Menuju konten utama

Titik Kritis dari Kisruh KTP Elektronik untuk Warga Negara Asing

e-KTP untuk WNA memang sudah diamanatkan oleh undang-undang, tapi bukan berarti keberadaannya tak bisa dipertanyakan.

Titik Kritis dari Kisruh KTP Elektronik untuk Warga Negara Asing
Avatar Andi Azhar

tirto.id - Satu bulan terakhir ini, Indonesia digegerkan temuan Warga Negara Asing (WNA) di Cianjur dan beberapa daerah lain yang kedapatan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik seperti dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI). Bentuk dan warnanya sama, hanya keterangan kewarganegaraannya saja yang berbeda.

Pemerintah sudah mengklarifikasi bahwa pemberian E-KTP kepada WNA ini sudah sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada. Dalam UU Administrasi Kependudukan yang berlaku saat ini, memang ada klausul bahwa WNA dimungkinkan memiliki E-KTP sebagai bagian dari usaha membuat single identity dalam basis data kependudukan di Indonesia.

Penjelasan yang dibuat oleh pemerintah ini menjadi paradoks dengan temuan yang terjadi di lapangan. Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang saat dicek dalam daftar pemilih tetap, ternyata masuk sebagai pemilih untuk Pemilu 2019, meski namanya lain. Menurut penelusuran DetikX, kejadian itu terjadi karena salah input NIK saat e-KTP dibuat.

Pemerintah memang sudah memutuskan pembuatan KTP buat WNA dilakukan setelah pemilu. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa KTP untuk WNA adalah hal yang krusial untuk dibicarakan.

E-KTP Vs. KITAS & KITAP

WNA tidak dilarang memiliki E-KTP, justru mereka diharuskan. Aturan ini diatur dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Dalam aturan tersebut, dijelaskan WNA yang telah memiliki izin tinggal tetap (ITAP) dan berusia di atas 17 tahun wajib memiliki e-KTP.

Mereka dicatat sebagai penduduk Indonesia, tetapi tidak mendapat status sebagai warga negara Indonesia (WNI) sehingga hak-hak seperti hak pilih di Pemilu 2019 tidak serta-merta mereka dapatkan. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian), ITAP adalah jenis izin tinggal untuk WNA yang berlaku selama 5 tahun dan dapat terus diperpanjang. Izin itu diurus WNA di kantor Imigrasi setempat.

Untuk mendapat ITAP, WNA yang berstatus sebagai pekerja asing, investor, dan rohaniwan harus tinggal di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut. Pada WNA yang menikah dengan WNI, mereka harus tinggal minimal dua tahun berturut-turut.

Selama belum mendapat ITAP, mereka tinggal di Indonesia menggunakan izin tinggal terbatas (ITAS). Dokumen itu berlaku dua tahun dan bisa diperpanjang hingga maksimal 6 tahun. Sementara itu, ada kelompok WNA yang bisa mendapat ITAP tanpa syarat harus menetap di Indonesia terlebih dulu. Mereka adalah anak, istri, suami dari WNA yang memiliki ITAP. Ada pula mantan WNI dan mantan orang berkewarganegaraan ganda Indonesia.

Untuk mendapatkan ITAS dan ITAP, para WNA harus mengurusnya di kantor imigrasi setempat. WNA yang mengurus E-KTP harus pergi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat.

Bentuk ITAS dan ITAP itu sendiri adalah berupa kartu seperti E-KTP, tapi desain dan warnanya berbeda. Jenis izin tinggal ini lazim disebut KITAS dan KITAP. Di sinilah letak titik kritisnya.

Di negara-negara maju seperti Taiwan dan Amerika Serika, WNA hanya akan memperoleh satu kartu saja sebagai resident di negara tersebut, seperti Amerika Serikat dengan Green Card-nya dan Taiwan dengan Alien Resident Card atau ARC-nya. Sebelum mendapatkan kartu tersebut, WNA hanya memperoleh izin tinggal berupa visa yang bisa diperpanjang atau visa dalam jangka waktu tertentu.

Di Indonesia, setiap jenis perizinan diberikan kartu yang berbeda. Ada KITAS dan KITAP. Kalau dilihat fungsinya, KITAS dan KITAP ini sudah mirip dengan kartu resident yang ada di Amerika Serikat dan Taiwan. Tidak perlu sampai memiliki kartu penduduk yang persis sama dengan warga lokal setempat. Sepengalaman saya tinggal di Taiwan selama lebih dari 6 tahun, ARC yang dimiliki oleh WNA tidak sama dengan kartu kependudukan yang dimiliki oleh penduduk Taiwan. Walaupun begitu, keterpaduan nomor kependudukan tetap bagus dan terintegrasi dengan berbagai hal tanpa harus memiliki banyak kartu lain. Cukup satu kartu untuk semua akses layanan dasar.

Niatan pemerintah untuk membuat basis data single identity perlu diapresiasi, apalagi kebijakan itu sudah disahkan melalui Undang-Undang. Namun, memberikan E-KTP kepada WNA rasanya terlalu riskan, apalagi sudah ada KITAS dan KITAP yang fungsinya sebenarnya mirip. Tinggal bagaimana mendesain integrasi data tersebut, dari bagian Keimigrasian di Kemenkumhan dan bagian Kependudukan di Kemendagri, agar sistematis dan padu.

Indonesia bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh negara-negara maju yang sudah berhasil dengan kebijakan identitas tunggal dengan kartu tunggalnya, baik untuk warga lokal maupun WNA. Kalau masih tetap seperti ini, rasanya jauh panggang dari api. WNA malah akan memegang terlalu banyak kartu dan nomor identitas jika harus memiliki KITAS, KITAP, dan E-KTP.

E-KTP dan Rendahnya Literasi

Sudah menjadi rahasia umum jika masyarakat kita memiliki tingkat literasi yang rendah. Ini berimbas pada daya kritis, kecermatan, ketelitian, dan daya analitis masyarakat terhadap suatu hal. Dalam sejarahnya, WNA sebenarnya sudah bisa mulai mendapatkan E-KTP sejak tahun 2006 ketika klausul ini pertama kali muncul.

Ketentuan itu diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang direvisi lagi menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013. Klausulnya tidak berubah sejak 2006:

"Penduduk Warga Negara Indonesia dan orang asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP elektronik."

Bahkan, sejak 2013, Kemendagri sudah menerbitkan 1.600 E-KTP bagi WNA di seluruh Indonesia. Jika saja kejadian di Cianjur tidak terungkap, bisa jadi hingga kini banyak yang tidak mengetahui bahwa WNA memiliki wajib mengurus e-KTP selama memiliki izin tinggal tetap.

Lebih jauh lagi, menjadi wajar tatkala WNA yang bersangkutan masuk dalam DPT Pemilu. Bisa jadi petugas verifikasi data pemilu di lapangan tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan bukanlah WNI, melainkan WNA yang telah memiliki e-KTP sebagaimana diamanatkan undang-undang. Ditambah lagi, bentuk, warna, dan desainnya persis sama dengan E-KTP yang dimiliki oleh WNI. Di sinilah, bisa jadi, muncul titik kritis mengapa banyak WNA bisa masuk dalam ke DPT Pemilu 2019.

Pemerintah perlu memikirkan ulang bentuk dan desain E-KTP bagi WNA jika masih ingin tetap melaksanakan kebijakan ini. Desain dan warna dari e-KTP yang berbeda akan membuat petugas pemberi pelayanan akan mudah mengidentifikasi apakah yang bersangkutan WNI atau WNA tanpa harus membaca detail informasi yang tertera di kolom identitas. Atau pemerintah bisa memaksimalkan saja KITAS dan KITAP yang telah ada agar lebih maksimal fungsinya.

E-KTP dan Kecanggihan Teknologi

Membicarakan e-KTP adalah membicarakan salah satu pintu gerbang menuju era kecanggihan teknologi berbasiskan data kependudukan (kita sering menyebutnya sebagai era 4.0). Teknologi e-KTP ini adalah teknologi terbarukan, mirip dengan yang dimiliki oleh negara-negara maju.

Pertama kali ide tentang basis data tunggal ini mencuat saat Pemilu 2004. Kala itu, Komisi Pemilihan Umum RI mengalami kesulitan menentukan jumlah pemilih untuk pemilu (Daftar Pemilih Tetap). Di Indonesia, ada 4 lembaga pemerintah yang memiliki data kependudukan yang berbeda-beda. Ini menyulitkan KPU RI sebagai pelaksana pemilu untuk menetapkan data mana yang akan dipakai. Ide mewujudkan identitas tunggal pun menguat dan hal itu mulai diimplementasikan oleh pemerintah dalam waktu yang relatif cepat, kurang dari lima tahun sejak permasalahan ini mencuat ke publik pertama kalinya pada 2004.

Namun, ide ini ternyata tidak semulus yang diharapkan. Banyak hal yang terjadi dalam prosesnya, mulai dari kasus korupsi yang menjerat banyak pihak, keberadaan server yang sempat menjadi teka-teki, hingga kasus WNA di Cianjur yang memiliki e-KTP dengan NIK yang sama dengan salah satu WNI di daerah lain ini.

Jika sebelum ini kita sudah sering mendengar dengan adanya permasalahan-permasalahan NIK ganda bagi WNI (karena di masa lalu, banyak WNI yang memiliki KTP dan KK lebih dari satu) kejadian yang terjadi di Cianjur ini cukup menggugah nalar kita, dan menjadi pertanyaan seberapa canggih dan amankah data E-KTP kita ini? Di sinilah titik kritis yang ketiga.

Dari beberapa diskusi dengan rekan yang memiliki fokus studi di bidang keamanan data, saya mendapatkan penjelasan yang cukup gamblang dan mudah dipahami. Kejadian NIK ganda dengan identitas berbeda seharusnya tidak akan terjadi jika sistem yang dipakai di sistem e-KTP sesuai protokol keamanan data standar.

Artinya, tiap-tiap NIK dalam E-KTP akan memiliki kode unik (bukan nomor NIK-nya, melainkan algoritma dalam penginputan NIK tersebut) yang tidak sama dengan NIK yang lain. Pemerintah perlu mengevaluasi sistem dan keamanan data dari E-KTP ini dan tak segan melibatkan akademisi serta ahli-ahli keamanan data siber.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia, Indonesia banyak mendapatkan tantangan untuk terus menata data kependudukan sebagai salah satu faktor penentu pemberian layanan dasar yang didapatkan oleh masyarakat dari pemerintah. Dengan sejarah birokrasi kependudukan di Indonesia yang panjang dan berliku, hal ini memberikan kesulitan sekaligus tantangan tersendiri.

Apa yang harus dilakukan? Perlu ada revolusi mental dan revolusi sistem yang sebenar-benarnya agar permasalahan identitas kependudukan tunggal ini bisa segera terselesaikan dan masyarakat bisa segera menikmati pelayanan maksimal dengan adanya e-KTP ini. Bukankah e-KTP ini untuk memudahkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang ada, bukan justru untuk menambah masalah yang ada?

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.