Menuju konten utama

Tingginya Nafsu DPR Tambah Anggaran Saat Kinerja Loyo

DPR minta kenaikan anggaran ketika kinerja mereka buruk. Misalnya, karena terus menggodok peraturan yang bertentangan dengan aspirasi publik.

Tingginya Nafsu DPR Tambah Anggaran Saat Kinerja Loyo
Sejumlah anggota DPR berfoto usai Rapat Paripurna ke-2 Masa Persidangan 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/8/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.

tirto.id - "Kalau negara ini ingin maju dan kuat, bu Menteri, legislatifnya harus kuat. DPR-nya harus kuat. DPR kuat, tugas fungsi pokoknya, automatically adalah budget impact."

Pernyataan itu dilontarkan oleh Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI, Achmad Dimyati Natakusumah, saat rapat paripurna ke-2 masa persidangan I tahun 2020-2021, Selasa (18/8/2020) pekan lalu (menit ke 2.30.00 sampai 2.33.00). Kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, ia menegaskan perlunya menaikkan anggaran bagi DPR untuk tahun 2021.

Achmad mengatakan dalam rapat paripurna 5 Mei, DPR menetapkan Rancangan Kerja Anggaran (RKA) sebesar Rp7,5 miliar. Tapi ternyata alokasi yang dianggarkan pemerintah di bawah itu. "Saya melihat pada lampiran yang disampaikan pemerintah ini masih jauh, masih Rp5,4 miliar." Oleh karenanya ia berharap pemerintah "betul betul merealisasikan harapan itu"--menyetujui anggaran.

Ia lalu menjelaskan apa pentingnya menaikkan anggaran. Menurutnya DPR perlu bekerja lebih keras tahun depan, di tengah problem resesi ekonomi dan COVID-19.

"Bagaimana kami bisa meningkatkan kinerja menuju parlemen yang modern melakukan pengawasan terhadap pemerintah, terhadap bu Sri yang memberikan uang itu kepada lembaga kementerian, lembaga keuangan, dan daerah-daerah," katanya. "Bagaimana kami melakukan pengawasan secara ketat dan juga bagaimana kami membuat peraturan perundang-undangan yang bagus dan kuat."

DPR Keterlaluan

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai permintaan DPR menaikkan anggaran lebih dari dua miliar sangat keterlaluan. Alih-alih meminta untuk diri sendiri, mereka sebaiknya mengupayakan alokasi anggaran yang lebih besar untuk masyarakat yang hidupnya hancur karena pandemi.

Permintaan itu tak lain membuktikan bagaimana mereka selalu mengurusi "perut sendiri" ketimbang kebutuhan rakyat.

"Permintaan anggaran ini menunjukkan bahwa DPR tak mempunyai cara pandang yang berbeda setelah selama beberapa bulan lamanya pandemi meluluhlantakkan kehidupan normal warga masyarakat secara keseluruhan," kata Lucius saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (24/8/2020) siang.

"Keinginan dan nafsu untuk menambah pundi-pundi sendiri nampak menjadi dorongan terus-menerus yang tak pernah hilang setiap kali DPR berhadapan dengan anggaran."

Selain itu, ia juga menilai saat ini tak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan permintaan kenaikan anggaran karena DPR terus mengangkangi masyarakat dengan memaksakan kebijakan yang "banyak ditolak oleh publik" seperti RUU Cipta Kerja.

"Lalu apa yang tersisa untuk bisa membenarkan permintaan [tersebut]? Tidak ada," katanya.

Pada akhir 2019 lalu, Tirto menerbitkan laporan khusus terkait kinerja DPR RI berjudul Juara Diam di Senayan. Parlemen mengalami paceklik produksi Undang-Undang, masa jabatan penuh drama, dan segudang kontroversi seperti anggota yang terjerat korupsi hingga dugaan pemborosan anggaran. DPR periode 2014-2019 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah reformasi.

Tirto mengevaluasi kinerja DPR 2014-2019 dengan menyigi risalah rapat tiap komisi hingga Desember 2018. Hasilnya, banyak anggota yang super irit bicara, perbincangan yang hanya didominasi isu yang tak substantif, dan parlemen yang terlalu maskulin bagi Indonesia yang masih memiliki banyak persoalan perempuan dan anak.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengeluarkan laporan jongkoknya kinerja legislatif yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo di periode 2014-2019 lalu.

Dari 189 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas lima tahun, mereka hanya berhasil mengesahkan 26 produk legislasi. Dari lima tahun itu, tak ada satu pun yang berhasil mengesahkan RUU di atas 10.

Banyak produksi hukum yang digodok oleh DPR berseberangan dengan keinginan rakyat. September tahun lalu, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa protes besar-besaran di kota-kota besar menolak berbagai RUU yang akan merugikan rakyat: RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, hingga revisi UU KPK.

Sebagian peraturan tersebut akhirnya disahkan. Sebaliknya, beberapa produk legislasi yang didukung dan dianggap mendesak disahkan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Perlindungan Data Pribadi misalnya, malah diabaikan.

Tahun berganti, periode berganti, namun kinerja legislatif tak menunjukkan perbaikan signifikan.

DPR era Puan Maharani juga memicu kontroversi, dari mulai membahas RUU Haluan Ideologi Pancasila hingga RUU Cipta Kerja--produk sapu jagat yang akan menyederhanakan puluhan undang-undang agar lebih pro investasi. Sementara RUU yang mendesak yang gagal di periode sebelumnya juga terkatung-katung.

Bahkan di tengah pandemi pun, saat semua aktivitas berjalan virtual, dalam rapat paripurna pada 14 Juli lalu ada 253 anggota dewan yang bolos. Angka tersebut hampir setengahnya dari total 575 anggota. Logikanya, dengan menetapkan rapat paripurna virtual, para anggota dewan tetap bisa hadir.

Wartawan Tirto telah mencoba meminta konfirmasi kepada dua pimpinan DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad dan Azis Syamsuddin. Namun, hingga Senin sore, tak ada respons sama sekali.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN DPR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino