Menuju konten utama

Tradisi Baju Lebaran di Antara Bisnis dan Kerusakan Lingkungan

Tradisi membeli baju lebaran turut menyumbang polusi laut dan pencemaran lingkungan.

Tradisi Baju Lebaran di Antara Bisnis dan Kerusakan Lingkungan
Warga memadati kawasan Jembatan Penyeberangan Multiguna atau Skybridge Tanah Abang di Jakarta, Kamis (29/4/2021). H-13 menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah kawasan tersebut mulai dipadati warga untuk berbelanja berbagai kebutuhan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Tradisi apa yang terus dilakukan untuk menyambut lebaran? Berburu nastar, ketupat, opor ayam, dan tak lupa seremoni belanja busana baru. Bahkan kabar turunnya perekonomian nasional tak membikin Tanah Abang--pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara--sepi pembeli.

Tanah Abang masih seperti hari-hari biasa, berjejal orang-orang dengan bungkusan belanjaan di kedua tangan. Padat tak berjarak. Begitu pun jalur komuter di sana yang sesak seakan para penumpangnya tak tahu tengah ada wabah yang mendunia–yang rentan menular di tempat-tempat umum termasuk pusat perbelanjaan dan transportasi publik (International Journal Infect Dis. 2020).

Dibanding tahun 2019, perbedaannya cuma pada selembar kain yang dipakai menutupi hidung dan mulut. Setidaknya begitulah gambaran mayoritas pusat perbelanjaan di hari-hari penghujung Ramadan, bukan cuma di Tanah Abang. Semua sibuk mempersiapkan ritual menyambut lebaran.

Dari situs Janio, penyedia logistik di 12 wilayah Asia, kita tahu animo “busana lebaran” tak tergerus efek domino pandemi sebagaimana tahun lalu. Catatan pencarian daring terpopuler selama Ramadan menamatkan kenaikan kata kunci jilbab sebanyak 1.562 persen dibandingkan periode pra-Ramadan (23 Maret-22 April 2020).

Sementara kata kunci lain yang identik dengan modest fashion (fesyen sederhana yang menutupi sebagian besar anggota tubuh) seperti gamis meningkat 1.137 persen. Kemudian pencarian terhadap baju koko naik 686 persen, dan kain sarung 739 persen.

Pertumbuhan populasi muslim global menjadi faktor utama bertambahnya ceruk bisnis modest fashion. Dihitung mulai tahun 2014 hingga 2030, populasi kelompok muslim dunia diperkirakan naik dari 1,7 miliar menjadi 2,2 miliar. Meski pandemi Covid-19 sempat membuatnya goyah, beberapa modifikasi bisnis berhasil menyelamatkan sektor industri tersebut.

Beralih ke sektor penjualan daring menjadi pilihan utama para pelaku usaha modest fashion. Ide-ide inovatif digunakan untuk beradaptasi dan bertahan hidup, misalnya dengan melakukan siaran penjualan dan lelang fesyen di Facebook atau Instagram Live. Kemudian, menyediakan layanan penjualan via WhatsApp, serta menggelar virtual fitting sebagai pengganti “kamar pas”.

“Lebih dari 9 dari 10 pembeli Indonesia berbelanja daring melalui smartphone. Di Malaysia jumlahnya hampir 8 dari 10, dan lebih dari 6 dari 10 di Singapura,” tulis situs Janio. Di Asia Tenggara Google dan Temasek mencatat pertumbuhan pengguna baru sebanyak 40 juta (2020).

Selain alih penjualan daring, banyak produsen melakukan reorientasi produksi masker dan Alat Perlindungan Diri (APD) untuk menghasilkan arus kas. Sebut saja desainer modest fashion asal Indonesia Anggiasari Mawardi yang telah meluncurkan platform belanja daringnya sendiri, AnggiaCorp, dan menjual lebih dari 7.000 masker dan APD.

Invasi Raksasa Ritel

Jika menilik data dari State of The Global Islamic Economy Report 2020-2021 rata-rata pertumbuhan pengeluaran kelompok muslim selalu naik setiap tahun. Untuk alokasi belanja busana saja meningkat 2,4 persen per tahun. Apalagi saat Bulan Ramadan, di Asia Tenggara produksi modest fashion (2018) bertumbuh 29 persen dan 36 persen di Timur Tengah dibanding bulan biasa dalam setahun.

“Memang Covid-19 sempat membuat krisis, pengeluaran (total) masyarakat muslim turun 2,9 persen pada tahun 2020 tapi diprediksi pulih di tahun 2021 ini,” demikian tertulis dalam laporan.

Melihat perkembangan model bisnis modest fashion agaknya menjadi sayang jika jenama fesyen global melewatkan kombinasi menguntungkan dari pertumbuhan konsumen daring dan populasi masyarakat muslim. Sebut saja H&M, Walmart, DKNY, Dolce & Gabbana, CH Carolina Herrera, Michael Kors dan Massimo Dutti turut ambil bagian mengeluarkan seri busana muslim Ramadan.

Infografik Slow Fashion vs fast fashion

Infografik Slow Fashion vs fast fashion

H&M malah pernah menggaet Mariah Idriss sebagai model dari seri jilbab pertama mereka, sementara Dolce & Gabbana meluncurkan koleksi abaya dan jilbab. Ketersediaan lebih luas dari modest fashion terlihat dari koleksi hijab jenama arus utama seperti Uniqlo dan Banana Republic.

Sedang majalah fesyen Cosmopolitan memamerkan desain Kisaran Safiyya Abdallah, Dulce. Merek dUCk, produsen hijab asal Malaysia sempat berkolaborasi dengan Disney untuk menghadirkan koleksi Frozen 2, yang terjual habis dalam beberapa jam saja.

Dalam arus bisnis modest fashion, Indonesia masuk lima besar target pasar modest fashion dunia. Urutan pertama adalah negara-negara kawasan UEA seperti Iran dengan total investasi sebanyak USD53 milyar, Turki USD28 milyar, Arab Saudi USD21 milyar, Pakistan USD20 milyar, dan Indonesia USD16 milyar.

Sumbang Sampah Tekstil?

Sebagian orang mungkin menganggap lebaran terasa kurang lengkap tanpa baju baru, sehingga tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang. Tapi nyatanya selain menjadi ladang bisnis modest fashion, tradisi “busana lebaran” usang dan tidak ramah lingkungan, sebab turut menyumbang sampah tekstil.

Dikutip NPR, penulis buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion, Elizabeth Cline, menyatakan bahwa pakaian-pakaian terjangkau seringkali berakhir di tempat sampah. “Tingkat perilaku membuang barang-barang murah tidak seiring dengan ketersediaan tempat pembuangannya,” ungkap Cline.

Pada tahun 2010 dari Badan Perlindungan Lingkungan Amerika melaporkan dari 13,1 juta ton produk tekstil yang dibuang, hanya 15 persen bisa daur ulang. Butuh sekitar 2.700 liter air untuk memproduksi satu kaos katun, bahkan produksi setengah kilogram benang mengonsumsi lebih dari 50 liter air. Industri tekstil pun menjadi satu dari 10 besar industri yang mengonsumsi dan mencemari air dunia.

Lebih dari 20 persen air tanah dan 40 persen air permukaan di Cina terkontaminasi manufaktur tekstil. Setiap tahun diperkirakan 10-15 persen zat warna dilepaskan ke lingkungan. Jumlah tersebut setara dengan 280 ribu ton limbah beracun dan berbahaya.

Pakaian poliester dan akrilik juga menumpahkan ribuan serat plastik setiap kali dicuci. Rata-rata dalam setiap 6 kg beban cucian di Inggris, air cuciannya mengandung 140 ribu serat dari campuran katun poliester, hampir setengah juta serat poliester, dan lebih dari 700 ribu serat dari akrilik. Fragmen dan serat-serat tersebut kemudian mencemari dan merusak rantai makanan ekosistem laut.

Yang lebih memprihatinkan, sebanyak 43 persen kapas untuk tekstil juga berasal dari organisme hasil rekayasa genetika. Untuk tumbuh, mereka membutuhkan bahan kimia lebih banyak dan lebih kuat sehingga makin mengurangi kualitas tanah.

Dengan segala dampak negatif yang mengancam masa depan lingkungan, tradisi mengenakan busana baru saat lebaran perlu kembali dipikirkan. Toh, jika direfleksikan lebih jauh, tidakah kemenangan Idul Fitri berarti kemenangan atas segala nafsu di bulan Ramadan--termasuk impulsif membeli baju lebaran?

Baca juga artikel terkait LEBARAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Bisnis
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf