Menuju konten utama

Tiga Praktik Politik Uang dalam Pemilu Menurut Susno Duadji

"Politik uang itu menyogok atau membeli tiga hal," ujar Susno.

Tiga Praktik Politik Uang dalam Pemilu Menurut Susno Duadji
Aksi simbolik membakar 1000 amplop tersebut sebagai bentuk penolakan tegas terhadap praktik politik uang menjelang Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Yogyakarta. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/kye/17.

tirto.id - Mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol (Purn) Susno Duadji menyebut sedikitnya ada tiga praktik politik uang yang biasa terjadi dalam Pemilu.

"Politik uang itu menyogok atau membeli tiga hal," ujar Susno dalam diskusi bertajuk "Membongkar Kejahatan Money Politik pada Pilkada 2018: antara Regulasi dan Tradisi", yang diselenggarakan Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), di Jakarta, Selasa (10/7/2018) dilansir Antara.

Menurut Susno, politik uang pertama adalah membeli kursi, dalam bentuk mahar terhadap partai politik.

Kedua, membeli kesempatan dan kekebalan hukum, agar penyelenggara pemilu, saksi dan penegak hukum tidak menyalahkan kegiatan praktik uang yang dilakukannya. Ketiga, membeli suara rakyat.

Ia menegaskan penanggulangan praktik politik uang harus dilandasi adanya kemauan baik dari seluruh pihak untuk menghapuskannya.

Dia mencontohkan, seringkali ada laporan masyarakat kepada panwas soal dugaan politik uang. Namun Panwas kerap mempertanyakan bukti yang dimiliki pelapor.

"Ini terkesan panwas pasif. Panwas jangan meminta bukti, jangan meminta menghadirkan saksi, seperti seorang hakim. Panwas harus bergerak bekerja," ujar Susno.

Dia mengingatkan praktik politik uang hanya akan menghasilkan pemimpin yang selalu membanggakan sisi materi, tidak mencintai rakyat dan selalu berpikir untuk mengembalikan modalnya.

"Kita harus ingat, ketidakbaikan akan berjalan jika orang-orang baik itu diam, maka jika kita merasa sebagai orang baik jangan diam, jangan takut. Paling hanya ditangkap. Saya tiga kali ditangkap tetap gemuk," seloroh Susno.

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan di Jakarta, Selasa (26/6/2018) menegaskan politik uang merupakan kejahatan dalam demokrasi. Karena itu, masyarakat sudah sepatutnya menolak segala praktik pemberian uang yang dimaksudkan untuk mendongkrak suara dalam pemilu tersebut.

"Politik uang adalah kejahatan yang mencederai demokrasi, sedangkan masyarakat merupakan salah satu elemen yang menyukseskan proses demokrasi. Harapan kami, masyarakat ini berpartisipasi (menyukseskan pemilu) dan tidak tergoda, harus berani menolak politik uang," katanya menjelaskan.

Berdasarkan laporan yang diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, kasus politik uang tertinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal itu dikatakan terkait Dugaan Pelanggaran Sementara yang masuk dalam Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Se-Indonesia Tahun 2017-2018 Pada Masa Tenang.

Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, ada 8 kasus politik uang yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian disusul dengan Provinsi Sumatera Utara dan Lampung dengan masing-masing berjumlah 7 kasus.

"Yang tertinggi Sulawesi Selatan, terdapat 8 kasus kemudian menyusul Sumatera Utara dan Lampung yaitu 7 kasus," ucap Ratna Dewi di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (27/6/2018)

Dari beberapa provinsi yang menyelenggarakan Pilkada, total telah terjadi 35 pelanggaran kasus terkait politik uang. Selain Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara ada beberapa kasus terjadi di daerah lain seperti Jawa Tengah yakni 5 kasus, Sulawesi Barat yaitu 2 kasus, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 1 kasus, Banten 2 kasus, Bangka Belitung 1 kasus, Jawa Barat 1 kasus dan Jawa Timur 1 kasus.

Baca juga artikel terkait POLITIK UANG

tirto.id - Politik
Sumber: antara
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani