Menuju konten utama

Tragedi dan Misteri Jatuhnya Pesawat Mandala Airlines 2005

Mandala Airlines RI-091 jatuh setelah lepas landas di Medan persis 17 tahun lalu. Saat itu beragam spekulasi bermunculan.

Tragedi dan Misteri Jatuhnya Pesawat Mandala Airlines 2005
Header MOZAIK Chris Wibisana. tirto.id/Quita

tirto.id - Dengkul ibu saya terasa longgar ketika menjatuhkan diri di bangku ruang tunggu Bandara Polonia pagi itu. Keringat dingin dan jantung berdebar-debar pun menyertai sepersekian sekon keterkejutan yang ia alami. Ini semua terjadi persis sesudah ia merasa cukup sial karena ketinggalan pesawat dan harus menunggu beberapa jam lagi untuk penerbangan berikutnya ke Jakarta.

Meminum sebotol air mineral di tengah kepanikan yang menjadi-jadi di bandara, ibu saya coba merangkai kejadian demi kejadian yang ia alami pagi itu—suatu momentum koinsiden yang di kemudian hari ia syukuri sebagai suatu mukjizat.

Pukul 08.30 lebih sedikit, ibu saya yang masih di kamar hotel sudah siap berangkat ke bandara. Bagasi sudah diturunkan ke lobi dan kartu kunci kamar telah dikembalikan temannya ke resepsionis. Semua serba tergesa-gesa dan berujung apes.

Saat menutup pintu, rok ibu saya tersangkut dan sobek. Butuh waktu hampir 10 menit untuk menyelesaikan perkara satu ini. Teman sekamar ibu harus kembali mengambil bagasi yang sudah tertata rapi mobil, mengambil kunci yang telah dikembalikan ke resepsionis, kembali ke kamar, lalu ia mengeluarkan rok dan ibu mengganti pakaian.

Satu permasalahan selesai, masalah lain datang. Bandara yang di peta digital tertulis berjarak sekitar 40 menit ditempuh dengan waktu lebih lama. Lampu merah menyala hampir 5 menit, juga kemacetan yang hari itu centang perenang.

Ibu saya gemas sampai menggerutu karena jam tangan yang melingkari pergelangannya jelas menunjukkan keterlambatan di depan mata. Dan benar saja. Setibanya di pintu check-in, garbarata sudah ditarik mundur dan pintu pesawat akan segera ditutup. Tak ada negosiasi untuk enam penumpang terlambat ini.

Penerbangan berikutnya baru tersedia pukul 11.45. Rombongan duduk di ruang tunggu dengan gerutu yang belum selesai.

Tak sampai 10 menit kemudian, suara ledakan memekakkan telinga. “Empat, mungkin lima kali lebih keras dari bom. Hampir budek kami waktu itu,” tukas ibu mengenang.

Bandara Polonia pagi itu senyap beberapa detik lalu diikuti histeria dan kepanikan. Ibu saya berlari ke lapangan parkir bersama ratusan orang yang ingin mengetahui apa yang terjadi.

Mereka melihat asap hitam membumbung. Jilat si jago merah menyala setinggi lantai dua rumah. Mandala Airlines dengan nomor penerbangan RI-091 jatuh hanya beberapa ratus meter dari landasan pacu, tepat di atas permukiman padat penduduk di Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan, Sumatra Utara.

Kembali ke ruang tunggu, seorang anggota rombongan yang semula menggerutu dan menyalahkan insiden rok sobek sebagai sebab keterlambatan seketika sujud syukur dan menjabat tangan ibu saya kuat-kuat. “Kalau enggak ada rok yang sobek tadi... apa jadinya kita...”

Kejadian sontak yang terjadi persis 17 tahun yang lalu, 5 September 2005 ini, ditahbiskan sebagai salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah penerbangan Indonesia.

Tak Kuat Terbang

Peristiwa ini bagaikan saat “pecah telur” bagi penduduk Padang Bulan yang sudah terbiasa dengan deru mesin, getaran dahsyat di kosen jendela, dan bising hampir setiap 5 menit dari arah landasan pacu. Kesaksian warga yang dimuat dalam laporan majalah TEMPO No. 29, Th. XXXIV, 18 September 2005 bertajuk “Terang Bulan di Polonia” menegaskan itu.

“Polusi suara dan gempa mini sudah biasa mereka rasakan karena Padang Bulan berada di ujung landas pacu Bandara Polonia. Bahkan, jika pesawat ukuran besar melintas, alat komunikasi bisa putus hubungan secara mendadak,” tulis TEMPO.

Laporan “Seribu Tanya di Polonia” di edisi yang sama memuat kronologi jatuhnya pesawat berdasarkan keterangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Pukul 09.40, Pilot Askar Timur meminta izin terbang pada ATC Polonia. Beberapa menit kemudian pesawat lepas landas dengan kecepatan minimum terbang, yakni 125 knot.

Nahas pesawat hanya mampu mencapai ketinggian belasan meter. Di 12 meter dari tanah, pesawat menabrak rambu batas landasan pacu. Salah satu pecahannya masuk mesin sebelah kanan, merusak tangki di sayap, dan membocorkan avtur. Asap putih segera keluar.

Pilot berusaha memutar arah pesawat ke kanan atau kembali ke bandara. Namun, karena mesin rusak, pesawat oleng dan jatuh menabrak rumah penduduk. Bagian sayap dan mesin lepas. Beberapa saat kemudian timbul percikan yang memicu ledakan dari tangki bahan bakar. Ledakan ini berkekuatan dahsyat sehingga membuat sayap terlempar ke udara.

Tamatlah riwayat Boeing 737-200 kepunyaan maskapai yang berdiri sejak 1969 itu.

Korban tewas yang berada di dalam pesawat mencapai mencapai 96 (sumber lain menyebut 99)--termasuk Gubernur Sumatra Utara Tengku Rizal Nurdin dan lima awak--serta 44 warga yang ada di Jalan Jamin Ginting. Sebanyak 16 (sumber lain menyebut 18) orang yang duduk di kursi belakang, nomor 20A sampai 20F, selamat setelah berhasil keluar sesaat sebelum pesawat meledak dan terbakar.

Beberapa penduduk bersaksi bagaimana spektakulernya momen jatuhnya pesawat tersebut. Iskandar, seorang supir angkot, berkisah kepada TEMPO bahwa sayap pesawat mendadak menghantam mobil setorannya sampai terguling, diikuti pecahan badan pesawat yang jatuh bak meteor dari langit. Sonarta Tumanggor, pemilik lapo, menyaksikan kedainya jadi abu karena potongan badan pesawat.

Setelah peristiwa ini terjadi perubahan perilaku pada warga yang amat kentara. Mereka ramai-ramai menengadah ke langit sewaktu mesin pesawat menderu, khawatir jika kecelakaan serupa berulang.

Dari Dugaan ke Dugaan

Ketua KNKT saat itu, Setio Raharjo, memberikan keterangan resmi bahwa kecelakaan ini adalah fenomena gagal terbang yang disebabkan beragam faktor, mulai dari kerusakan mesin, kekurangan tekanan oli, hingga masalah pada bahan bakar.

Jika masalah terjadi pada mesin, maka semestinya pilot dapat mengetahuinya dalam kelajuan 0 hingga 125 knot. Ia pun bisa membatalkan penerbangan. Apa yang terjadi tidak demikian. Pilot terus menekan gas dan berusaha masuk fase V2.

Jika memang pilot tidak tahu, maka masalah berarti tak terletak pada mesin, melainkan pada bahan bakar. Hal ini pada akhirnya memicu dugaan bahwa avtur telah dioplos, membuat performa mesin anjlok sehingga pesawat tidak mampu mencapai kecepatan optimal untuk terbang.

Seorang mantan kapten pilot yang menolak menyebutkan nama berkisah pada TEMPO bahwa saat itu harga avtur tengah melonjak naik. Ini menurutnya memang menjadi celah terjadinya kecurangan. Kebenaran atas spekulasi ini semakin besar mengingat dua bulan kemudian empat pegawai Pertamina kedapatan mengoplos avtur saat mengisi bahan bakar untuk pesawat milik Batavia Air di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.

Teka-teki yang tidak kalah memancing tanda tanya adalah perihal manifes pesawat yang diduga dimanipulasi. Catatan resmi menyebut beban pesawat saat itu 51,96 ton--dengan batas maksimum 52 ton. Keberadaan calo kargo membuat angka tersebut disangsikan banyak pihak. Timbangan kargo kerap dikurangi agar uang muatan bisa ditilap para calo.

Dalam pertemuan dengan Hatta Rajasa, Menteri Perhubungan saat itu, sejumlah anggota DPR mempertanyakan keberadaan kargo durian seberat 2 ton di badan pesawat. Desas-desus yang berkembang liar ini dibantah dua kali. Pertama oleh Direktur Mandala Airlines saat itu, Asril H. Tandjung, dan yang kedua oleh penyelidikan KNKT yang diterbitkan pada 2009.

Temuan dalam laporan berbahasa Inggris tersebut menyatakan bahwa pada saat kejadian, mesin pesawat berada dalam keadaan siap dioperasikan. Letak masalah bukan pada mesin atau beban, melainkan pada flap dan slats atau sirip sayap yang tidak menjulur keluar dan mengakibatkan daya angkat berkurang. Hal ini diperparah dengan alarm gagal lepas landas yang tidak berbunyi dan kru pesawat yang tidak sadar akan kerusakan ini.

Laporan setebal 82 halaman itu juga menambahkan dalam bagian “Temuan” bahwa koordinasi antartim penyelamat yang tidak lancar dan prosedur Airport Emergency Plan (AEP) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya juga memperkecil jumlah penumpang selamat.

Infografik MOZAIK Chris Wibisana

Infografik MOZAIK Chris Wibisana. tirto.id/Quita

Pelajaran Pascabencana

Tidak ada episode yang lebih memilukan dalam musibah ini selain identifikasi korban--yang tak hanya terdiri dari para penumpang melainkan juga penduduk Padang Bulan dan pengendara lalu lintas. Sebagian besar jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pirngadi untuk diautopsi dan pemulasaraan.

Kondisi jenazah mengenaskan. “Ada mayat yang diletakkan di meja, ada pula yang diletakkan di lantai. Sebagian besar mayat tampak gosong karena terbakar. Mayat-mayat itu sangat sulit untuk dikenali wajahnya. Bahkan, sebagian mayat tidak utuh anggota badannya,” catat Sumy Hastry Purwanti dalam Dari Bom Bali hingga Tragedi Sukhoi: Keberhasilan DVI Indonesia dalam Mengungkap Berbagai Kasus (2013, hal. 102).

Sebelum itu, evakuasi yang dilakukan oleh masyarakat, PMI, TNI, dan tim medis juga cukup sulit karena hujan turun deras serta api dan asap masih berkobar dari bangkai pesawat. Polisi setempat yang kurang berkontribusi bahkan tidak memasang garis polisi dan mengamankan barang bukti di sekitar TKP juga mempersulit identifikasi.

Karena tenaga autopsi terbatas, ahli-ahli forensik didatangkan dari banyak tempat, mulai dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, hingga Universitas Hasanuddin. Instalasi autopsi yang dilakukan terpusat di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik pun tidak berjalan optimal karena serbuan dari keluarga korban yang ingin cepat-cepat membawa pulang jenazah keluarganya.

Cukup banyak korban yang tidak bisa diidentifikasi memicu perebutan jenazah. Adalah jenazah Nomor 21 yang diperebutkan keluarga besar Sitanggang dan Sitorus. “Keluarga Sitanggang mengklaim jenazah adalah jasad ibunya yang bernama Rohida Lumbanraja, sedangkan keluarga Sitorus mengklaim jenazah itu bernama Lince Sagala,” tulis Suny (2013, hal. 104). Perebutan ini dimenangkan oleh keluarga Sitanggang setelah mereka memperlihatkan cap jari ijazah SMP tahun 1953 milik Rohida yang terbukti cocok dengan sidik jari jenazah.

Meski menyampirkan duka bagi banyak orang, kecelakaan Mandala penerbangan RI-091 menjadi pelajaran berharga bagi otoritas Angkasa Pura. Mereka lekas meninjau kembali kelayakan Bandara Polonia yang saat itu telah dikepung permukiman penduduk.

Rencana lama membangun bandar udara baru, yang terhenti karena krisis moneter 1997, dikeluarkan dari laci dan dibahas kembali. Polonia yang tertatih-tatih menampung arus tiga juta penumpang dinilai harus dipensiunkan karena selain riskan, penduduk setempat juga tidak memperoleh apa-apa selain polusi.

Butuh waktu sembilan tahun hingga bandara baru ini diresmikan pada 27 Maret 2014 sebagai Bandar Udara Internasional Kualanamu.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN PESAWAT atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Rio Apinino