Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Tjokroaminoto di antara Makkah & Kairo: Berebut Klaim Khalifah Baru

Perubahan politik yang terjadi di Timur Tengah setelah PD I membuat kaum Muslim Hindia Belanda berbenah. Tjokroaminoto adalah sosok sentralnya.

Tjokroaminoto di antara Makkah & Kairo: Berebut Klaim Khalifah Baru
H.O.S. Tjokroaminoto. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sebuah kapal Rondo meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada hari kedua bulan Maret 1926. Kapal itu mengangkut dua sosok paling tenar di kalangan orang pergerakan nasional dan dunia Islam Hindia Belanda kala itu: pemimpin Sarekat Islam (SI) Oemar Said Tjokroaminoto dan pemimpin Muhammadiyah Surabaya Mas Mansur.

Menggunakan kapal uap itu, keduanya berencana pergi ke Jeddah. Dari Jeddah, mereka menuju Makkah, memenuhi undangan Raja Ibnu Saud. Aqib Suminto menuliskan dalam Politik Islam Hindia Belanda (1985) bahwa setelah menaklukkan Makkah pada 1924, Ibnu Saud berambisi menjadi khalifah Islam.

"Untuk menunjang ini dia mengundang umat Islam untuk menghadiri kongres khalifah tersebut," sebut Suminto dalam catatan kakinya, mengutip A History Modern Indonesia (1981) yang disusun M.C. Ricklefs.

Perjalanan dua begawan dunia Islam Hindia Belanda tersebut ke Makkah bukan awal, melainkan titik klimaks perdebatan soal kekhalifahan dalam Islam di Hindia Belanda.

Bahasan ini mulanya muncul dalam rapat-rapat organisasi Islam di Hindia Belanda ketika sistem kekhalifahan Turki Ottoman runtuh. Ada konsep khalifah baru yang digagas pemuka agama Islam di Hindia Belanda. Tetapi, akibat bahasan ini pula, gesekan antar faksi dalam umat Islam di Hindia Belanda meruncing.

Ataturk Sang "Pembaharu Khalifah"

Majelis Agung Nasional atau Grand National Assembly (GNA) Turki menghapus kekuasaan Sultan Turki yang kala itu dijabat Mehmed VI Wahiduddin pada 1 November 1922. Penggantinya, Abdul Majid II, tak lagi punya kuasa "duniawi" mengatur pemerintahan. Jabatannya sebatas khalifah, mengurus masalah "rohani" Islam. Ini terjadi menyusul kekalahan Turki Ottoman di Perang Dunia I dan keberhasilan kelompok nasionalis Turki pimpinan Mustafa Kemal Ataturk memerdekakan Turki dari kuasa Sekutu.

Perubahan di Turki pun tidak berhenti di situ. Pada 1923 Turki resmi menjadi Republik. Sedangkan jabatan khalifah dihapus pada Maret 1924.

Sebagaimana disebut Islamic Nationhood and Colonial Indonesia (2003) yang disusun M.F. Laffan, perubahan tersebut disambut gembira oleh organisasi dan pers Islam di Hindia Belanda. Tanggapan ini menunjukkan Muslim di Hindia Belanda memandang dirinya bagian dari Dunia Islam yang lebih luas. Nyatanya, sebagian besar dunia Islam saat itu di bawah cengkeraman kolonialisme Eropa.

Kongres Al-Islam pertama yang digagas Sarekat Islam dan dihadiri pelbagai organisasi—seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan perwakilan ulama tradisionalis, misalnya Kiai Wahab Hasbullah (Surabaya) dan Kiai Asnawi (Kudus)—sepakat mengirim ucapan selamat kepada Ataturk melalui telegram. Kongres ini dihelat di Cirebon pada 31 Oktober hingga 2 November 1922.

Doenia Islam edisi 12 Januari 1923 menyebut Ataturk sebagai "juara Islam". Sedangkan Bintang Islam edisi 10 April 1923 menyatakannya sebagai sayf al-islam wa mujaddid al-khilafa alias pedang Islam dan pembaharu khalifah.

Meski demikian, menurut Suminto, dunia Islam begitu terkejut begitu kabar khalifah di Turki dihapus sampai kepada mereka.

"Penghapusan khalifah di Turki ini betapapun sangat mengejutkan dunia Islam karena selama ini "Istambul merupakan lambang kekuatan politik bagi dunia Timur", Timbullah aneka pendapat pro kontra, karena al-Quran tidak memberikan garis yang tegas dalam masalah Khilafah ini," sebut Suminto (hlm. 83).

Makkah dan Kairo Berebut Sisa Kuasa Istanbul

Dari Turki, bandul penguasaan dunia Islam bergerak di antara Kairo dan Makkah. Pada tahun yang sama ketika khalifah dihapus, Syarif Husein sang Amir Makkah menyatakan diri sebagai khalifah yang baru dan membentuk Dewan Khalifah. Dewan itu berisi 34 anggota dari berbagai bangsa. Dua di antaranya disebut dari Jawa. Sedangkan pada pertengahan 1924 organisasi dan tokoh keturunan Arab di Batavia dan Surabaya menerima undangan Kongres Khalifah dari Kairo. Mereka mendorong Tjokroaminoto untuk mengirim delegasi Muslim Hindia Belanda ke sana.

Guna membahas perlu atau tidak mengirim delegasi ke Kongres Khalifah Kairo dan apa yang akan mereka sampaikan di sana, pimpinan SI, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad mengadakan rapat khusus di Surabaya pada 4-5 Oktober 1924.

Dalam rapat tersebut terdapat silang pendapat mengenai khalifah antara Tjokroaminoto dan pimpinan Muhammadiyah Fakhruddin.

Sebagaimana dicatat Hasnul Arifin Melayu dalam "Islam as an Ideology: The Political Thought of Tjokroaminoto" (2002), Tjokroaminoto mendukung kehadiran khalifah di Turki. Dia mengatakan orang Islam butuh seorang khalifah sebagai pemimpin spiritual seluruh Muslim. Menurutnya, bagi Muslim Hindia Belanda yang hidup di bawah pemerintahan bangsa lain, khalifah hanya relevan untuk urusan keagamaan, bukan politik. Tjokroaminoto juga tidak ingin menghakimi sekularisasi ala Ataturk.

Sedangkan Fakhruddin mengatakan kekhalifahan sebaiknya dipusatkan di Makkah saja. Dia mengusulkan agar dibentuk Komite Khalifah sebelum mengirim delegasi ke Kairo.

Pada akhir Desember 1924 Kongres Al-Islam Hindia ketiga digelar di Surabaya. Martin van Bruinessen mencatat dalam "Muslims of the Dutch Indies and the Caliphate Question" (1995) bahwa kongres ini dihadiri 600 orang. Sebagian besar dari Jawa. Tetapi ada pula perwakilan dari daerah Kalimantan tenggara dan luar Jawa lain.

Kongres sepakat mengirim tiga delegasi ke Kairo: Fakhruddin (Muhammadiyah), Soerjopranoto (SI), dan Wahab Hasbullah (perwakilan tradisionalis). Yang bakal disampaikan tiga delegasi itu di Kairo juga sudah disepakati. Muslim di Hindia Belanda menginginkan khalifah yang modern, representatif, dan dipilih.

Bruneissen menyampaikan setidaknya konsep kekhalifahan yang diajukan Kongres Al-Islam ketiga mengandung enam unsur: (1) Harus ada Dewan Khalifah yang dipimpin seorang presiden yang disebut khalifah; (2) Anggota Dewan itu terdiri atas perwakilan Muslim dari semua negara untuk masa jabatan yang ditetapkan Dewan; (3) Belum diputuskan Dewan berwenang atas urusuan duniawai dan spiritual atau spiritual saja; (4) Presiden Dewan Khalifah dipilih anggota Dewan; (5) Dewan Khalifah harus didirikan di tanah Muslim yang merdeka, misalnya Makkah; (6) Pendanaan Dewan Khalifah ditanggung bersama semua Muslim, dibagi ke berbagai negara sesuai kapasitas masing-masing.

"Belum direkam apa yang menginspirasi konsep dewan khalifah: apakah itu Umul Qura yang digagas Kawakibi, yang telah dibaca beberapa orang Indonesia ketika ia diterbitkan secara berkala di Al-Manar? Apakah itu Dewan Khalifah ala Syarif Husein dengan beberapa modifikasi yang demokratis? Apakah ada kontak yang lebih intensif dengan gerakan khalifah India-Inggris daripada yang ada di dokumen?" ujar Bruinessen (hlm. 11).

Kelahiran Nahdlatul Ulama

Sayangnya, Kongres Khalifah di Kairo tidak jadi diselenggarakan pada 1925. Di sisi lain, pada awal 1925, Raja Ibnu Saud yang berhasil melibas kekuasaan Syarif Husein atas Hijaz dan mengadakan pembaruan berasas Wahabi pada 1924 justru mengundang Muslim Hindia Belanda untuk hadir di Kongres Dunia Islam di Makkah. Perihal undangan Ibnu Saud tersebut dibahas dalam Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta pada Agustus 1925.

Dalam kongres tersebut, Wahab Hasbullah mengusulkan agar Muslim Hindia Belanda mengirim delegasi ke kongres Makkah setelah dari Kairo, meminta Ibnu Saud menjamin kebebasan cara beribadah bagi semua umat Islam di Mekkah. Catat Bruinessen, usulan ini kurang dipedulikan kelompok lain.

Walhasil, Wahab mengorganisasi kiai-kiai tradisionalis yang seirama dengan usulannya dalam wadah Komite Hijaz. Pada Januari 1926 mereka pun mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

NU tidak hadir dalam Kongres Al-Islam kelima di Bandung pada Februari 1926. Dalam catatan kakinya, Bruneissen menuliskan Wahab, yang juga wakil ketua Komite Khalifah, sebetulnya ingin mendatangi Kongres tersebut, tetapi dicegah karena ayahnya sakit parah.

Kongres inilah yang menyetujui Tjokroaminoto dan Mas Mansur—tanpa perwakilan kelompok tradisionalis—pergi memenuhi undangan, baik dari Kairo maupun Makkah. Namun delegasi ini pergi ke Makkah saja setelah Tjokroaminoto menyebut ada desas-desus soal intrik untuk memilih Raja Fuad sebagai khalifah di di Kongres Kairo. Konsep khalifah yang dihasilkan Kongres Al-Islam ketiga tidak diusulkan untuk disampaikan di Makkah.

Infografil Al Ilmu Dilema Tjokro

Infografil Al Ilmu Dilema Tjokro. tirto.id/Fuad

Setelah Makkah, Lalu Pecah

Rondo yang mengangkut Tjokroaminoto dan Mas Mansur tidak langsung ke Jeddah. Ia mampir dulu di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Kehadiran Tjokroaminoto dan Mas Mansur di kota itu menarik perhatian pemuka agama Islam dan pegawai kolonial. R.A Kern dan sejumlah pegawai Kantoor voor Inlandsche zaken (Kantor urusan Pribumi) pun secara khusus menemui mereka.

"Adviseur voor Inlandsche zaken ini menyarankan agar mereka tidak ragu-ragu meminta bantuan Konsul Belanda di Jeddah, kalau perlu," sebut Suminto (hal. 88).

Sesampainya di Jeddah, keduanya menyambangi Konsulat Belanda. Di sana, mereka bertemu Van der Plas.

Tjokroaminoto dan Mas Mansur disebut tidak mampu berbuat banyak di Kongres Khalifah Makkah. Pandangan ini termaktub dalam memoar Syekh Muhammad Ahmad Zawahiri, ketua delegasi Mesir dalam Kongres.

"Mereka orang yang lemah dalam segala hal. Mereka seperti orang yang menggenggam, tenggelam, ingin menemukan sesuatu untuk mendukung mereka, dan tidak bisa menggerakkan tangan maupun lidah. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun, dan menghindari komitmen apa pun," ungkap Zawahiri sebagaimana dicatat Martin Kramer dalam Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses (1986).

Suminto juga mencatat beberapa tokoh Muhammadiyah yang pada tahun itu pergi haji, seperti Sujak, sempat menyaksikan pelbagai kekurangan Tjokroaminoto dalam Kongres tersebut. Meski demikian, berita ini dianggap SI sebagai fitnah (hlm. 89).

Kongres Al-Islam keenam yang digelar di Surabaya pada September 1926 menjadi wahana Tjokroaminoto dan Mas Mansur melaporkan kegiatannya selama di Kongres Khalifah Makkah. Kongres juga menyetujui Kongres al-Islam bersalin menjadi Muktamar Alam Islami Hindia Syarqiyah (MAIHS).

Tapi Kongres Khalifah Makkah sendiri tidak jelas juntrungannya. Kongres kedua dihelat pada 1927 dan berujung kegagalan. Pada 1926 pula Kairo berhasil menyelenggarakan Kongres Khalifah yang menyerukan: hampir mustahil menegakkan khilafah kembali, sebaiknya melepaskan gagasan ini.

Pada tahun-tahun berikutnya, bahasan khilafah dimonopoli SI dan tidak begitu diminati dunia Islam Hindia Belanda lagi.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan