Menuju konten utama

Timnas Maroko & Talenta Afrika Didikan Kompetisi Sepakbola Eropa

Tak hanya Maroko, tulang punggung timnas di sejumlah negara Afrika lainnya juga adalah para pesepak bola yang matang di Eropa. 

Timnas Maroko & Talenta Afrika Didikan Kompetisi Sepakbola Eropa
Header Mozaik Maroko. tirto.id/Tino

tirto.id - Terletak di sisi selatan Selat Gibraltar, Maroko adalah gerbang dunia yang diimpikan banyak orang.

Menurut catatan Kalsey P. Norman dalam "Between Europe and Africa" (Journal of the Middle East and Africa, 2016), sejak tahun 1990-an, Maroko menjadi negeri utama kaum migran yang hendak ke Eropa secara klandestin, terutama yang berasal dari pelbagai negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Mereka beristirahat di negeri ini sebelum menyeberang ke Eropa melalui rute Tangier atau Melilla di pantai utara Maroko.

Setiap tahun, Maroko didatangi tak kurang dari 30.000 migran sub-Sahara Afrika yang hendak memperbaiki nasib di Eropa. Maka itu, Maroko menjadi elemen penting Uni Eropa dalam mengatasi masalah perbatasan.

Hal ini terutama sejak Morocco Action Plan diperkenalkan pada 1999 dan disahkan Pemerintah Maroko pada 2003, dengan mengalihkan tanggung jawab Uni Eropa tentang perbatasan via sistem "kontrol jarak jauh".

Ini Memberikan kekuatan yang signifikan kepada otoritas Maroko untuk menghalang-halangi kaum migran pindah ke Eropa dengan bayaran senilai €215 juta per tahun.

Uniknya, sebelum menjadi sobat Uni Eropa dalam mengatasi masalah migrasi, Maroko adalah masalah atau "harraga" migrasi itu sendiri bagi Eropa.

Marko Juntunen dalam "Between Morocco and Spain" (disertasi University of Helsinki, 2002) menyebutkan, warga negara Maroko secara sporadis bermigrasi ke pelbagai penjuru Eropa--juga Amerika dan Kanada--sejak 1960-an hingga akhir 1990-an. Ini terjadi karena memuncaknya permasalahan sosial dan politik dalam negeri.

Dalam tahun-tahun tersebut, 500.000 penduduk Prancis, misalnya, merupakan warga negara Maroko. Sejumlah negara Eropa kemudian melakukan upaya-upaya pengadangan terhadap warga Maroko yang hendak hijrah ke tanah mereka. Langkah konkret diwujudkan dalam sejumlah kerja sama migrasi: tahun 1963 (Prancis-Maroko), 1964 (Jerman Barat-Maroko), dan 1968 (Belanda-Maroko).

Karena banyak ditinggal warganya, terutama yang memiliki kemampuan mumpuni, ekonomi Maroko sempat seret. Namun, setelah kondisi sosial-politik kian membaik, serta dukungan Uni Eropa senilai €215 juta per tahun, Maroko akhirnya kembali bergairah. Bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga dalam dunia olahraga.

Khusus olahraga, perubahan ke arah yang lebih baik ini justru dimotori oleh para imigran, kaum diaspora di negeri asing.

Pemerintah Maroko mencanangkan proyek bertajuk "'iieadat almawahib alati tantami 'iilaa alturba" atau "membawa kembali bakat milik tanah air". Mereka mengiming-iming warganya yang berada di negeri, yang berbakat dalam olahraga, dengan uang melimpah.

Selain itu, mereka juga dijanjikan penghormatan terhadap leluhur. Contohnya membiayai dan memproses pemulangan jenazah ayahanda Mohamed Ihattaren sebagai pemain sepakbola di Belanda.

Sebagaimana dilaporkan Gijbert Oonk dalam "Who May Represent the Country" (International Journal of the History of Sport, 2020), hal inilah yang membuat olahraga, khususnya sepakbola Maroko kini berjaya.

Lewat proyek tersebut, 17 dari 23 pemain Timnas Maroko yang berlaga di Piala Dunia 2022 lahir di luar negeri sebagai bagian dari diaspora Maroko. Delapan di antaranya lahir dan besar di Prancis, lima di Belanda, dua di Spanyol, dan satu di Kanada serta Belgia. Hanya enam pemain yang lahir di Maroko.

Secara keseluruhan, 20 dari 21 pemain Timnas Maroko memiliki kewarganegaraan ganda. Ini terjadi karena terdapat perbedaan skema pemberian kewarganegaraan: ius soli (yang lazim diterapkan negeri-negeri Barat) dan ius sanguinis (Maroko).

Masifnya jumlah warga keturunan yang membela Timnas Maroko, membuat Simon Kuper, koresponden olahraga Financial Times, menyebut bahwa "Timnas Maroko tak ubahnya tim asal Eropa."

Karena negara Eropa tempat tinggal mereka berbeda-beda, Timnas Maroko memiliki keunikan tersendiri, seakan-akan memadukan teknik sepakbola ala Prancis, Belanda, dan Spanyol dalam satu kekuatan.

Tentu tak hanya Maroko yang berhasil membangun timnasnya lewat warga mereka yang melakukan migrasi ke tanah Eropa. Hampir seluruh timnas negara-negara Afrika melakukan langkah serupa.

Namun, jika Timnas Maroko dibangun berdasarkan anak-anak yang dilahirkan kaum dispora Maroko di negeri seberang, pelbagai timnas lain di Afrika berbeda. Si pemain sepakbola yang menjadi subjek migrasi dengan menjadi pemain profesional di klub-klub Eropa untuk kembali membawa harta kekayaan dan membela timnas.

Talenta Afrika di Eropa

Berkembangnya sepakbola di Inggris pada tahun 1600-an menjalar ke wilayah-wilayah koloni Inggris seperti Ghana.

Dalam "Go Outside" (African Historical Review, 2010), Paul Darby menyebut bahwa salah satu klub sepakbola profesional pertama di luar Inggris adalah Cape Coast Excelsior yang dibentuk pada 1903 di Ghana (Gold Coast) oleh akademisi kolonial, A. G. Fraser, dengan para pelaut Inggris. Pertandingan pertamanya melawan tim asal Eropa karena tidak ada klub lain di Ghana.

Setelah itu, muncul klub-klub baru seperti Everton Energetic, Sport Swallows, dan Bolton Wanderers. Hal ini mendorong Sir Frederic Gordon Guggisberg sebagai Gubernur Jenderal koloni Inggris di Ghana menggelar Guggisberg Shiled, salah satu kompetisi sepakbola profesional pertama di luar Inggris.

Karena Inggris menguasai sejumlah negara Afrika lainnya, maka sepakbola pun hadir di Mesir, Sudan, Kenya, Uganda, Afrika Selatan, Gambia, Sierra Leone, Somalia, Zimbabwe, Zambia, Bostwana, Nigeria, dan Malawi sejak tahun 1880.

Klub-klub baru lahir, yang tak hanya dibentuk oleh para petugas kolonial, tapi juga para penduduk lokal.

Infografik Mozaik Maroko

Infografik Mozaik Maroko. tirto.id/Tino

Dalam studi Darby lainnya, yakni "Football Academies and the Migration of African Football Labor to Europe" (Journal of Sport & Social Issue, 2007), populernya sepakbola di tengah masyarakat lokal Afrika kemudian menarik hati klub-klub sepakbola Eropa.

Ini bermula dari kebijakan Joao Havelange (Presiden FIFA, menjabat 1974-1998) yang menggelontorkan uang untuk membangun dunia sepakbola di Afrika.

Saat diselenggarakan kompetisi Piala Dunia U-20 dan U-17, "pemain-pemain Afrika memesona klub-klub Eropa," tulis Darby.

Maka sejak 1970-an, terjadi migrasi besar-besaran pemain sepakbola Afrika ke klub-klub Eropa. Mereka digaji dalam jumlah yang tak pernah dirasakan ketika di Afrika.

Sepanjang dekade 1990-an, misalnya, tak kurang dari 350 pemain asal negara-negara Afrika bermain untuk klub-klub Eropa. Negara-negara Eropa yang dituju umumnya memiliki kedekatan sejarah, seperti pemain-pemain asal Angola, Mozambik, Cape Verde, dan Guinea-Bissau yang lebih senang hijrah ke klub asal Portugal.

Di sisi lain, ketertarikan klub-klub Eropa meminang pemain sepakbola asal Afrika tidak hanya disebabkan oleh kemampuan mereka. Melainkan, sebagaimana dipaparkan Chuka Onwumechili dalam buku Africa's Elite Football (2019), pemain asal Afrika lebih murah dibandingkan pemain asal Eropa maupun Amerika Selatan sebagai "ibu kota" talenta-talenta terbaik.

Jika pemain asal Brazil atau Argentina yang hendak direkrut mesti ditebus senilai $20 juta, maka pemain asal Afrika dapat dibeli dengan mahar hanya $1 juta. Dan harganya kian murah jika klub-klub asal Eropa yang hendak memboyong pemain asal Afrika itu merupakan pihak yang mendidik si pemain melalui pembentukan akademi sepakbola.

Hal seperti ini dilakukan Feyenoord dengan membentuk Feyenoord Fetteh Football Academy di Ghana, dan Ajax Amsterdam yang memiliki 51 persen saham Cape Town Spurs (Ajax Cape Town) di Afrika Serlatan.

Masifnya jumlah talenta sepakbola Afrika yang bermigrasi ke Eropa, membuat sejumlah timnas Afrika dibangun dengan kekuatan pemain-pemain asal klub-klub Eropa. Dari 16 timnas yang berlaga dalam African Cup of Nations (AFCON) pada 2002, misalnya, para pemain tersebar dalam 26 liga-non Afrika.

Baca juga artikel terkait TIMNAS MAROKO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Olahraga
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi