Menuju konten utama

Tingkat Kesuburan Global Menurun karena Manusia 'Makan Plastik'

Pada 2050 mendatang, mayoritas pasangan diprediksi harus menggunakan teknologi untuk memperoleh keturunan.

Tingkat Kesuburan Global Menurun karena Manusia 'Makan Plastik'
Ilustrasi sperma. FOTO/iStockphoto

tirto.id - "Bukanlah sesuatu yang aneh menerima kenyataan bahwa manusia acap kali bersikap meremehkan, tak terkecuali pada masalah kesuburan," buka Shanna H. Swan dalam bukunya berjudul Count Down: How Our Modern World Is Threatening Sperm Counts, Altering Male and Female Reproductive Development, and Imperiling the Future of the Human Race (2021).

Penelitian Swan, profesor di bidang kesehatan masyarakat pada School of Medicine at Mount Sinai, New York, Amerika Serikat, menyebut jumlah sperma dan kadar testosteron pada tubuh laki-laki menurun drastis dalam empat dekade terakhir. Padahal, "sperma menjadi salah satu komoditas paling berharga karena berfungsi melahirkan generasi baru".

Pada tubuh laki-laki sehat dan subur, sperma dihasilkan dalam siklus 16 hari sekali. Dalam rentang siklus tersebut, testis menghasilkan 200 juta hingga 300 juta sel sperma (sperm cells) tiap hari. Sel sperma terdiri dari kepala mirip torpedo yang mengandung DNA, bagian tengah yang dipenuhi dengan mitokondria penghasil energi, dan ekor yang relatif panjang yang mendorong sperma ke depan. Setiap sel sperma memiliki ukurang sangat kecil--kira-kira panjangnya 0,05 milimeter atau 0,002 inci. Dan hanya 50 persen di antaranya yang menjadi kandidat sperma (viable sperm). Dari sperma yang dihasilkan tersebut, butuh waktu antara 65 hingga 75 hari baginya untuk menjadi matang/dewasa (mature sperm). Sperma dewasa menyerupai kecebong mikroskopis, yang memiliki kepala berlapis enzim, ekor, dan bagian ekor yang lebih tipis, yang disebut potongan ujung (end piece).

Tak lama setelah menjadi dewasa, sperma meninggalkan tubulus (tabung silinder berongga dan berukuran kecil yang membantu pembentukan urin tanpa mempengaruhi keseimbangan elektrolit tubuh) dan memasuki epididimis (organ tubular melingkar yang menempel pada testis). Dalam epididimis, sperma belajar "berenang" dan menyesuaikan gerakan. Di tahap inilah sperma siap dikeluarkan.

Rata-rata per ejakulasi, laki-laki mengeluarkan dua hingga enam mililiter--sekitar satu sendok teh--semen yang mengandung hingga 100 juta sperma. Jika tidak dikeluarkan, sperma akan mati dan diserap kembali oleh tubuh.

Menurut ketetapan World Health Organization (WHO), sperma normal memiliki konsentrasi dari 15 juta hingga lebih dari 200 juta sperma per mililiter semen. Kurang dari 15 juta/mililiter semen, WHO menganggapnya "rendah", tidak subur, atau sangat sulit diandalkan untuk menghasilkan keturunan. Di sisi lain, menurut pendapat yang umum yang diterima para ahli, indikator "rendah" sebetulnya berada di angka 40 juta/mililiter semen. Tentu, dapat atau tidaknya sperma diandalkan untuk menghasilkan keturunan atau tidak subur bukan semata soal jumlah, tetapi juga kualitas. Secara umum, kualitas sperma ditentukan oleh vitalitas (persentase sperma yang hidup), motilitas (kemampuan seperma untuk berenang dan bergerak), dan morfologi (ukuran dan bentuk sperma). Untuk menentukan apakah sperma dapat diandalkan atau tidak, dunia kedokteran menggunakan standar "big three", yakni konsentrasi, motilitas, dan morfologi.

Pada 1973, dari penelitian yang dilakukan Swan, rata-rata pria di negara-negara Eropa memiliki konsentrasi sperma sebesar 99 juta/mililiter semen. Namun, pada 2011, konsentrasinya menurun, menjadi 47,1 juta/mililiter semen, dan kian menurun hingga hari ini. Dalam penelitian soal kualitas sperma pada 1.500 laki-laki di Eropa menggunakan indikator konsentrasi, motilitas, dan morfologi, "sedikit lebih dari separuh di antaranya subur dan sedikit kurang dari separuh di antaranya tidak subur". Masalahnya, ketika salah satu indikator berada dalam kisaran tidak subur, laki-laki dua kali lebih mungkin menjadi tidak subur dibandingkan laki-laki dengan tidak satu pun dari indikator ini dalam kisaran tidak subur. Ketika salah satu dari indikator berada dalam kisaran tidak subur, pria enam kali lebih mungkin menjadi tidak subur. Ketika ketiga indikator itu berada dalam kisaran tidak subur, peluang untuk menjadi tidak subur menjadi dua belas kali lebih tinggi.

Konsentrasi dan kualitas sperma yang kian menurun, sebut Swan, "terjadi karena pola hidup yang tak sehat seperti merokok, minum minuman keras, dan bedagang serta paparan terus-menerus terhadap zat-zat berbahaya". Sialnya, zat-zat berbahaya yang dimaksud Swan adalah plastik, yang kini ada di mana-mana.

Plastik, entah berbentuk bisphenol A (BPA), polyvinyl chloride (PVC) atau lainnya--yang digunakan dalam berbagai hal, termasuk mainan, material, dan bungkus makanan--mengandung zat yang dapat merusak endoktrin tubuh atau hormon alias Endocrine-Disrupting-Chemical, (EDC). Padahal, hormon merupakan substansi kimia dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pengirim pesan untuk mengatur fungsi sel dan organ. EDC masuk ke dalam tubuh, membajak hormon, dan membuatnya tak bekerja sebagaimana mestinya, termasuk memblokir testis sehingga tidak menghasilkan sel sperma. tak ketinggalan, EDC pun dapat menganggu kerja otak sehingga tidak menginginkan seks.

Betul, otak adalah organ seks terpenting manusia.

Robin Baker, dalam Sperm Wars: Infidelity, Sexual Conflict, and Other Bedroom Battles (1996), memaparkan peran penting perempuan dalam menghasilkan keturunan. Tatkala sperma masuk, tubuh perempuan menjaganya tetap subur tidak lebih dari lima hari. Lalu, sperma membutuhkan sekitar dua hari di dalam tubuh perempuan untuk mencapai puncak kesuburan. Perempuan hanya menghasilkan satu sel telur per siklus menstruasi, tetapi sel telur ini mati dalam satu hari setelah diproduksi oleh ovarium. Artinya, agar pembuahan tercapai, laki-laki harus membuahi perempuan setidaknya sekali sebelum lima hingga dua hari perempuan mulai berovulasi, proses yang terjadi dalam siklus menstruasi.

Infografik Sperma

Infografik Sperma. tirto.id/Quita

Di sisi lain, siklus menstruasi tak dapat ditebak secara persis. Siklus menstruasi yang dapat diprediksi jarang terjadi dan hanya kadang-kadang perempuan berovulasi pada hari ke-14. Tak ketinggalan, perempuan pun terpapar Endocrine-Disrupting-Chemical, yang terutama dihasilkan oleh produk kosmetik.

Dengan keadaan yang ada dalam tubuh manusia ini, pada 2050 mendatang mayoritas pasangan diprediksi harus menggunakan teknologi untuk memperoleh keturunan.

Sayangnya, masalah keturunan bukan semata tentang hal-hal biologis dalam tubuh semata. Adzmel Mahmud, dalam studinya berjudul "Socio-economi Correlates of Fertility in Peninsular Malaysia" (University of Malaya, 2009), menyebut rasio kesuburan total (Total Fertility Rate, TFR) di Semenjung Malaysia (termasuk negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur) turun dari 6,8 anak per wanita pada 1957 menjadi 3,0 anak per perempuan pada 2000.

Bryant Robey mengungkap fakta serupa dalam "The Fertility Decline in Developing Countries" (Scientific American, Desember 1993). Robey menyebut TFR menurun drastis di negara-negara berkembang sejak dekade 1970-an lalu. Di Thailand, misalnya, TFR menurun hingga 50 persen, dari 4,6 anak per perempuan pada 1975 menjadi 2,3 anak pada 1987. Di Indonesia, TFR menurun di kisaran 46 persen pada rentang 1971 hingga 1991. Menurut John Bongaarts dalam "Fertility Decline in the Developed World: Where Will It End?" (American Economic Review Vol, 89, 1999), penurunan TFR tak hanya dialami negara berkembang, tapi juga negara maju. Semenjak 1960-an, TFR di Eropa, Amerika Utara, dan Australia berada di angka 1,7 anak per perempuan, turun dari 2,8 anak di dekade sebelumnya.

Adzmel, Robey, dan Bongaarts sepakat bahwa penurunan TFR di hampir semua negara di dunia terjadi karena perubahan sosial budaya: fokus berlebihan terhadap karier, jam kerja panjang, dan kecenderungan menunda perkawinan. Tak ketinggalan, di negara-negara Eropa Timur atau wilayah konflik, hijrah ke tempat yang lebih aman nan menjanjikan jauh lebih penting dibandingkan menghasilkan keturunan. Terakhir, karena biaya hidup yang semakin meningkat, pasangan mulai lebih hati-hati untuk memiliki keturunan.

Usai mencapai titik lebih dari 7 miliar populasi, akankah manusia perlahan undur diri dari bumi?

Baca juga artikel terkait KESUBURAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf