Menuju konten utama

Tak Semestinya Anak Jadi Solusi untuk Hubungan Beracun

Banyak pasangan urung berpisah karena anak, padahal tumbuh dalam hubungan beracun pun buruk bagi perkembangan mental anak.

Tak Semestinya Anak Jadi Solusi untuk Hubungan Beracun
Header Diajeng Anak Bukan Solusi Hubungan Beracun. tirto.id/Quita

tirto.id - Menikah, membesarkan anak bersama, dan tumbuh menua dengan hanya satu orang.

Begitulah impian umum penganut hubungan monogami. Sayangnya, jalan hidup tak semudah itu. Kerikil-kerikil kehidupan terkadang membawa mereka pada satu keputusan pahit: perceraian.

Selang berjalannya waktu, kehidupan berpasangan bagi sebagian orang nyatanya dirasa tak semanis romansa. Perceraian adalah salah satu jalan yang diambil untuk memulas kembali kebahagiaan satu sama lain.

Namun menapaki jalan perceraian juga tak mudah. Dalam masyarakat kita, pasangan yang memilih berpisah dianggap cacat nilai. Ada stigma-stigma yang akan menempel pada kedua belah pihak karena status janda atau duda, demikian juga keturunan mereka yang tak luput dilabeli sebagai “anak broken home”.

Anak-anak dari keluarga broken home diyakini punya perkembangan mental yang buruk. Sebab, mereka tak mendapat gambaran keluarga utuh dan punya peluang besar mengalami trauma akan relasi romantis di masa depan.

Dari segi ekonomi, perceraian membuat pihak yang mendapat hak asuh harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan anak. Karena tetek bengek persoalan anak itulah banyak pasangan pada akhirnya memilih bertahan meski kehidupan pernikahannya tak lagi harmonis.

“Ibu berpikir bahwa anak akan tumbuh lebih baik bila orang tuanya utuh, jadi dia urung bercerai,” ujar Laksmi Wijayanti (31 tahun). Dia adalah seorang anak yang tumbuh dalam asuhan keluarga broken home.

Laksmi lahir dari orang tua yang tidak punya kecocokan sejak awal menikah. Hari-hari Laksmi dibesarkan penuh dengan percekcokan dan kekerasan fisik antara ayah-ibunya. Sisa-sisa luka dan lebam di tubuh sang ibu belum cukup jadi alasan bercerai, sampai ayahnya menikah lagi dan memaksa poligami sepihak.

Header Diajeng Anak Bukan Solusi Hubungan Beracun

Header Diajeng Anak Bukan Solusi Hubungan Beracun. foto/IStockphoto

“Mereka baru bercerai tahun 2007 lalu. Tapi itupun saya sudah lega luar biasa,” tutur Laksmi. Perpisahan itu telah memutus rantai stres dan depresi yang ia dan ibunya rasakan.

Untuk sampai ke sebuah keputusan bercerai, orang tua Laksmi butuh waktu berpikir panjang. Bercerai memang bukan keputusan mudah, apalagi bagi banyak orang pernikahan adalah ritual sakral yang tak boleh dinodai. Walhasil, banyak pasangan memilih bertahan.

Ulasan dalam Psychology Today membahas alasan-alasan mengapa ada pasangan yang tetap bertahan di pernikahan toksik. Selain mayoritas karena anak, menghindari perebutan hak asuh dan sebagainya, ada juga yang beralasan demi kestabilan ekonomi.

“Tekanan ekonomi selama resesi membuat mereka takut kehilangan asuransi kesehatan dari pasangan dan perlindungan jaminan sosial.”

Sisanya berkutat dengan masalah agama dan rasa enggan berurusan dengan pengacara serta birokrasi pengadilan yang panjang. Beberapa prinsip dari keyakinan tertentu melarang perceraian, atau setidaknya keras menganjurkan pemeluknya tidak melakukan hal tersebut.

Entah itu demi anak atau bukan, kenyataannya fenomena ini umum terjadi di banyak keluarga.

Gracia Stephanie, psikolog ibunda.id—platform penyedia layanan kesehatan mental di Indonesia—mengungkap soal peluang rujuk pasangan dengan alasan khusus, utamanya anak.

Memang pernikahan bisa saja berlanjut, tapi tentu tidak lagi hangat, dan sulit dipertahankan dalam jangka panjang.

“Bertahanlah karena komitmen. Jangan cuma buat status tapi semua harus berproses jadi lebih baik, komunikasi, relasi,” kata Gracia.

Teori segitiga cinta dari Robert J. Sternberg mengemukakan tiga komponen cinta, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Hubungan berpasangan akan terasa pincang jika salah satu dari ketiganya hilang.

Maka, untuk melekatkan kembali benang rumah tangga yang telah kusut, pasangan harus mengurai terlebih dulu akar masalah mereka. Kemudian saling introspeksi, mengakui kesalahan, siap meminta maaf, dan memaafkan. Jika sulit mengawalinya, pertimbangkan meminta bantuan profesional seperti psikolog.

Tahap selanjutnya, lihat tanda-tanda trauma pada anak. Jika mereka jadi sering menangis, gampang marah, atau nilai-nilainya merosot, artinya mereka pun butuh bantuan. Bawa anak untuk konseling agar luka masa kecilnya bisa diobati.

Anak broken home identik melekat pada mereka yang tumbuh sebagai anak dengan berbagai gangguan mental, kurang kasih sayang, dan buruk dari sisi pendidikan. Tak mau anak tumbuh menjadi pribadi demikian, sebisa mungkin orang tua berusaha menghadirkan gambaran utuh keluarga bagi anaknya.

Meski berdarah-darah, peluang untuk tetap bersama terus dicoba. Hingga hal yang luput mereka pertimbangkan, bahwa tumbuh dalam hubungan beracun pun buruk bagi perkembangan anak. Ada banyak contoh di luar sana yang menunjukkan bahwa perceraian justru jadi jalan bagi pasangan dan anak untuk kembali waras.

Header Diajeng Anak Bukan Solusi Hubungan Beracun

Header Diajeng Anak Bukan Solusi Hubungan Beracun. foto/IStockphoto

“Saat ini, masing-masing orang tua saya jauh lebih berbahagia (setelah bercerai). Saya juga belajar menerima dan memaafkan, mereka dan saya berhak bahagia,” Primadita Rahma (29 tahun) mengawali cerita tentang dirinya dan keluarga baru.

Dita pernah menjalani hari-hari penuh tekanan sama seperti Laksmi. Untung saja ibunya cepat sadar dan mengajukan cerai. Kini baik ibu maupun ayahnya telah menjalani kehidupan baru dengan keluarga masing-masing.

Mental Dita pelan-pelan membaik, ia tumbuh jadi anak berprestasi dan yang terpenting, tak perlu lagi mendengar ribut-ribut di rumahnya.

“Anak memang bisa berperan memperbaiki hubungan, tapi jika alasannya hanya itu maka komunikasi pasangan akan tetap jelek dan tegang secara emosi,” Gracia kembali menegaskan pentingnya komitmen ketika memilih rujuk.

Anak-anak yang dibesarkan dalam hubungan beracun tetap bisa merasakan ketakutan, stres, dan trauma. Pertumbuhan mental dan otaknya berpotensi terganggu karena merasa tidak aman secara emosional dan terpapar stres tingkat tinggi.

“Anak cenderung sering bertengkar, kemampuan sosialnya kurang, dan mungkin saja berpengaruh saat punya relasi lawan jenis karena mereka tidak melihat contoh solusi dan kompromi dalam keluarga,” lanjut Gracia.

Memang, ketika menjadikan anak sebagai alasan damai maka struktur keluarga tak berubah sehingga anak tak perlu beradaptasi ulang. Kondisi ekonomi juga mungkin tetap sama, jadi beban rumah tangga bisa dibagi berdua.

Tapi perseteruan yang berlanjut dalam rumah tangga juga tak lebih baik dari perceraian—sama-sama memengaruhi pola asuh anak.

Kasih sayang seperti apa yang diharapkan dari orang tua yang energinya sudah habis untuk masalah kerja dan pasangan?

* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 25 Agustus 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait RUMAH TANGGA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf & Yemima Lintang