Menuju konten utama

Tragedi Pembunuhan Berantai terhadap Pekerja Seks di Green River

Lewat kisah menyedihkan ini setiap tanggal 17 Desember diperingati sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Pekerja Seks.

Tragedi Pembunuhan Berantai terhadap Pekerja Seks di Green River
Header Mozaik pembunuh berantai di Green River. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada 12 Agustus 1982, Frank Linard menyalakan cerutu kegemarannya di atas truk pengangkut daging sapi yang akan ia kemudikan. Waktu menunjukkan jam makan siang, sementara cuaca gerimis membasahi pinggiran Kent, kota di wilayah King County, Washington.

Perusahaan tempatnya bekerja, PD&J Meat Company adalah perusahaan jagal daging sapi. Rutinitasnya membersihkan daging-daging yang baru dipenggal. Ia akan menyemprotkan sisa-sisa darah ke dalam tangki septik sebelum mengantar daging-daging tersebut ke pabrik rendering terdekat.

Gedung tempatnya bekerja berdekatan dengan Green River. Sungai yang memiliki panjang 105 km ini hulunya berasal dari Gunung Rainer dan hilirnya berada di selatan kota Seattle. Sungai tersebut akan terlihat jernih dan tenang ketika musim panas tiba.

Linard kembali mengisap cerutunya, lalu memerhatikan buih-buih di sela batangan kayu yang ada di Green River. Arus sungai saat itu terlihat lambat, namun buih yang begitu dominan adalah kejanggalan bagi Linard.

Ia turun dari truk dan mulai menduga bahwa busa itu bisa saja bangkai hewan yang hanyut. Linard berpikir, kulitnya mungkin memiliki harga yang lumayan di pasaran. Ketika mulai menyusuri tepi sungai dan mendekati semak-semak tinggi, buih yang ia sangka hewan ternyata berasal dari mayat perempuan telanjang yang digantung di batang kayu besar.

Carlton Smith dalam The Search for the Green River Killer:The True Story of America’s Most Prolific Serial Killer (1991) mengatakan, perempuan malang itu memiliki tato di salah satu lengannya yang menjuntai dalam arus sungai yang lambat. Badannya membungkuk dengan bagian bawahnya terangkat. Rambutnya melambai-lambai di atas air. Wajahnya menatap dasar sungai, memutih dengan mata yang sudah tidak berpupil.

Linard bergegas kembali ke gudang dan menelepon polisi setempat.

Korban kemudian berhasil diidentifikasi bernama Debra Bonner. Berusia 23 tahun, Bonner terakhir kali terlihat di selatan Bandara Seattle-Tacoma (SeaTac) pada tanggal 25 Juli 1982.

Tiga hari kemudian, seturut catatan History, mayat perempuan lain kembali ditemukan di tepian Green River. Opal Mills (16 tahun), Cynthia Hinds (17 tahun), dan Marcia Chappman (31 tahun). Rata-rata mereka dicekik sebelum dibunuh dan dibuang ke tepian sungai.

Hari-hari berikutnya adalah kengerian yang memanjang bagi penduduk di sepanjang Kota SeaTac. Total ada 49 korban yang mati mengenaskan dengan target yang nyaris sama: sebagian besar korban adalah pekerja seks dan gadis-gadis muda yang dalam pelarian.

Setelah kesepakatan transaksi dengan pelaku, biasanya korban diajak ke pinggiran hutan untuk berhubungan seks di dalam truk. Mereka kemudian dibunuh dengan cara dicekik. Mayatnya dibuang ke lembah, hutan di Star Lake, atau rawa-rawa di sekitar Green River. Bahkan setelah tidak bernyawa, korban masih diajak berhubungan seks (seks post-mortem).

Pelakunya, Gary Ridgway, ditangkap tahun 2001 setelah hampir 20 tahun polisi gagal meyakinkan bukti untuk menyeretnya ke pengadilan. Ia baru didakwa dengan hukuman penjara seumur hidup pada tanggal 17 Desember 2003.

Sebelumnya ia didakwa hukuman mati. Namun pengacaranya berhasil membuat kesepakatan bahwa ia telah mengakui semua kejahatannya dan akan membantu penyidik mengenai lokasi pembunuhan sebagai upaya penghormatan pada keluarga korban.

PSK Bangkok

Pekerja seks komersial di Bangkok, Thailand. REUTERS/Jorge Silva

Perdesaan yang Menjadi Kawasan Urban

Bandara SeaTac berada di jalur Jalan Raya Pacific Selatan yang membentang dari simpang South 139 ke simpang South 272 dengan jarak tempuh sejauh delapan sampai sepuluh mil. Di sebelah timurnya mengalir Green River yang berkelok-kelok dengan kedalaman seratus kaki dari permukaan laut.

Awal abad ke-20, kawasan ini adalah perdesaan yang masih asri dan tenang. Pohon-pohon cemara tinggi tersebar di punggung-punggung bukit. Area hijau banyak ditemukan di antara peternakan dan perkebunan penduduk. Sekitar tahun 1920 sampai 1930-an, kawasan ini mulai dipenuhi bandit dan rampok yang membegal pengguna jalan raya.

Setelah Perang Dunia II, Pelabuhan Seattle mendapatkan dana sebesar $1 juta dari Civil Aeronautics Administration, administrasi penerbangan sipil AS, dan $100.000 dari Kota Tacoma untuk membangun bandara baru menggantikan lapangan terbang lama yang dibangun oleh Perusahaan Boeing yang sebelumnya dioperasikan selama perang berkecamuk.

Sejak adanya Bandara SeaTac, kawasan ini mulai berubah dari karakter kawasan perdesaan menjadi urban metropolis. Pohon-pohon yang tadinya menghiasi perbukitan telah diganti menjadi landas pacu bandara baru. Penggusuran juga terjadi pada peternakan kelinci, peternakan katak, sekolah berkuda, peternakan jamur, dan rumah-rumah penduduk sipil.

Seiring waktu, Jalan Raya Pacific Selatan diperluas ketika bandara mulai beroperasi tahun 1944.

Awal tahun 1980-an, seperti dilansir Time, kawasan ini banyak dihuni pekerja minyak asal Alaska dan pelaut yang sedang libur atau sekadar singgah. Ada juga penduduk lokal yang sedang bekerja paruh waktu.

Maraknya para pendatang menjadikan jalur ini dipenuhi oleh papan reklame, salon dan spa, pom bensin, motel-motel murah, bar yang selalu buka 24 jam, juga klub striptis yang begitu menjamur, dan tempat hiburan lainnya.

Dari sini pula lahir The Strip, sebuah klub tari telanjang di Jalan Raya 99/Pacific Avenue South, yang jaraknya hanya 7 menit dari Bandara SeaTac. Para pekerjanya sebagian besar gadis muda belia yang kabur dari rumah dan mencoba bertahan hidup.

Para pekerja Seks ini menjajakan diri di pinggir jalan sepanjang malam dengan lambaian seperti memberi isyarat untuk menggoda. Jika hujan turun begitu deras, mereka akan berlindung di halte atau supermarket terdekat sampai target pelanggan dari mucikari terpenuhi.

Sementara bagi para hidung belang, mereka yang mabuk dan efek alkoholnya memaksa mereka untuk melampiaskan berahi, mencari perempuan di jalanan Seattle.

Sejak itulah kawasan ini terkenal dengan area prostitusinya yang begitu marak. Puncaknya ketika Pelabuhan Seattle mengakuisisi dan menggusur rumah-rumah di jalur penerbangan menuju Bandara SeaTac. Akibatnya, hunian kosong dan rumah-rumah papan tumbuh subur dan dimanfaatkan beberapa pekerja seks untuk bertransaksi.

Mencari Pembunuh di Green River

Sebelum Frank Linard menemukan mayat Debra Bonner, dua mayat telah ditemukan sebelumnya, Wendy Coffield dan Lean Wilcox. Saat itu, Kepolisian King Countey sudah membentuk satuan tugas untuk menyelidiki pembunuhan berantai di Green River.

Satgas beranggotakan 15 petugas kepolisian dan 10 detektif yang dipimpin oleh detektif utama Dave Reichert. Ia adalah orang yang menemukan mayat Opal Mills pada tanggal 15 Agustus 1982.

Dibantu juga oleh detektif berpengalaman Tom Jensen dan Robert D. Keppel. Nama terakhir adalah detektif yang beberapa tahun sebelumnya berhasil memecahkan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ted Bundy.

Detektif Fae Brooks yang sebelumnya berkutat dalam Unit Kejahatan Seksual juga ikut bergabung dalam Satgas. Sebelumnya, Brooks adalah penyintas kejahatan seksual.

“Saat aku jadi detektif Kejahatan Seksual, itu seperti terapi, karena aku bisa menangkap orang yang melecehkan dan menyiksa orang lain,” ujarnya dalam serial dokumentar Catching Killer.

Prostitusi di berlin

Tempat prostitusi di club malam 'King George Club' di Kota Berlin, Jerman. FOTO/Getty Images

Mereka kemudian banyak mengumpulkan bukti-bukti untuk memecahkan pembunuhan berantai dengan penanganan terlama dalam sejarah kriminal AS.

Melvyn Poster mencuat sebagai tersangka utama karena profesinya sebagai sopir taksi yang berkeliaran sepanjang malam di kawasan The Strip. Ia kemudian diawasi tim Satgas selama 24 jam sehari.

Penyidik menghentikan pengawasaan kepada Poster karena tidak ada bukti kuat keterlibatannya dalam pembunuhan Green River.

Setelah itu, demonstrasi digelar oleh organisasi perempuan dan para pekerja seks komersial yang mempertanyakan perkembangan kasus pembunuhan berantai tersebut. Mereka berkesimpulan polisi tidak serius karena korban adalah para pelacur.

Dave Reichart mengatakan bahwa ia dan timnya tidak pernah melabeli para gadis ini. Ia malah menganggap mereka adalah putri, cucu, dan saudarinya sendiri.

“Mereka manusia. Itu intinya,” tegasnya.

Sebagaimana diberitakan Time, sampai dua tahun setelah Satgas dibentuk, 40 mayat ditemukan sepanjang kawasan Green River dan Bandara SeaTac. Mayat-mayat ini sering ditemukan dalam keadaan tidak utuh, seperti warga yang menemukan kerangka korban di perkebunan apel atau tulang belulang manusia oleh anjing di lapangan bisbol.

Jelang akhir tahun 1984, Satgas membuka sayembara berhadiah sebesar $100.000 bagi siapapun yang memiliki informasi tentang sosok pembunuh berantai yang masih berkeliaran.

Beberapa saksi mata kemudian memberi laporan-laporan. Ada yang mengaku melihat seseorang mirip Gary Ridgway mengajak Marie Malvar masuk ke sebuah truk pikap di sebuah toko. Satgas kemudian menginterogasinya beberapa hari kemudian setelah Malvar dinyatakan hilang. Namun, Ridgway membantah terlibat.

Ketika namanya dikaitkan kembali, Satgas melakukan penggeledahan ke rumahnya dan Kenworth Motor Truck, perusahaan tempatnya bekerja. Namun ia malah lulus tes poligraf dan selalu menyangkal telah melakukan pembunuhan kepada perempuan manapun.

Satgas Green River dibuatnya frustasi, bahkan ketika ada penambahan detektif menjadi 60 orang, sampai akhirnya dibubarkan pada awal tahun 1985. Selain karena tidak menemukan titik terang, biaya penyelidikan juga tergolong besar karena sudah menghabiskan dana sebesar $15 juta.

Tahun 1987, Ridgway mulai menyerahkan salah satu bukti yang kemudian menjadi bukti paling berharga sebelum polisi menangkapnya empat belas tahun kemudian, yakni sampel air liur.

Seperti diketahui, perkembangan teknologi uji sampel dari tim forensik pada saat itu belum secanggih sekarang. Bahkan uji sperma dan darah korban yang dilakukan Satgas dengan sampel air liur milik Ridgway juga tidak akurat. Ia kembali bebas berkeliaran selama satu dekade.

Akhir tahun 1997, Dave Reichert terpilih menjadi sheriff di Kepolisian King County. Ia langsung mengumpulkan detektif terbaik. Tes DNA dan teknologi tim forensik saat itu juga sudah berkembang pesat. Pencocokan bercak darah atau sperma sudah cukup untuk menangkap pelaku Green River.

Infografik Mozaik pembunuh berantai di Green River

Infografik Mozaik pembunuh berantai di Green River. tirto.id/TIno

Kepolisian kemudian membuka kembali sampel air liur Ridgway yang disimpan dalam freezer dan dicocokkan dengan sperma maupun darah korban kisaran tahun 1982-1983. Dan hasilnya sudah tidak diragukan lagi. Ia ditangkap pada 30 November 2001.

Dalam pengakuannya yang dilansir CNN, Gary Ridgway selalu senang ketika membunuh para pekerja seks tersebut. Menurutnya mereka adalah mangsa paling mudah dan tidak akan langsung dilaporkan hilang, bahkan mungkin tidak pernah dilaporkan sebagai orang hilang.

“Saya memilih pelacur karena saya pikir bisa membunuh mereka sebanyak yang saya suka tanpa tertangkap.”

Ia kerap menggunakan sarung tangan ketika mengajak para korban berkencan. Gary selalu memangsa para pekerja seks yang sendirian dan jauh dari keramaian. Seturut laporan The Washington Post, ia tidak merokok dan mengunyah permen karet, namun akan mengelabui polisi dengan meninggalkan puntung rokok dan bungkus permen karet di dekat tubuh korban.

Kepiawaian lainnya dalam mengelabui penyidik adalah jika ada bekas perlawanan korban di bagian tubuhnya, ia akan menyangkal bahwa itu cedera dari pekerjaan. Lalu dia akan membuat klaim sendiri ke klinik atau rumah sakit terdekat untuk dijadikan klaim pengobatan ke kantornya. Ia juga akan memotong kuku korban sebelum membunuhnya jika dalam hubungan seks ada garukan atau mencoba merobek pakaiannya.

Hari Internasional untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Pekerja Seks

Untuk mengenang para korban pembunuhan berantai Green River, organisasi Sex Workers Outreach Project USA (SWOPUSA) memperingati International Day to End Violence Against Sex Workers setiap 17 Desember, tanggal saat Gary Ridgway divonis. Peringatan ini selalu dirayakan setiap tahun sejak 2003.

Visi utama organisasi ini adalah menggaungkan perlindungan terhadap pekerja seks dari kekerasan fisik maupun mental, rasisme, stigma, hingga diskriminasi. Juga perlindungan dari upaya-upaya menghilangkan nyawa para pekerja seks, baik oleh individu maupun atas nama instansi dan negara.

Di Indonesia, sebagaimana dilansir Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), sepanjang tahun 2020 mereka menemukan kekerasan pada pekerja seks di 6 provinsi. Hasilnya, terdapat 389 pekerja seks mengalami kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, struktural, hingga kekerasan gender.

Menurut laporan tersebut, kekerasan-kekerasan yang ada di 6 provinsi kebanyakan dilakukan oleh aktor negara, seperti Satpol PP, aparat kepolisian, dan pemerintah setempat. Di luar itu, para pekerja seks mendapatkan kekerasan dari pelanggan, keluarga, dan pasangan.

Keterpaparan para pekerja seks akan HIV dan risiko-risikonya juga mendapat perhatian organisasi yang berdiri sejak Oktober 2009 ini.

Dalam penelitian lain, OPSI juga menyoroti bagaimana latar belakang para pekerja seks, baik perempuan, laki-laki, dan waria. Di Indonesia umumnya dilatari karena kesulitan mereka dalam mengakses lahan pekerjaan yang layak, juga sebagai upaya keluar dari kemiskinan.

Baca juga artikel terkait PEKERJA SEKS KOMERSIAL atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi