Menuju konten utama

TNI Terlibat Penanggulangan Terorisme Dinilai Seperti Orde Baru

Perpres tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dinilai akan membawa kembali seperti di masa kegelapan seperti di zaman Orde Baru.

TNI Terlibat Penanggulangan Terorisme Dinilai Seperti Orde Baru
Pasukan TNI-AL meneriakan yel-yel saat melepas pasukan di Dermaga Ujung Koarmada II Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/7/2019). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/hp.

tirto.id - Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak rencana Presiden Joko Widodo yang akan mengeluarkan Perpres tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Berdasarkan draf beleid tersebut, banyak kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme yang melampaui kewenangan TNI yang diatur dalam UU TNI. Karenanya, ini dikhawatirkan akan membawa kembali tren tentara pada orde baru.

"Perpres ini akan membawa kembali seperti di masa kegelapan seperti di zaman Orde Baru. Orang bisa ditangkap oleh TNI, orang bisa dituduh [oleh TNI] dan lain sebagainya," kata Komisioner Komnas HAM Chairul Anam di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (8/8/2019).

Di dalam draf Perpres disebutkan lingkup tugas TNI dalam pemberantasan terorisme terdiri atas tiga aspek, antara lain penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Dalam aspek penangkalan, kewenangan TNI meliputi pemberdayaan masyarakat, kontra narasi dan kontra propaganda, intelejen, dan deradikalisasi.

Menurut Anam, kewenangan di bidang penangkalan itu saja telah melampaui kewenangan dan tugas pokok TNI secara umum. Hal itu juga dikhawatirkan berbenturan dengan instansi lain seperti BNPT dan kementerian terkait.

Lewat Perpres tersebut juga TNI akan memiliki kewenangan penindakan terorisme. Artinya, TNI bisa bergerak melawan aksi teror jika aksi tersebut menyasar presiden/wakil presiden beserta keluarga, tamu negara, WNI dan perwakilan RI di luar negeri; kantor perwakilan negara sahabat atau organisasi internasional; kapal dan pesawat di luar wilayah Indonesia; kapal dan pesawat asing yang ada di Indonesia;

Selain itu TNI juga bisa bergerak ketika teror terjadi di kawasan zona ekonomi eksklusif; atau membahayakan ideologi negara, kedaulatan dan keutuhan wilayah serta keselamatan segenap bangsa.

Terhadap poin terakhir, Komnas mengkhawatirkan hal itu bisa dimaknai secara karet ke depannya.

Selain itu penindakan ini dilaksanakan dengan strategi, taktik, dan teknik militer sesuai doktrin TNI. Hal ini dinilai berpotensi menjadi pelanggaran hak asasi manusia.

"Karena militer dalam doktrinnya adalah alat perang untuk menghancurkan musuh, bukan penindakan dan dilanjutkan pada proses hukum di pengadilan," kata Anam.

Terakhir, TNI juga akan diberi kewenangan untuk melakukan pemulihan terhadap korban dan sarana atau prasarana yang terdampak aksi teror. Dalam hal ini TNI bekerja sama dengan kementerian atau instansi terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan penanggulangan teror.

"Seharusnya kewenangan tersebut adalah menjadi ranah BNPT, kecuali permintaan bantuan semata-mata dalam aspek teknis bukan substansi strategis," ujar Anam.

Atas hal itu, Anam meminta Presiden Joko Widodo membatalkan rencana penandatanganan Perpres tersebut. Menurutnya, TNI tidak boleh dilibatkan melampaui kewenangannya sebagai alat pertahanan negara. Hal itu untuk menjaga demokrasi dan profesionalitas TNI itu sendiri.

Untuk itu Komnas HAM akan mengirim surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo.

"[Kalau Perpres tetap ditandatangani] Jangan salahkan kalau presiden dianggap tidak demokratis. Jauh dari gagasan membangun TNI yang profesional, Presiden yang jauh pada gagasan negara yang tunduk pada hukum," ujar Anam.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Irwan Syambudi