Menuju konten utama

Tionghoa dan Kejayaan Bulutangkis Indonesia

Meremehkan etnis Tionghoa sama saja dengan meremehkan eksistensi mereka di dunia olahraga yang memang begitu besar jasanya bagi bangsa ini, khususnya di cabang olahraga bulutangkis. Cabang olahraga inilah yang membuat nama Indonesia begitu harum. Keharuman prestasi itu kebanyakan diberikan oleh pebulutangkis beretnis Tionghoa.

Tionghoa dan Kejayaan Bulutangkis Indonesia
Pebulu tangkis Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir meluapkan kegembiraannya saat mengalahkan pasangan Malaysia Peng Soon Chan dan Liu Ying Goh dua set langsung dalam partai final ganda campuran bulu tangkis Olimpiade Rio 2016 di RIo de Janeiro, Brazil. [ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Blake]

tirto.id - Sebuah kejadian gecul terjadi kemarin di tengah gegap gempita perayaan hari Kemerdekaan Indonesia. Dalam sebuah acara, Ketua umum FPI, Shobri Lubis dengan gagah berorasi: "Kita harus bersatu padu membangun kebersamaan Indonesia, yang saat ini sudah tergadaikan oleh dominasi asing dan aseng."

“Aseng” di sini tentu merujuk pada etnis turunan Tionghoa yang tinggal di negeri ini. Ucapan dia ini akan jadi olok-olok karena beberapa jam kemudian satu orang “aseng” lewat Liliyana Natsir berhasil membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa lain di dunia olahraga. Berpasangan dengan Tontowi Ahmad, Liliyana berhasil mempersembahkan medali emas satu-satunya bagi Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

“Saya dan Owi kayak belum percaya bisa juara. Tapi kami sangat bersyukur. Kami berterima kasih buat keluarga, pelatih dan seluruh masyarakat Indonesia yang mendoakan. Akhirnya kami bisa mempersembahkan emas untuk Indonesia,” kata Liliyana usai menyabet emas di nomor ganda campuran itu.

Shobri Lubis tampaknya lupa bahwa enam dari sebelas anak bangsa yang pernah meraih emas Olimpiade bagi Indonesia adalah etnis Tionghoa. Merekalah yang pernah membuat bendera Indonesia dikibarkan di atas negara-negara lain. Mereka yang sering berlaku rasis mempertanyakan kadar nasionalisme etnis Tionghoa terhadap Indonesia mungkin perlu disodorkan rekaman Susi Susanti yang air matanya berlinang saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan di Olimpiade Barcelona 1992 silam.

Umum diketahui, orang Tionghoa punya posisi yang kompleks dalam struktur sosial di Indonesia. Mereka eksis, sudah ada di wilayah Nusantara berabad-abad lamanya, tapi posisi mereka kerap kali dianggap sebagai orang luar.

Diskriminasi rasial yang mereka alami selalu terjadi di tiap zaman. Terutama dalam fase Indonesia modern, di mana orang Tionghoa harus menerima banyak diskriminasi dan pembatasan. Di dunia olahraga inilah mereka memainkan peran strategis bagi sebuah isu penting: bagaimana orang Tionghoa berinteraksi dan memposisikan dirinya dalam kehidupan sosial di Indonesia yang kompleks dan diskriminatif.

Bulutangkis jadi salah satu medan interaksi antara orang-orang Tionghoa dengan ke-Indonesia-an itu. Di medan inilah orang-orang Tionghoa punya peran yang tak bisa dan tak mungkin dilupakan. Lewat bulutangkis, nama Indonesia mulai diperhitungkan di dunia olahraga, bukan sepakbola atau olahraga lainnya. Prestasi bulutangkis Indonesia cenderung stabil: tetap di papan atas dan selalu diperhitungkan. Salah satu yang mempertahankan kestabilan itu adalah pemain-pemain berdarah Tionghoa.

Generasi Awal

Pondasi kejayaan bulutangkis Indonesia dibangun oleh orang-orang Tionghoa, lewat Ferry Sonnevil, Tan Joe Hok, Njo kiem Bie, Tan King Gwan, Eddy Jusuf dan Ang Tjin Siang. Jika pondasi ini tak dibangun, maka gaung bulutangkis sebagai bagian dari kebanggaan bangsa tak akan pernah muncul. Nasib bulutangkis akan sama seperti olahraga-olahraga lainnya yang sepi peminat.

Kali pertama bertanding di kancah internasional, gelar juara Piala Thomas 1958 langsung dibawa pulang ke Jakarta. Wajar jika publik dunia terkaget-kaget dengan hasil ini. Di Final, Indonesia menekuk juara bertahan Malaysia dengan skor 6-3.

Hasil ini ditanggapi dengan sukacita. Presiden Sukarno bahkan mengundang mereka datang ke istana. Antusiasme publik tak terbendung. Penyambutan besar-besaran di bandara Kemayoran dipadati ribuan orang. Setidaknya 25 ribu orang memadati sepanjang jalan dari kemayoran ke Istana Negara.

“Kemenangan itu disambut meriah dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat Puncak. Pemain yang dari Surabaya juga di arak di kotanya masing-masing,” ucap Tan Joe Hoek kepada Tempo pada tahun 2000 silam.

Rentetan gelar pemain-pemain Tionghoa ini tak berhenti disini. Setahun berikutnya, Indonesia lewat Tan Joe Hoek merebut All England untuk kali pertama. Sampai satu dekade, Indonesia tetap mampu mempertahankan prestasi dengan merebut Thomas Cup 1961 dan 1964 dengan mengandalkan pemain-pemain tersebut.

Ada sebuah kisah nasionalisme Tan Joe Hoek saat mempertahankan gelar ini. Pada 1960, dia sebenarnya sudah memutuskan untuk pensiun dari bulutangkis dan fokus menempuh pendidikan di Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology di Amerika Serikat. Dia diminta pulang oleh Soekarno karena Indonesia akan jadi tuan rumah Asian Games 1962. Soekarno ingin Indonesia sukses secara penyelenggaraan dan prestasi.

“Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali ke Amerika meneruskan studi S-2. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi untuk negara saya, Indonesia,” ucap Tan Joe Hoek.

Kejayaan Selama Dekade 70-an

Setelah generasi Tan Joe Hoek berakhir, estafet prestasi itu diteruskan oleh generasi Tionghoa lainnya lewat Rudy Hartono, Liem Swie King, Christian Hadinata, Ade Chandra, Tjun Tjun, Johan Wahjudi, Iie Sumirat, dan Muljadi.

Pada dekade 70-an, hampir seluruh prestasi bulutangkis Indonesia diberikan oleh orang-orang Tionghoa. Merekalah yang membuat Indonesia begitu dominan di Piala Thomas pada dekade 1970-an dengan menyabet gelar juara beruntun 1973, 1976, dan 1979.

Pasca Tan Joe Hoek pensiun, Rudi Hartono langsung ambil alih. Dia berhasil menjuarai All England selama tujuh tahun beruntun! rekor gelar ini sampai sekarang belum pernah ada yang menyamainya. Usai Rudi habis, tongkat prestasi dilanjutkan Liem Swie King.

Tidak hanya di nomor tunggal, pada nomor ganda putra, duet tionghoa Christian Hadinata/Ade Chandra jadi unggulan Indonesia. Mereka menjuarai All England dua tahun beruntun 1972 dan 1973.

Prestasi Mulai Bermunculan di kemudian hari.

Era 1980-an keterlibatan etnis Tionghoa semakin besar. Ada keluarga Arbi, Hastomo Arbi, Eddy Hartono, dan Hariyanto Arbi, ada pula Lius Pongoh, Hariamanto Kartono. Yang menarik adalah pada dekade ini mulai muncul prestasi pada nomor putri.

Srikandi raket sepeti Verawaty Fajrin, Imelda Wigoena, Ivanna Lie, Yanti Kusmiati begitu jadi idola pemuda di zaman itu. Verawaty Fajrin/Imelda Wigoena di nomor ganda putri misalnya, mereka berhasil memberikan gelar Piala Uber 1980 yang sudah 10 tahun tak pernah hinggap.

Dari segi gelar yang didapat, prestasi di dekade 80-an sebenarnya tidaklah sebaik 70-an, terutama di nomor tunggal. Andalan Indonesia masih tertumpu pada nomor ganda.

Kebangkitan lagi baru terjadi pada dekade 90-an. Lagi-lagi yang membangkitkan semua ini adalah pemain berdarah Tionghoa. Semua bermula saat bulutangkis mulai dipertandingkan di Olimpiade 1992 Barcelona. Pasangan emas, Susi Susanti dan Alan Budikusuma mampu memberikan dua medali emas di ajang itu.

Kecintaan publik terhadap Susi amatlah besar. Di Jawa Barat, daerah asal Susi, setidaknya euforia penyambutan Susi saat menjuarai Uber Cup 1994, sama seperti meriahnya seperti menyambut Persib Bandung saat menjuarai Perserikatan 1994. Harian Pikiran Rakyat menyebut setidaknya ada sekitar 50.000 orang menyemut di Gedung Sate demi mengeluk-elukan Susi.

Selepas generasi Susi dan Alan lalu muncul pemain lain pada generasi selanjutnya mulai dari Chandra Wijaya, Toni Gunawan, Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Greysia Polii, hingga Praveen Jordan dan Debby Susanto pada generasi baru-baru ini. B

Banyak yang bertanya-tanya bagaimana regenerisasi dan estafet prestasi ini terus muncul. "Tidak ada rahasia kenapa etnis Tionghoa bisa seperti ini,” ucap Tan Joen Hoek. “Saya selalu menyemangati yang junior agar prestasinya lebih dari saya. Hal itu jadi beban bagi mereka untuk berjuang lebih keras lagu,” kata dia.

Semangat itu memang melecut para pemain berdarah Tionghoa. Tak peduli mereka "asing" atau "aseng", para pemain berdarah Tionghoa itu terbukti sudah banyak memberikan kebanggaan pada negeri ini.

Baca juga artikel terkait OLIMPIADE 2016 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti