Menuju konten utama

Titik Nadir Industri Keramik

Indonesia tercatat sebagai negara enam besar produsen keramik dunia. Industri ini bahkan selama 30 tahun terakhir menjadi salah satu unggulan dalam negeri. Pundi-pundi uang yang dihasilkan industri ini mencapai puncaknya pada 2014 hingga Rp36 triliun. Namun, periode 2015-2016 penjualan industri keramik ini anjlok. Akankah industri keramik terancam?

Titik Nadir Industri Keramik
Pengunjung mengamati produk dalam Pameran Keramika 2015 di Jakarta. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Saat seminar nasional keramik XIV di Bandung, pada Mei 2015 lalu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Haris Munandar menyatakan, selama 30 tahun terakhir industri keramik nasional menjadi salah satu industri unggulan dalam negeri. Ia melihat prospek industri ini memiliki peluang cukup besar untuk jangka waktu yang cukup panjang.

Pernyataan Haris Munandar tahun silam itu bukan isapan jempol semata, melainkan berdasarkan data Kementerian Perindustrian dan perkembangan industri keramik di tanah air. Belum lagi peringkat Indonesia dalam produksi keramik masuk dalam posisi antara 5 dan 6 besar dunia, serta pertumbuhan pasar dalam negeri yang terus meningkat, terutama untuk jenis tile (ubin) seiring dengan geliat bisnis properti.

Pada tahun 2014 misalnya, industri keramik Indonesia memiliki kapasitas 1,8 juta meter persegi (m2) per hari dan produksi 1,6 juta m2 per hari. Hasil produksi 87 persen diserap pasar lokal dan 13 persen di ekspor, di mana nilai penjualan industri keramik pada tahun 2014 lalu mencapai Rp36 triliun.

Merujuk pada data Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), pendapatan industri sektor ini menunjukkan angka fluktuatif. Misalnya, pada tahun 2010, pendapatan dari industri keramik Indonesia mencapai Rp17 triliun, naik sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya tercatat Rp13 triliun. Angka pendapatan Rp17 triliun ini tidak berubah pada tahun berikutnya.

Periode 2012-2014 merupakan puncak tertinggi pencapaian pendapatan industri keramik. Hal ini tercermin dalam data ASAKI, di mana pendapatan pada tahun 2012 naik 41 persen, yaitu Rp24 triliun, dari sebelumnya hanya Rp17 triliun saja. Kemudian pada tahun 2013 naik 25 persen menjadi Rp30 triliun, sedangkan pada 2014 hanya naik 20 persen, yaitu mencapai Rp36 triliun.

Namun, pada 2015 pendapatan industri keramik justru turun menjadi Rp25 triliun atau minus 30 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produsen industri keramik harus menelan pil pahit salah satunya disebabkan dampak depresiasi rupiah yang mendongkrak biaya produksi sebesar 20 persen karena mayoritas bahan baku masih dibeli dengan dolar Amerika Serikat.

Seperti dikutip laman Kementerian Perindustrian, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Elisa Sinaga mengatakan, 60 persen bahan baku, dan gas industri keramik dibeli menggunakan dolar sehingga dengan pelemahan rupiah pengeluaran perusahaan akan lebih besar dalam biaya produksinya.

Padahal, hasil produksi industri keramik terserap 87 persen untuk kebutuhan domestik atau sebesar 435 juta meter persegi pada tahun 2014. Artinya, cuan yang diperoleh industri bermata uang rupiah, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menipis.

Meskipun pada 2015 produsen industri keramik harus menelan pil pahit, tetapi industri keramik Indonesia masih sanggup memproduksi 550 juta meter persegi. Lalu, bagaimana dengan industri keramik di tahun 2016 ini?

Masa Depan Industri Keramik

Laman indonesia-investments.com mencatat, pada kuartal I – 2016, industri keramik Indonesia masih belum menunjukkan perbaikan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan properti yang lesu serta harga gas yang tak kunjung diturunkan pemerintah.

Sebagai informasi, produsen keramik Indonesia masih harus membayar harga gas rata-rata 9,1 dolar Amerika per MMBTu (Million Metric British Thermal unit) untuk proses produksi keramik, jauh lebih tinggi dari produsen Singapura yang hanya perlu mengeluarkan biaya 3 dolar Amerika per MMBTu, produsen Thailand hanya perlu mengeluarkan 3 dolar Amerika per MMBTu, sedangkan produsen India cukup membayar 5 dolar Amerika per MMBTu. Biaya produksi keramik yang lebih tinggi ini membuat produk keramik buatan Indonesia kurang kompetitif.

Meskipun pada kuartal pertama 2016 tidak menunjukkan perbaikan, produsen keramik yang tergabung dalam ASAKI tetap optimistis dan tidak tinggal diam. Salah satunya adalah lewat gelaran Keramika 2016 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada 17-20 Maret lalu. Pada acara ini berbagai produk baru ditawarkan pada konsumen sebagai upaya meningkatkan geliat industri keramik di tanah air.

“Penting untuk menunjukkan bahwa industri keramik nasional masih hidup di tengah situasi ekonomi makro yang lemah dan terus menunjukkan inovasi melalui rilis produk baru,” kata Elisa Sinaga seperti dikutip indonesia-investments.com.

Pada gelaran tersebut, sebanyak lima puluh peserta dan lebih dari 30.000 pengunjung hadir di Keramika 2016. Salah satu produsen keramik yang hadir pada acara tersebut antara lain: Arwana, INDOGRESS, KIA, Milan, Roma, Platinum, Mulia dan TOTO.

Lalu, apakah promosi melalui Keramika 2016 dapat membuat bisnis industri keramik kembali menggeliat?

Tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, upaya tersebut tetap akan memberikan efek positif seiring dengan dukungan pemerintah, terutama dalam kebijakan harga gas yang dinilai tidak menguntungkan bagi produsen industri keramik ini.

Harapan tersebut wajar mengingat salah satu kendala terbesar terhambatnya pertumbuhan industri keramik dalam dua tahun terakhir adalah harga gas dan tarif listrik yang tidak kompetitif. Padahal, menurut Elisa Sinaga, penggunaan gas dan listrik itu menelan 35 persen ongkos produksi industri keramik.

Karena itu, ASAKI berharap pemerintah segera merealisasikan deregulasi kebijakan dalam Paket Ekonomi III yang dirilis pada 7 Oktober 2015 lalu. Sebagaimana diketahui, Paket Kebijakan Ekonomi III ini meliputi penurunan harga BBM, listrik dan gas; perluasan penerima KUR; dan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.

Misalnya, harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk, yakni sebesar 7 dolar Amerika per MMBTu. Sedangkan harga gas untuk industri lainnya, seperti petrokimia, keramik akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing. Namun, pada kenyataannya, harga gas untuk industri keramik masih dipatok rata-rata 9,1 dolar Amerika per MMBTu.

Industri Keramik Terancam?

Melihat fakta demikian, maka masa depan industri keramik Indonesia cukup riskan, ditambah lagi saat ini geliat bisnis properti yang masih lesu. Hal ini membuat ASAKI memutuskan untuk memangkas pemanfaatan kapasitas produksi terpasang (utilisasi) sebesar 30-50 persen, seiring dengan anjloknya penjualan dan tingginya stok barang jadi di gudang.

Saat ini, beberapa perusahaan keramik juga memangkas harga jual hingga 20 persen untuk memompa penjualan sekaligus menguras stok. Ketua ASAKI, Elisa Sinaga mengatakan, penjualan industri keramik anjlok hingga 40 persen pada kuartal III-2016. Padahal, pebisnis keramik sebelumnya berharap penjualan bangkit pada kuartal III ini, seiring dengan pemulihan perekonomian nasional.

Menurut catatan ASAKI, penjualan industri keramik nasional sudah turun 30 persen pada tahun 2015. Namun, tidak menunjukkan perbaikan pada tahun ini, padahal ASAKI menarget penjualan keramik pada tahun 2016 sebesar 400 juta meter persegi. Artinya, jika kondisi tetap stagnan, maka industri keramik Indonesia diperkirakan hanya dapat menjual keramik sekitar 350 juta meter persegi. Angka ini tentu masih jauh di bawah total kapasitas produksi terpasang sebanyak 550 juta meter persegi per tahun.

Karena itu, ASAKI masih menunggu pemerintah agar menepati janjinya untuk menurunkan harga gas, di mana hal ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap biaya produksi perusahaan keramik. Kalaupun rendahnya harga gas dapat mendorong meningkatnya penjualan, namun setidaknya niat baik pemerintah tersebut dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), mengingat industri keramik ini termasuk industri padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja secara keseluruhan kurang lebih 100.000 tenaga kerja.

Jika pemerintah tidak segera menurunkan harga gas ini, ASAKI khawatir akan mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi di industri keramik di Indonesia mengingat lesunya penjualan industri keramik yang mengakibatkan perusahaan kolaps.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI KERAMIK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti