Menuju konten utama

Tokoh Papua Desak Presiden Terpilih Selesaikan Kasus HAM di Nduga

Amnesty mengatakan, aparat harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena, Paniai dan tempat lain di Papua.

Tokoh Papua Desak Presiden Terpilih Selesaikan Kasus HAM di Nduga
Puluhan massa dari #SaveNduga menggelar aksi lilin "Biarkan Dorang Natal dengan Damai" di Taman Aspirasi, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/18). tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Tim Investigasi Kasus Nduga sekaligus tokoh Papua, Theo Hasegem meminta calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto bisa menghentikan konflik di Papua melalui pendekatan dialog, apabila terpilih di Pilpres 2019.

"Kami sangat mengharapkan Bapak Presiden Jokowl Widodo atau presiden yang nanti akan terpilih dapat dilakukan pendekatan melalui dialog," kata Theo Hasegem di kantor Amnesty Internasional, Jakarta, Jumat (29/3/2019).

Saat ini pemerintah sedang menjalankan operasi militer usai insiden penembakan terhadap pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018. Hingga saat ini, pemerintah mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang dianggap sebagai pelaku penyerangan.

Theo mengatakan, masyarakat Papua paling dikorbankan akibat operasi militer itu. Selain kehilangan tempat tinggal karena rumah-rumah yang porak poranda, warga Papua juga terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka karena khawatir akan menjadi korban dari operasi tersebut.

Berdasarkan catatan tim investigasi, puluhan ribu masyarakat setempat terpaksa mengungsi. Dengan rincian, 4.276 jiwa mengungsi di Distrik Mapenduma, Distrik Mugi 4. 369 Jiwa, Distrik Jigi 5.056 Jiwa, Distrik Yal 5.021 Jiwa, Distrik Mbu|mu Yalma 3.775 jiwa, Distrik Kagayem 4.238 Jiwa, Distrik Nirkuri 2.982 Jiwa, Distrik Inikgal 4.001 jiwa, Distrik Mbua 2.021 Jiwa dan Distrik Dal 1.704 Jiwa.

Selain itu, beberapa warga di Distrik Mepworok, Distrik Mbua Distrik Dal, Distrik Mbulmu Yalama, dan Distrik Dal juga telah mengungsi ke hutan dan bersembunyi di gua-gua mengunakan tenda. Di sisi lain, ada juga yang mengungsi di beberapa Kabupaten, seperti Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Timika, Kabupaten Lani Jaya, Kabupaten Kenyam, dan Kabupaten Asmat.

Sekolah Darurat untuk Anak-anak

Theo mengatakan, ada banyak anak-anak yang mengungsi ke Wamena kini membuka sekoIah darurat dengan mengunakan tenda di halaman Gereja Kingmi Weneroma. Sekolah darurat itu berjumlah 13 kelas.

Proses belajar mengajar juga sudah berlangsung selama 3 sampai 4 bulan sejak Januari 2019. Anak-anak yang bersekolah berjumlah 697 siswa dari SD, SMP dan SMA. Namun jumlah tersebut masih terus bertambah. Menurut Theo, hal ini mengancam masa depan ribuan anak-anak di Nduga.

Theo mengatakan, permasalahan Nduga bisa diselesaikan dengan pendekatan non-militer. Sebab, kata dia, operasi militer justru akan berdampak lebih luas dan akan menimbulkan korban lebih banyak lagi.

Di sisi lain, pendekatan militer justru akan membuat negara melanggar HAM. Oleh karena itu, Theo berharap presiden terpilih bersedia melakukan pendekatan HAM Dibandingkan pendekatan operasi militer.

"Kami juga sangat mengharapkan kedua pasangan calon presiden Republik Indonesia yang akan dipilih menjadi Presiden untuk berkomitmen memastikan pendekatan kemanan yang berbasih HAM di Papua, bukan operasi militer yang mengedepankan kekerasan bersenjata," Kata Theo.

Senada dengan Theo, Amnesty Internasional juga mendesak Jokowi dan Prabowo bisa menyelesaikan konflik di Papua, bila terpilih di Pilpres 2019 nanti. Selain itu, Amnesty juga meminta presiden terpilih menggunakan pendekatan HAM untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Di dalam agenda yang kami sampaikan secara tertulis, ini adalah agenda untuk kedua kandidat presiden maupun wakil presiden tentang bagaimana agar ke depan pendekatan keamanan itu diubah dengan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Direktur Amnesty Usman Hamid di kantor Amnesty Internasional, Jakarta.

Kasus Pembunuhan Sejak 2010

Dalam dokumen tersebut, Amnesty menyebutkan setidaknya ada 69 kasus pembunuhan tidak sah yang dilakukan aparat sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 dengan jumlah korban sebanyak 95 orang. Sekitar 85 korban di antaranya adalah warga asli Papua.

Selain itu, Amnesty juga menduga aparat tidak independen dalam menangani kasus pelanggaran ini, termasuk pelanggaran pidana. Berdasarkan laporan, kata Usman, pada tahun 2015, sekitar 264 aktivis ditangkap polisi. Jumlah tersebut meningkat di tahun 2018. Kepolisian menangkap 537 warga Papua dalam aksi 1 Desember 2018.

Amnesty mengatakan, pemerintah perlu mengambil langkah-Iangkah untuk memastikan bahwa personel polisi dan militer yang telibat dalam pelanggaran HAM di Papua bertanggung jawab atas perbuatannya.

Menurut Amnesty, aparat harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena, Paniai dan tempat lain di Papua. Usman mengatakan, orang-orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat harus dituntut hingga ke pengadilan. Selain itu, para korban dan keluarga korban juga harus mendapatkan reparasi.

Usman mengatakan, kasus pelanggaran HAM di Papua ini harus ditangani melalui internasional, khususnya Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum dan Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.

Kemudian, mereka mendorong agar pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Papua dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001 beroperasi sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional.

Terakhir, mereka berharap pemimpin terpilih memperbolehkan organisasi-organisasi HAM dan jurnalis untuk mengakses provinsi Papua dan Papua Barat.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM PAPUA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto