Menuju konten utama

Tinju Adalah Masa Lalu, Tarung Bebas Adalah Masa Depan

Ajang tarung bebas digemari karena tidak ada batas-batas dan memberi peluang pada mereka yang secara fisik lebih kecil.

Tinju Adalah Masa Lalu, Tarung Bebas Adalah Masa Depan
Petarung Indonesia Stefer Rahardian melawan petarung Liberia, Jarome pada ajang seri Pertama One Championship di Jakarta, Sabtu, (14/1). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - "Semua orang di UFC menggunakan streoid. Ya, semua orang."

"Diaz, dua orang timmu ketahuan memakai steroid. Tapi aku tak memakai streoid. Bukan aku, tapi dua orang timmu. Kamu tahu kan kalau mereka menggunakan streoid?"

"Gregor, kamu pakai steroid."

"Jelas tidak. Aku memang penjelmaan binatang buas."

Mungkin tak ada acara temu wartawan semeriah ajang UFC 196. Seharusnya ajang itu adalah pertarungan ulang antara juara kelas berat UFC Fabricio Werdum melawan dua kali juara UFC Cain Velasquez. Duel tambahan lain adalah mantan juara kelas menengah, Anderson Silva melawan Michael Bisping. Tapi kemudian perkara cedera dan tetek bengek lain membuat pertarungan diganti: Conor McGregor, sang juara kelas bulu, melawan Rafel dos Anjos yang merupakan juara kelas ringan. Tapi Rafael kemudian cedera dan digantikan oleh Nate Diaz.

Pertarungan antara McGregor melawan Diaz kemudian menjadi spesial karena beberapa hal. Pertama, dua orang petarung ini sama-sama bermulut besar. Mereka gemar sekali mengeluarkan kata-kata hinaan yang pedas. Bahkan sebelum bertarung, mereka sudah lebih dulu silat kata.

"Cih, Gregor pikir dia ninja. Salah. Aku yang ninja. Ninja Gaiden. American Ninja. Real motherfucking ninja. Seniman bela diri ninja ada di sini, aku yang memulainya," kata Diaz.

Gregor, petarung Irlandia yang ditempa oleh hidup yang lebih keras ketimbang Poitín, tentu tak mau kalah bacot. Dia membalasnya di acara jumpa wartawan.

"Aku punya gelar juara dunia dan jutaan dolar. Kamu cuma punya 20 ribu dolar, dan mengajarkan jiu-jitsu untuk anak-anak pada hari Minggu. Kamu harus mengajar jiu-jitsu dalam seminar di seluruh penjuru California supaya bisa bertahan hidup," kata Gregor.

"Yaelah ngelantur. Kamu itu cuma petarung yang berlatih dengan seorang badut tolol. Aku punya kawan latihan yang mantap. Petarung terbaik, petinju terbaik, atlet jiu-jitsu terbaik. You've got shit," balas Diaz.

Faktor kedua yang membuat pertarungan ini menjadi spesial tentu perkara uang dan hal-hal lain yang mengikuti. Karena sudah dipanaskan oleh adu congor, wajar kalau penggemar tarung bebas jadi tertarik. Apalagi dua-duanya adalah petarung yang bagus.

UFC 196 ditonton langsung oleh sekitar 14 ribu penonton, dan menghasilkan pemasukan 8,1 juta dolar hanya dari tiket. Conor McGregor dibayar 1 juta dolar, sedangkan Nate Diaz mendapat separuhnya. Partai lainnya adalah Holly Holm melawan Miesha Tate. Miesha, petarung yang mengalahkan Ronda Rousey mendapatkan bayaran 500 ribu dolar di ajang ini. Sedangkan lawannya mendapat 92 ribu dolar.

Kita tahu bahwa kemudian Gregor, si culuk busuk itu kemudian kalah oleh Diaz. Dicekik lehernya oleh Diaz yang berdarah-darah. Gregor terpaksa menepuk sikut Diaz sebagai tanda menyerah. Di pertandingan itu, Diaz membuktikan omongannya.

"Aku adalah ninja yang asli, Cuk!"

Sejarah Panjang Tarung Bebas

Hampir semua kultur punya tradisi gelut. Entah tanpa aturan, atau menggunakan aturan. Mulai antar aliran, hingga lintas aliran. Dalam industri tarung bebas, dunia mengacu pada satu kultur pendahulu: vale tudo. Ini adalah pertarungan gaya bebas di Brasil.

Para penggemar tarung bebas harus berterima kasih pada Mitsuyo Maeda. Pada awal 1900-an, Maeda pergi keliling dunia untuk menunjukkan dan menyebarkan judo. Di Jepang, Maeda amat dikenal. Julukannya mentereng, Count Koma, alias Raja Tarung. Saat keliling dunia itu, dia menantang para petarung lintas aliran. Mulai dari petinju, pegulat, hingga atlet savate.

Maeda tiba di Brasil pada November 1914. Dia tampil dalam kelompok sirkus Queirolo Brothers. Di sana, Maeda bertemu dengan Gastao Gracie, seorang pebisnis. Mereka kemudian berkawan. Perkawanan itu berlanjut saat Carlos Gracie, anak tertua Gastao, memutuskan untuk belajar judo pada Maeda.

Saat Maeda meninggalkan Jepang, judo masih dikenal sebagai kano jiu-jitsu, kadang cukup disebut sebagai jiu-jitsu. Carlos kemudian mengembangkan gaya jiu-jitsu sendiri dan mengajarkannya pada adiknya, George dan Helio. Kemudian George dan Helio yang kemudian menyebarkan jiu-jitsu keluarga Gracie.

Carlos dan Helio kemudian membuka akademi jiu-jitsu dan terus mengembangkan gaya bertarung mereka sendiri. Mereka lantas menerbitkan apa yang dikenal sebagai "Tantangan Gracie". Bentuknya adalah iklan yang dipasang di berbagai koran Rio de Janeiro. Bunyi iklannya, yang disertai foto Carlos yang memandang remeh pembaca, adalah: kalau kamu ingin patah tangan, atau patah rusuk, hubungi Carlos Gracie di nomor ini."

Maka mulailah apa yang dikenal sebagai awal mula industri tarung bebas, yang merupakan reka cipta pankration, tarung bebas di masa Yunani kuno. Iklan itu menarik minat dan ego banyak petarung. Diikuti oleh tukang berbalah dari berbagai aliran bela diri. Dari petinju, pegulat, karateka, hingga atlet capoeira. Mereka semua ingin membuktikan jurus mereka jauh lebih hebat dari rekaan dua orang Gracie ini. Mereka tak berhasil. Membuat nama Gracie kemudian menjadi terkenal di seantero Brasil.

Carlos dan Helio mewariskan ilmu jiu-jitsu pada anak dan cucunya. Carlos punya 21 orang anak, dan 13 orangnya punya sabuk hitam di Brazilian Jiu-jitsu. Sedangkan Helio menjadi pelatih jiu-jitsu yang amat disegani. Bahkan dia masih mengajar hingga 10 hari sebelum kematiannya di umur 95 tahun. Dia punya 9 orang anak, dengan setidaknya 6 orang merupakan ahli jiu-jitsu, termasuk Rickson, yang kerap didapuk sebagai pewaris terhebat jiu-jitsu keluarga Gracie. Hingga sekarang, Helio masih dianggap sebagai pahlawan bela diri di Brasil.

Salah satu kutipannya yang paling diingat, diucapkan dalam aura machoisme yang kental, di tahun-tahun terakhir hidupnya: "Aku tak pernah mencintai perempuan mana pun, karena cinta adalah kelemahan, dan aku tak punya kelemahan."

Infografik HL Indepth MMA Mixed Martial Arts

Menguasai Pasar Global

Pada dekade 1970-an, Rorion Gracie, anak tertua Helio, pergi ke Amerika Serikat untuk menyebarkan jiu-jitsu. Dia tinggal di California dan mulai mengajarkan jiu-jitsu di garasi rumahnya. Pada awal 1980-an, sutradara Richard Donner mengajaknya bersama dua orang seniman bela diri lain untuk menciptakan koreografi pertarungan di film Lethal Weapon. Kemudian di akhir dekade 80-an, Rorion membuat film dokumenter "Gracie Jiu-jitsu In Action", yang berandil besar dalam mempopulerkan jiu-jitsu di AS.

Pada 1989, dia sudah punya 630 kelas privat. Terinspirasi oleh Tantangan Gracie, dia bekerjasama dengan Art Davie dan John Milius untuk membuat ajang Ultimate Fighting Championship. Mereka membagi tugas. Art Davie bertugas di bagian teknis. John Milius sebagai direktur kreatif. Sedangkan Rorion tentu mengurusi perkara berantem dan peraturannya. Nama perusahaan mereka adalah WOW Promotions.

Ajang pertama yang mereka buat adalah UFC 1: The Beginning, dihelat di Denver, Colorado, pada 12 November 1993. Pada publik AS, mereka berusaha memberikan jawaban dari berbagai pertanyaan klasik, semisal, bisakah seorang pegulat mengalahkan seorang petinju?

Ajang pertama ini berformat 8 orang petarung yang saling mengalahkan. Juaranya mendapatkan hadiah 50 ribu dolar. Ajang pertama ini tak memakai ukuran berat badan, tanpa ronde, tanpa sarung tangan (walau boleh memakainya), tanpa time out, dan tanpa juri. Hanya ada dua peraturan: tak boleh menggigit, atau menculek mata. Pertandingan hanya berakhir oleh kuncian, KO, atau menyerah.

Pertandingan pertama ini melibatkan nama seperti Gerard Gordeau (savate), Teila Tuli (sumo), Kevin Rosier (kickboxing), Zane Frazier (kempo), Royce Gracie (Brazilian Jiu-jitsu), Art Jimmerson (tinju), Ken Shamrock (shootfighting), dan Patrick Smith (taekwondo). Di final, Royce Gracie berhasil menang melawan Gerard Gordeau melalui kuncian leher pada menit 1 detik 44.

Ajang pertama ini sukses besar, ditonton langsung oleh sekitar 7.500 penonton, dan disaksikan oleh pelanggan pay-per-view sebanyak 86 ribu penonton. UFC sebenarnya diniatkan hanya sebagai ajang satu kali saja. Tapi ternyata pertarungan ini diminati oleh banyak orang.

Kenapa orang bisa menggemari tarung bebas? Ada banyak jawaban tentu saja. Ajang ini tak dibatasi aliran. Membuatnya bisa dinikmati banyak orang. Lalu tarung bebas ini bisa membuktikan adagium bahwa ukuran badan kerap tak berbanding lurus dengan hasil. Keluarga Gracie, dengan teknik jiu-jitsu, berhasil mengalahkan lawan-lawan yang berbadan lebih besar dan tinggi. Pada awal dimulai, UFC tak memiliki peraturan baku, yang membuatnya lebih seru. Tak dibatasi waktu pula. Hingga 1990-an, kamu boleh menjambak lawanmu, menyundul, atau menggasak paha dan selangkangan musuhmu. Mana ada penggemar tontonan kekerasan yang tak suka tindakan barbar seperti itu.

Kini, UFC berkembang makin pesat. Di dunia tarung bebas, ia adalah yang terbesar. Mereka ditayangkan di 158 negara,

dengan jumlah penonton sekitar 1,2 miliar orang. Zuffa, perusahaan yang mempunyai UFC, mendapat penghasilan sekitar 600 juta dolar pada 2015. Naik dari penghasilan mereka pada 2014, yakni 522 juta dolar. Tiket UFC London terjual habis dalam 27 menit. Rekornya adalah UFC Dublin, yang tiketnya ludes dalam waktu 60 detik saja.

UFC tak sendirian dalam industri tarung bebas. Menurut situs Tapology, ada ratusan promotor MMA (mixed martial art) di seluruh dunia. Selain UFC yang terbesar, ada pula Bellator. Ia berasal dari Amerika Serikat, terkenal dengan program "The Toughest Tournament in Sport", pertandingan delapan orang atau empat orang dengan hadiah 100 ribu dolar untuk pemenangnya. Di Asia, yang terbesar adalah One Championship yang bermarkas di Singapura. Siaran pertandingannya ditayangkan di 118 negara.

Ajang tarung bebas ini juga tak terbatas untuk para lelaki saja. Petarung perempuan pun boleh ambil bagian, bahkan bisa lebih terkenal ketimbang para petarung lelaki. Di AS, ada Invicta Fighting Championship, promotor yang khusus mengadakan pertandingan petarung perempuan. Di UFC sendiri, petarung perempuan memang masih kalah jumlah dibandingkan lelaki. Hanya ada 59 petarung perempuan di UFC (per Maret 2016). Sedangkan petarung lelaki yang dikontrak UFC berjumlah 514 orang.

Tapi dengan jumlah yang sedikit itu, petarung perempuan punya kesempatan lebih besar untuk menjulang. Contoh terbaiknya tentu Ronda Rousey. Meski belakangan kalah dua kali berturut-turut, popularitasnya bahkan membuatnya menjadi bintang film Hollywood, dan dibayar sama mahal dengan Conor McGregor.

UFC, kata David Mammet, seorang kolumnis olahraga untuk The Guardian, adalah perpaduan antara kapitalisme dan globalisme. Pertarungan penuh darah dikemas apik sebagai olahraga dan juga hiburan, disiarkan ke ratusan negara. Para warga negara juga bisa merasa terwakili oleh bela diri yang tampil di pertarungan itu. Jepang membanggakan karate dan judo. Orang Korea membanggakan taekwondo. Warga Thailand menepuk dada karena muay thai. Orang Rusia mendongakkan dagu berkat sambo. Warga Brasil tentu akan menganggap ajang ini lahir karena jiu-jitsu.

Ke depan, tarung bebas akan terus berkembang. Sekarang, ajang ini dianggap sebagai pertandingan olahraga dengan perkembangan terpesat di dunia. Berdasarkan pengakuan Lorenzo Fertitta, pemilik Zuffa bersama saudaranya Frank, pertumbuhan UFC, baik dari jumlah penonton atau pendapatan, mencapai 20 persen per tahun. Ajang ini, menurut Lorenzo, akan mengalahkan tinju. Menurutnya, tinju mulai membosankan dan tak punya figur sentral seperti era-era sebelumnya yang melahirkan banyak petinju hebat nan ikonik. Sebaliknya, UFC kini punya banyak petarung yang memikat. Baik secara kemampuan maupun persona.

"Apa yang kami punya adalah hal yang menakjubkan, di mana kamu membawa dua orang atlet di puncak karier, dalam kondisi fisik yang paling menakjubkan, ke atas ring dan menyilakan mereka bertarung dengan teknik yang mereka kuasai," kata Lorenzo pada The Guardian.

"Tak peduli apa warna kulitmu, bahasa yang kamu pakai, dan dari mana asal negaramu. Ini adalah pertarungan. Dan pada level tertentu, orang menyukainya."

Baca juga artikel terkait TINJU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Olahraga
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti