Menuju konten utama

Tindakan Polisi Dinilai Berlebihan Hadapi Kerusuhan di Wamena

Koalisi Masyarakat Sipil menduga adanya penggunaan peluru tajam ke arah massa hingga menimbulkan korban jiwa dalam kericuhan di Wamena.

Tindakan Polisi Dinilai Berlebihan Hadapi Kerusuhan di Wamena
Sejumlah warga membawa senjata panah berjalan usai kerusuhan massa di Wamena, Papua, Jumat (24/2/2023). ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra/app/foc.

tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Kemanusiaan untuk Papua menyorot penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat saat menghadapi keurusuhan di Wamena. Mereka menduga adanya penggunaan peluru tajam ke arah massa hingga menimbulkan korban jiwa dalam kericuhan di Wamena.

"Kami memandang peristiwa yang menyebabkan jatuhnya 12 korban tersebut telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan saat mengendalikan kerusuhan," kata Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/3/2023).

Penggunaan senjata api dalam penanganan massa memang dimungkinkan, namun penggunaannya harus dilakukan secara ketat dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan standar operasional yang berlaku.

Koalisi mendesak aparat keamanan untuk tak lagi menyakiti perasaan warga sipil di Papua dengan berhenti membunuh orang Papua.

Negara harus belajar dari peristiwa sebelumnya, karena jatuhnya korban jiwa dalam penanganan massa.

Misalnya ketika masyarakat beberapa wilayah di Papua pada 2019 menentang tindakan rasisme aparat keamanan di Surabaya. Dalam peristiwa itu, puluhan orang meninggal dunia.

Pada tahun 1998 pun terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada pelanggaran ham yang berat, yakni kasus Biak Berdarah yang menewaskan 8 orang.

"Ironisnya, kendati penembakan terhadap warga sipil terus terjadi dalam penanganan massa di Papua, hingga saat ini tidak langkah konkret aparat keamanan bahkan aparat keamanan terkesan enggan dalam memutus spiral kekerasan tersebut," terang Isnur.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani menyatakan kericuhan yang terjadi seharusnya dipandang oleh aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai pelanggaran hukum dan direspons dengan penegakan hukum.

Dalam konteks ini, jika ada orang yang diduga melakukan kerusuhan seharusnya dinilai sebagai pelanggaran hukum, sehingga harus direspon dengan penegakan hukum [penangkapan] dan bukan malah menembak (eksekusi).

"Hal tersebut karena negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil," ujar Julius.

Penembakan terhadap kerumunan massa dalam kerusuhan ini dengan dalih mengurai atau membubarkan kerusuhan justru kontraproduktif dan menunjukkan abainya negara dalam menjamin hak tersebut.

Selanjutnya, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat keamanan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF).

Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api merupakan alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia, serta harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Di Indonesia, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional. Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Awal mula kerusuhan terjadi pada 23 Februari 2023, aparat mendapatkan informasi ada mobil tujuan Kampung Yomaima yang ditahan oleh masyarakat di Kampung Sinakma. Diduga sopir mobil tersebut adalah seorang penculik anak.

Ditambah ada isu yang beredar bahwa penculik merupakan orang pendatang. Hal ini membuat kehebohan warga. Lantas suasana memanas. Tanpa melalui konfirmasi, masyarakat mempercayai isu penculikan anak.

Mereka mulai marah lalu membakar ruko dan kios di Kampung Lantipo, serta menyerang polisi yang kala itu berupaya menenangkan warga.

“Saat berusaha menenangkan massa, kami dilempar dengan batu, hingga kami memberikan tembakan peringatan untuk memukul mundur namun tak diindahkan dan massa semakin berulah, sampai membakar beberapa bangunan ruko,” kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ignatius Benny, 24 Februari.

Baca juga artikel terkait KONFLIK WAMENA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto