Menuju konten utama

Toya Maru Karam, Kecelakaan Kapal Terburuk dalam Sejarah Jepang

Gelombang setinggi 6 meter menghantam kapal Tōya Maru, sejumlah kargo berat merusak mesin dan menghancurkan badan kapal hingga tenggelam.

Toya Maru Karam, Kecelakaan Kapal Terburuk dalam Sejarah Jepang
Header Mozaik Toya Maru. tirto.id/Ecun

tirto.id - Honshu adalah pulau terbesar di Jepang yang mencakup wilayah-wilayah seperti Tokyo, Hiroshima, Yokohama, Osaka, dan Kyoto.

Pulau ini terkenal sebagai wilayah pergunungan yang indah dan terdapat berbagai wisata pantai serta taman nasional. Juga kaya akan sisi sejarah kuil dan festival tradisional di Nikko dan Takayama.

Sementara Hokkaido merupakan pulau kedua terbesar di Jepang, letaknya di utara Pulau Honshu. Pulau ini dikenal sebagai salah satu tempat terbaik untuk berkemah dan berolahraga musim dingin, seperti ski dan snowboard di Sapporo.

Keduanya dihubungkan oleh Selat Tsugaru yang merupakan selat transportasi penting, khususnya dalam pengiriman barang dan jasa.

Namun demikian, selat ini juga dianggap sebagai salah satu selat paling berbahaya di dunia karena arus yang kuat dan cuacanya yang buruk sehingga rawan kecelakaan laut.

Kapal feri Tōya Maru tenggelam di selat ini pada tanggal 26 September 1954 dan menelan 1.170 korban jiwa. Kecelakaan ini disebut-sebut sebagai salah satu kecelakaan terbesar kedua di dunia setelah Kapal Titanic tenggelam pada 14 April 1912 di Samudra Atlantik.

Dua Pulau Pembentuk Sejarah dan Budaya Jepang

Sejarah dan budaya di Pulau Honshu dapat dibagi menjadi beberapa periode, yakni periode Jomon, Yayoi, Kofun, dan Heian.

Pada periode Jomon (14.000-300 SM), penduduk asli Jepang telah menetap lama dengan mengembangkan teknologi keramik dan menyukai pola yang menyerupai benang, dikenal sebagai "Jomon" dalam ukiran keramiknya.

Pengaruh budaya China dan Korea terjadi pada periode Yayoi (300 SM-300 M) ketika penduduk Jepang mulai mengembangkan teknologi pertanian dan perdagangan. Mereka juga sudah mengenal teknik dan seni logam.

Beberapa kerajaan muncul pada periode Kofun (300-700 M) yang saling berambisi menguasai wilayah dan pengaruhnya di Jepang. “Kofun” yang berarti makam kuno juga banyak bertebaran di era ini.

Pada akhir periode Kofun, Kerajaan Yamato berhasil menyatukan Jepang dan menjadi kerajaan yang diakui sebagai penguasa Jepang klasik pada abad ke-7.

Ibu kota Jepang dipindahkan ke Kyoto pada periode Heian (794-1185 M) ketika muncul budaya dan seni yang sangat canggih.

Sementara itu, Pulau Hokkaido dikenal sebagai daerah yang jarang dikunjungi dan ditinggali selama berabad-abad. Penduduk asli Jepang yang dikenal sebagai Ainu, memiliki budaya yang berbeda dengan penduduk di Pulau Honshu.

Toya Maru

Kecelakaan Kapal Feri Toya Maru. wikimedia commons/domain publik/Tsuchiyama, Ray, K

Suku Ainu diperkirakan sudah menetap di pulau tersebut sejak akhir abad ke-12 hingga 15. Mereka disebut berasal dari Asia Tengah dan berdiferensiasi dari suku Jepang yang lebih banyak dari Asia Selatan.

Selama berabad-abad, suku Ainu menetap di pulau ini dan mengembangkan budaya serta tradisi yang unik. Mereka sudah mengembangkan musik dan tarian, seperti “Tonkori”--sejenis gitar-- dan “Mukkuri”--sejenis harmonika, yang dikembangkan pada upacara dan ritual.

Suku Ainu juga memiliki kerajinan tangan yang sangat beragam seperti kerajinan kayu, batik, tato, dan lukisan. Seni kerajinan tangan mereka sangat dihormati di Jepang dan diakui sebagai warisan budaya yang berharga.

Pada abad ke-19, Pemerintah Jepang mulai mengambil kebijakan untuk mengolah dan mengkolonisasi Pulau Hokkaido. Mereka mengirimkan penduduk Jepang dari Pulau Honshu untuk menetap di sana.

Semua budaya unik dari kedua pulau tersebut masih terjaga dan diterapkan oleh penduduk asli Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Namun, beberapa di antaranya hampir punah karena perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat.

Meskipun kedua pulau ini memiliki latar kependudukan yang berbeda, keduanya merupakan bagian penting dalam perkembangan sejarah dan budaya Jepang.

Dipisahkan Selat Tsugaru

Selat Tsugaru memisahkan Pulau Honshu dan Pulau Hokkaido. Ia menjadi salah satu jalur lalu lintas utama yang digunakan oleh kapal-kapal laut, termasuk kapal feri dan kapal-kapal pengangkut kereta.

Beberapa kapal feri yang melintas di Selat Tsugaru antara lain: Seikan Maru, kapal feri terpanjang di dunia. Kemudian ada Tōya Maru, Tappi Maru, dan Tsugaru Maru.

Kapal-kapal tersebut digunakan untuk menghubungkan Aomori di Honshu dengan Hakodate di Hokkaido.

Selain itu, ada juga beberapa kapal feri lain yang melintas di Selat Tsugaru, yang digunakan untuk menghubungkan beberapa kota di Pulau Honshu dan Pulau Hokkaido. Namun, karena kondisi cuaca yang buruk, beberapa kapal feri hanya dapat melintas pada musim panas.

Selat Tsugaru menjadi berbahaya karena cuaca buruk seringkali menyebabkan ombak besar dan angin kencang. Ini dapat menyebabkan kapal-kapal yang melintas mengalami kesulitan dan bahkan terbalik atau tenggelam.

Kondisi cuaca yang buruk ini terjadi karena perbedaan tekanan udara antara Laut Jepang dan Samudra Pasifik yang menyebabkan angin kencang dan ombak besar.

Selain itu, Selat Tsugaru juga merupakan salah satu rute kapal yang sangat sibuk di Jepang, sehingga risiko tabrakan antara kapal-kapal yang melintas cukup tinggi.

Toya Maru

Kecelakaan Kapal Feri Toya Maru terbalik. wikimedia commons/domain publik/Japanese book 'The Fifty Years of Postwar Japan' published by Chunichi Shimbun Co., Ltd.

Kecelakaan Tōya Maru

Pada 26 September 1954 di Selat Tsugaru dalam perjalanan ke-82, feri Tōya Maru mengalami kecelakaan yang menewaskan sekitar 1.170 orang dari 1.503 penumpang dan awak kapal.

Tidak ada data pasti rincian jumlah korban sebenarnya karena ada ratusan korban yang dialihkan dari kapal lain akibat gagal berangkat, termasuk calon penumpang yang membatalkan perjalanan.

Namun, seperti dilansir Time, Pemerintah Jepang menyebut angka 1.170 untuk jumlah penumpang dan awak kapal yang tewas.

Kecelakaan ini terjadi setelah kapal menabrak bebatuan dan karang di dekat Pantai Nanae, tak jauh dari kota Hakodate. Kapal kemudian tenggelam setelah melewati beberapa usaha penyelamatan.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Topan Marie memainkan peran dalam kecelakaan ini, menyebabkan kapal kesulitan dalam menjaga keseimbangan yang memengaruhi ketidaksiapan kru kapal saat mengambil keputusan.

Tak lama setelah meninggalkan dermaga, kapal terpaksa membuang jangkar sebagai upaya keluar dari hantaman badai. Usaha tersebut gagal sehingga kapal terombang-ambing di laut.

Gelombang setinggi 6 meter kemudian menghantam kapal menyebabkan gerbong kereta api beserta kargo berat lainnya merusak mesin dan menghancurkan badan kapal, sekaligus membuat panik para penumpang ketika air mulai masuk.

Kapal mulai miring ketika Kapten Tsuguo Harada mengonfirmasi untuk berlabuh di sekitar Pantai Nanae. Namun ia dan krunya kurang sigap dalam memerhatikan cuaca buruk.

Air yang sudah masuk ke dalam kapal membuat situasi semakin tak terkendali. Sekali lagi ia mencoba mengendalikan kapal sembari menghindari bebatuan dan karang berselimut es.

Kapal mulai kehilangan navigasi dan kapten kesulitan berkomunikasi dengan krunya, sebelum akhirnya menabrak kembali karang es yang tiba-tiba muncul akibat pandangan yang mulai kabur.

Usaha terakhir kapten adalah menyelamatkan penumpang dan kru sebelum akhirnya ia sendiri meninggal dalam kecelakaan tersebut. Kapal terbalik jelang tengah malam dan tenggelam setengah jam setelah menabrak karang.

Regu penyelamat dan tim evakuasi tidak cukup waktu untuk menyelamatkan penumpang dan awak kapal. Mereka baru berdatangan keesokan harinya.

Penyebab pasti dari kecelakaan masih diperdebatkan, begitu pula hasil investigasi resmi yang belum dipublikasikan hingga hari ini.

Ini adalah salah satu kecelakaan kapal terburuk sepanjang sejarah Jepang.

Infografik Mozaik Toya Maru

Infografik Mozaik Toya Maru. tirto.id/Ecun

Investigasi dan Langkah-langkah Setelah Kecelakaan

Kapal feri Tōya Maru dibangun pada tahun 1951 oleh perusahaan kapal Jepang, Nippon Kokan K.K, sekarang dikenal sebagai Japan Marine United Corporation. Kapal ini melakukan perjalanan antara Aomori dan Hakodate.

Tōya Maru melakukan perjalanan reguler sebagai pengangkut penumpang dan barang antara dua pelabuhan di Selat Tsugaru. Kapal ini dilengkapi dengan fasilitas yang cukup untuk menampung penumpang dan barang yang akan dikirim, seperti kabin, ruang makan, dan ruang muat barang.

Selain mengangkut penumpang, Tōya Maru umumnya juga digunakan untuk membawa gerbong kereta yang dimiliki oleh perusahaan kereta api Jepang, seperti Japan National Railway (JNR) atau perusahaan kereta api swasta, perusahaan logistik, maupun perusahaan transportasi lainnya.

Pemerintah Jepang melakukan investigasi untuk menentukan penyebab kecelakaan dan mengambil tindakan untuk mencegah kecelakaan serupa di masa depan. Selain itu, mereka juga memberikan bantuan kepada keluarga korban, serta melakukan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan di lokasi kecelakaan.

Tindakan-tindakan lain yang diambil pemerintah saat itu termasuk meningkatkan standar keselamatan kapal, memberlakukan aturan yang lebih ketat untuk operasional kapal, dan melakukan inspeksi rutin pada kapal-kapal yang beroperasi di wilayah tersebut.

Setelah peristiwa maut ini, Pemerintah Jepang juga mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keselamatan transportasi di Selat Tsugaru. Salah satunya dengan membuat rencana pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Pulau Honshu dan Hokkaido.

Rencana tersebut menjadi dasar pembangunan Terowongan Seikan yang dibangun untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi transportasi antara Pulau Honshu dan Hokkaido. Ia selesai dibangun pada tahun 1988.

Baca juga artikel terkait PERISTIWA KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi