Menuju konten utama
19 Mei 2018

Tragedi Royal Wedding: Rasisme & Cabutnya Meghan Markle dari Istana

Keluarnya Meghan Markle dari kerajaan Inggris dinilai sebagai bentuk penolakan terhadap sikap rasisme yang tak kunjung lenyap dari media-media Inggris.

Tragedi Royal Wedding: Rasisme & Cabutnya Meghan Markle dari Istana
Harry Windsor & Meghan Markle. tirto.id/Nauval

tirto.id - Dua tahun lalu, api membakar Grenfell Tower, proyek social housing di North Kensington, sebuah distrik elite di London. Apartemen 24 lantai itu dihuni imigran miskin dari Sudan, Eritrea, dan Suriah. Banyak penghuni yang loncat dari jendela unit apartemen. Ratusan korban luka, 70 lainnya tewas.

Menurut laporan BBC, mereka yang selamat masih harus menunggu selesainya renovasi gedung yang direncanakan dimulai pada Januari 2020. Selagi menanti, sebagian perempuan imigran penghuni Grenfell Tower mendirikan Hubb Community Kitchen, komunitas yang mengelola dapur umum. Mereka memasak bersama untuk memenuhi kebutuhan pangan para korban kebakaran.

Pusat dapur umum itu terletak di Al-Manaar Muslim Cultural Heritage Center yang terletak di kompleks masjid Al Manaar. Pembangunan masjid itu didanai pemerintah Inggris sebagai wujud keterbukaan terhadap muslim.

Namun, citra Al-Manaar sebagai masjid muslim moderat tercoreng. Menurut laporan Wall Street Journal, pada 2005 terjadi aksi teror berupa pengeboman di dalam bus yang dilakukan dua jemaah Al-Manaar. Sejak itulah masjid itu dianggap sarang ekstremis.

Sejak royal wedding antara Meghan Markle dan Harry Windsor digelar pada 19 Mei 2018, tepat hari ini dua tahun lalu, Meghan beberapa kali datang ke kawasan masjid itu. Ia menemui ibu-ibu anggota Hubb Community. Mereka memasak bersama dan Meghan menerbitkan buku berisi kumpulan resep yang mereka coba di tempat tersebut. Hasil penjualan buku didonasikan bagi kebutuhan dapur ibu-ibu anggota Hubb Community.

Buku yang berjudul Together, Our Community Cookbook itu terjual sebanyak 400.000 eksemplar.

Sayangnya media Inggris memberitakannya dengan nada negatif. Media-media seperti The Times, Metro, The Sun, dan Daily Mail hanya menekankan Markle melakukan kegiatan amal di "markas teroris".

Pemberitaan itu termasuk dalam setidaknya tiga pemberitaan tendensius tentang Meghan Markle. Pada November 2016, Daily Mail menyebut ibu Meghan berasal dari daerah ‘kumuh’. Daily Mail juga menyatakan perempuan dengan "DNA eksotis" tak pantas mendampingi Harry.

Pada Mei 2019 BBC memecat stafnya, Danny Baker, karena mengunggah cuitan yang menyamakan anak Meghan dan Harry, Archie, sebagai bayi simpanse.

Komentar-komentar negatif itu sempat membuat Harry menggugat The Sun dan Daily Mail, dua media gosip yang laris di Inggris, pada Oktober 2019.

Bagi Harry, media tidak sepatutnya membuat pemberitaan tendensius semacam itu.

“Saya sudah terlalu lama menyaksikan penderitaan Meghan. Berdiam diri bukanlah tindakan yang sesuai dengan prinsip kami,” tulis Harry dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan pada 1 Oktober 2019.

Dalam pernyataan tersebut ia juga menyebut ketakutan terhadap "sejarah yang berulang".

“Saya menyaksikan sendiri apa yang terjadi ketika orang yang saya sayangi dijadikan komoditas sampai pada titik ketika ia tidak lagi dilihat dan diperlakukan sebagai manusia normal. Saya kehilangan ibu dan sekarang saya melihat istri saya jadi korban kejahatan media,” lanjutnya.

Sekitar dua bulan setelah melayangkan gugatan, Harry membuat pengumuman resmi bahwa dirinya resmi mengundurkan diri dari tanggung jawab sebagai anggota kerajaan Inggris. Ia dan Meghan ingin mandiri secara finansial dan tinggal berpindah-pindah antara Inggris dan Kanada.

Harry tidak menyebut alasan pengunduran dirinya. Tapi, ada dugaan bahwa pemberitaan rasis tentang Meghan jadi penyebab utama.

Asal Usul Rasisme di Inggris

Secara historis Inggris memang punya masalah rasisme. Rasisme terhadap kulit hitam, yang bermula dari perdagangan budak (berakhir pada 1807), hanyalah salah satunya. Rasisme di banyak tanah jajahan Inggris adalah kisah lain yang tak kalah memilukan.

Inggris bahkan pernah rasis terhadap sesama orang kulit putih. Salah satu episode rasisme Inggris yang paling diingat terjadi pada 1841. Waktu itu Britania Raya berada di puncak kemakmuran dengan negeri-negeri jajahan terbentang di seluruh penjuru dunia. Siapa korban rasisme Inggris kala itu? Orang Irlandia. Sejak 1801, Irlandia memang berada di bawah kekuasaan Inggris sampai akhirnya merdeka pada 1921. Namun, hingga kini Irlandia Utara masih berada di bawah kekuasaan Inggris.

Race and Racism in Britain (2003) karya John Solomos menyebut rasisme waktu itu bermula ketika orang-orang Irlandia datang ke Inggris untuk menjual hasil kebun. Saat itu tanah di Irlandia menghasilkan bahan pangan seperti kentang yang berkualitas baik. Inggris adalah konsumen utamanya. Orang-orang Irlandia kemudian rutin menginjakkan kaki di Inggris setiap musim panen tiba.

Lambat laun, banyak orang Irlandia yang menetap dan bekerja di Inggris karena bencana kelaparan yang diakibatkan oleh gagal panen kentang (1841-1852). Namun, warga Inggris tak selalu bersikap baik kepada orang-orang Irlandia yang mereka anggap lebih rendah derajatnya. Muncul pula stereotip bahwa orang Irlandia adalah alkoholik dan pecinta kekerasan. Dalam sebuah pidatonya pada 1836, Perdana Menteri Inggris Benjamin Disraeli menyebut orang Irlandia sebagai orang "liar, ceroboh, pemalas, percaya tahayul" dan "tidak bisa bersimpati kepada ras Inggris", demikian tulis Robert Blake dalam biografi Disraeli (2012).

Beberapa tahun setelahnya, kerajaan Inggris merekrut orang-orang Karibia, India, dan Cina sebagai pelaut. Meski demikian, Solomos mencatat, para pejabat tidak mengizinkan mereka tinggal di Inggris.

Pada 1890-an, terbit aturan yang melarang para pelaut non-Inggris untuk tinggal di negara tersebut. Pemerintah membuat aturan yang memaksa para pelaut untuk pulang ke negaranya dan memberi kuasa kepada aparat negara untuk memulangkan siapa pun yang bersikukuh untuk menetap.

Perekrutan pelaut asing terus terjadi sampai 1910-an. Beberapa pelaut memutuskan untuk tinggal di kota-kota Inggris seperti Cardiff, Liverpool, dan Glasgow. Tapi kehidupan mereka tidak selalu nyaman karena polisi Inggris kerap berupaya memulangkan pelaut asing. Tindakan itu akhirnya dicegah oleh pemerintah dengan alasan bahwa para pelaut bekerja untuk negara. Di sisi lain, aturan itu pun tak lantas membebaskan mereka dari perlakuan rasis aparat.

Solomos menulis bahwa tiga kota pelabuhan tersebut lekat dengan stereotip sebagai daerah miskin yang 'menghasilkan' orang-orang jahat yang tidak bisa menyatu dengan masyarakat Inggris.

“Sesungguhnya rasisme yang terjadi di Inggris saat ini bisa lebih dimengerti bila kita melihat latar belakang sejarah selama lima dekade ke belakang,” tulis Solomos.

Sampai hari ini cerita-cerita soal rasisme masih muncul di Britania Raya. Salah satunya bisa dilihat dari laporan dari pemerintah Inggris tentang kejahatan berdasarkan kebencian (hate crime). Setiap tahun pemerintah Inggris melansir laporan resmi soal kejahatan berdasar kebencian dan menemukan bahwa dalam periode 2018-2019, tingkat kejahatan berdasarkan kebencian meningkat dari tahun sebelumnya. Peningkatannya pun bahkan berkali-kali lipat lebih besar dibanding sewindu sebelumnya.

Sebanyak 76% (atau 78.991 orang korban rasisme) dari kejahatan berdasarkan kebencian itu termasuk dalam kategori kasus rasisme. Perlu diingat bahwa jumlah tersebut berangkat dari kasus-kasus yang dilaporkan ke polisi. Ada kemungkinan lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan.

Rasisme hari ini sering menimpa turis asing, pencari suaka, dan pengungsi. Di samping itu, tindakan seperti pembuatan grafiti yang menyinggung ras tertentu juga dikategorikan sebagai kejahatan rasisme.

Rasisme juga terjadi terhadap orang-orang non Inggris yang sudah tinggal di Inggris dan kasus ini kerap terjadi di institusi pendidikan tinggi (universitas) dan lingkungan kerja.

Infografik Mozaik Megxit

Infografik Mozaik Megxit. tirto.id/Nauval

Pada 15 April 2019, University of Manchester memublikasikan hasil penelitian mahasiswa pasca-doktoral di Centre of Dynamics of Ethnicity yang menyebut bahwa 70% dari pekerja non-inggris mengalami rasisme. Sebanyak 60% di antaranya menyatakan tidak mendapat perlakuan adil karena ras mereka. Setengah dari jumlah total responden (5000 orang) menyatakan bahwa rasisme mengganggu kinerja mereka. Salah tindak rasisme yang mereka alami adalah kekerasan verbal, misalnya dalam bentuk lelucon rasis.

Rasisme juga membuat seseorang memutuskan keluar dari tempat kerja atau mengambil cuti sakit. Rasisme ini tak hanya terjadi pada para karyawan tetap tetapi juga pada karyawan lepas.

Sebagian besar dari responden memilih untuk mengabaikan tindakan rasis karena takut dicap sebagai “pembuat onar”.

Pengajar Sosiologi di University of York Katy Sian melakukan penelitian terhadap kasus rasime di kampus. Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan di The Conversation dengan judul "Extent of institutional racism in British universities revealed through hidden stories", Sian mengutip data Higher Education Statistics Agency yang menyebut 17.880 profesor yang bekerja di Inggris, hanya 85 yang berkulit hitam, 950 Asia, dan 365 berasal dari non-Inggris lain. Data berasal dari tahun 2012-2013.

Sian melakukan wawancara mendalam terhadap 20 akademisi junior dan senior yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang lulus dari universitas di Inggris setelah 1992. Dari sana ia menemukan bahwa rasisme di universitas di Inggris bersifat subtil sehingga sering tidak disadari.

“Aku tidak pernah diikutsertakan dalam diskusi dan selalu jadi orang terakhir yang diajak bicara bila ada masalah tertentu yang perlu dikonsultasikan. Rasisme ini terletak pada gestur. Pada apa yang tidak dibicarakan,” tulis Sian dalam The Conversation.

“Respondenku cerita soal kesulitan mendapat promosi jabatan, kurang mendapat mentoring, merasa tidak nyaman bekerja, dan tidak dihargai di lingkungan kerja.”

Keluarga kerajaan Inggris pun tak jarang disorot terkait isu rasisme. Pada 2017 lalu, Putri Michael pernah dianggap rasis kala menggunakan bros blackamoor kala menghadiri jamuan makan untuk merayakan hari pertunangan Meghan dan Harry.

Blackamoor adalah seni dekoratif yang umumnya berbentuk patung sesosok laki-laki kulit hitam. Blackamoor populer sejak abad ke 18 di Eropa. Seiring waktu, karya seni ini dianggap sebagai simbol kolonialisme Eropa terhadap masyarakat Afrika.

CNN mengutip pendapat penulis seni Anneke Rautenbach yang menyebut blackamoor sebagai wujud perjumpaan orang Eropa dan orang-orang Moor. Moor adalah sebutan generik untuk orang-orang Afrika Utara yang mayoritas beragama Islam. Pada abad-abad lampau mereka dibawa ke Eropa untuk diperbudak. Sejarawan seni Adrienne L. Childs juga menyebut blackamoor sebagai simbol objektifikasi tubuh pria kulit hitam.

Pada 2004, koresponden Guardian Gary Younge melaporkan bahwa Putri Michael pernah melontarkan pernyataan rasis kepada orang-orang kulit hitam dalam sebuah jamuan makan malam di New York. Ia menyatakan mereka harus kembali ke tanah jajahan.

Putri Michael jelas melupakan fakta bahwa banyak leluhur orang-orang kulit hitam di New York dikapalkan oleh Inggris untuk diperbudak.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 30 Januari 2020 dengan judul "Rasisme Inggris dan Keluarnya Meghan Markle dari Istana Buckingham". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf