dan melongok-longok ke arah jembatan layang Karet-Sudirman. Tampak dari sana iring-iringan mobil tentara.

Ketika iring-iringan mobil tentara mendekat, rentetan tembakan kian gencar. Demonstran mulai berhamburan lari. Para mahasiswa mencoba mencari perlindungan ke Kampus Atma Jaya dan Rumah Sakit Jakarta (RSJ). Segelintir demonstran sempat pula melakukan perlawanan.

Ketika sepasukan tentara mulai menembak ke arah demonstran, Yun Hap menghindar bersama dua kawannya, Kokom dan Arif. Namun, karena keadaan kacau mereka terpisah satu sama lain. Kokom dan Arif akhirnya bertemu kembali di RSJ sekitar pukul 22.30, tetapi Yun Hap tak jelas ada di mana. Hingga tengah malam kabar Yun Hap tetap sumir.

Kawan-kawan Yun Hap baru mendapat kabar keberadaannya pada 00.30 dini hari. Bukan di Rumah Sakit Jakarta atau Kampus Atma Jaya, melainkan di RS Cipto Mangunkusumo, Salemba. Nahas, mahasiswa Fakultas Teknik UI itu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Sebuah lubang akibat tembakan menganga di punggung kiri atasnya.

Harian Kompas memberitakan, “Pihak UGD RSCM mengkonfirmasi bahwa korban masuk pukul 21.30. Dari hasil pemeriksaan forensik oleh dr Agus P dan dr Jaya dari RSCM disebutkan bahwa korban meninggal akibat penembakan dengan menggunakan peluru tajam. Peluru tersebut juga diperlihatkan kepada saksi-saksi mahasiswa.”

Rangkaian Unjuk Rasa

Peristiwa penembakan demonstran oleh tentara yang terjadi pada 24 September 1999, tepat hari ini 19 tahun lalu, itu kini dikenang sebagai Tragedi Semanggi II.

Peristiwa ini bermula dari keputusan DPR mengesahkan UU PKB pada 23 September. Itu bukan demonstrasi pertama, tapi puncak dari serangkaian demonstrasi mahasiswa menentang pengesahan RUU PKB sejak awal September. Unjuk rasa bukan hanya di Jakarta, tetapi terjadi juga di beberapa daerah.

Tak jarang demonstrasi itu berujung bentrokan. Seperti yang terjadi pada 10 September, saat seribuan mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) hendak berdemonstrasi ke Gedung MPR/DPR. Dalam pernyataannya, Famred menuntut agar pembahasan RUU PKB dihentikan. Substansi RUU itu dianggap akan makin mengukuhkan dominasi militer di Indonesia, sementara pelanggaran HAM oleh militer masih terjadi.

Sebagaimana dilansir harian Kompas (11/9/1999), massa Famred yang bergerak dari arah Semanggi awalnya diadang polisi. Namun, aparat kepolisian yang semula bertindak simpatik tiba-tiba digantikan Pasukan Penindak Rusuh Massa dari TNI. Bentrokan akhirnya tak terhindarkan dan empat orang demonstran dikabarkan terluka akibat tindakan represif aparat.

DPR sebenarnya telah merevisi sejumlah pasal RUU PKB—semula RUU Keselamatan dan Keamanan Negara—ketika penolakan masyarakat semakin gencar. DPR mengaku telah mempertimbangkan keberatan dari masyarakat dalam proses revisi itu. Namun, kurangnya sosialisasi dan komunikasi politik yang macet membuat masyarakat tetap kukuh menolaknya.

Penolakan tak cuma datang dari mahasiswa, namun juga masyarakat umum dan terjadi tidak hanya di ibu kota. Dicatat Kompas (21/9/1999), ratusan demonstran dari Urban Poor Consortium (UPC) berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR. Selain penghentian pembahasan RUU PKB, UPC juga menuntut pencabutan UU Keadaan Bahaya yang telah berlaku sejak 1959 serta penghentian aksi represif TNI di berbagai wilayah.

Pada hari yang sama juga terjadi demonstrasi di Bandung dan Semarang. Di Bandung setidaknya 12 kesatuan aksi dari berbagai perguruan tinggi dan ormas berdemonstrasi di Gedung DPRD Jawa Barat. Sementara di Semarang unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Jawa Tengah digerakkan oleh Komite Semarang untuk Aksi Demokrasi (KSAD).

Infografik Mozaik Tragedi Semanggi II

Tak Jelas Penyelesaiannya

Tewasnya Yun Hap mengundang reaksi keras dari sejumlah kalangan. Mereka mengutuk ABRI yang terus menggunakan cara-cara represif untuk mengatasi demonstrasi. Tragedi Trisakti pada Mei 1998 dan Semanggi I pada November 1998 tentu belum lekang dari ingatan publik kala itu. Mereka juga menuntut agar UU PKB segera dicabut.

Salah satu kecaman datang dari Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. "RUU PKB harus ditunda dan bahkan harus dihentikan. Karena kalau tidak, justru menimbulkan pertanyaan 'maunya apa'. Kita tentu amat kecewa sampai ada nyawa melayang dan luka-luka parah," tegas Amien dikutip Kompas (26/9/1999).

Perkara tewasnya Yun Hap lalu diusut Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) yang diketuai Hermawan Sulistyo. Menurut penelusuran TPFI, seperti dilaporkan Kompas (28/9/1999), Yun Hap kena tembak tentara sekira pukul 20.40. Ia tewas sebelum berhasil masuk ke RSJ. TPFI menegaskan tak ada kendaraan lain saat itu kecuali kendaraan ABRI.

"Tentang sinyalemen adanya mobil lain, itu sama sekali tidak mungkin. Dari dua saksi utama yang kami cek silang secara mendalam, Yun Hap jatuh tersungkur oleh kelompok tembak pertama. Sesudah kelompok tembak pertama, ada kelompok tembak kedua. Jadi, tidak mungkin ada satu kendaraan apa pun yang masuk di tengah kedua kelompok tembak tersebut. Karena itu penjelasan Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayjen (Pol) Noegroho Djajoesman-Red) itu sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan," ungkap anggota TPFI Tamrin Amal Tomagola kepada Kompas.

Atas desakan mahasiswa dan keluarga korban kekerasan aparat keamanan, DPR kemudian membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) pada 2000. Sekira satu tahun Pansus TTS bekerja dan memperoleh kesimpulan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Hasil ini tentu saja sangat mengecewakan bagi keluarga korban. Pada Juli 2001 hasil kerja Pansus TSS di bawa ke rapat paripurna DPR. Kesimpulan DPR pun mengecewakan. Tiga fraksi menyatakan adanya unsur pelanggaran HAM berat, sementara tujuh fraksi lain menyatakan tak terjadi pelanggaran HAM berat.

Laman berita BBC menyebut bahwa usai mentok di DPR Komnas HAM turun menyelidiki kasus TSS dengan membentuk KKP HAM. Hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan adanya bukti-bukti yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Juga, setidaknya 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Selanjutnya, pada April 2002 KPP HAM menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung untuk diproses. Lagi-lagi penyelesaiannya buntu. Kejaksaan Agung menolak memprosesnya dengan alasan kasus tersebut sudah disidangkan melalui pengadilan militer. Kenyataannya peradilan militer hanya menghukum pelaku lapangan. Otak di balik tindakan represi itu tak tersentuh.

Sejak itu prospek penyelesaian kasus TSS pun jadi suram hingga kini. Komitmen pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM begitu tipis. Pemerintah seakan-akan membiarkan kasus ini menguap dan terlupakan seiring waktu.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Hukum
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan