Menuju konten utama

Tidak Perlu Kekuatan Super untuk Membantu Para Pahlawan

Saat pandemi, pahlawan adalah para pekerja sehari-hari yang jauh dari karakter super rekaan Stan Lee.

Tidak Perlu Kekuatan Super untuk Membantu Para Pahlawan
Ilustrasi Memberikan Bantuan. foto/istockphoto

tirto.id - “Tidak semua pahlawan super mengenakan jubah.”

Kalimat populer yang sering dipakai untuk menggambarkan orang-orang biasa yang jadi pahlawan itu kini terasa makin relevan. Sama seperti kisah-kisah pahlawan super di komik dan film, dunia sekarang sedang berada di masa krisis.

Mari mengandaikan pandemi adalah musuh besar yang sukar dikalahkan. Dia sudah membuat banyak negara pontang-panting, menelan ratusan ribu korban jiwa, dan membuat lebih dari 3 juta jiwa lainnya berada dalam bahaya.

Yang kemudian membuat kondisi ini berbeda dengan dunia film adalah siapa yang jadi pahlawannya. Di film dan komik, narasi pahlawan nyaris selalu seragam: mereka yang punya kekuatan super, punya sumber daya berlimpah, atau mereka yang keturunan dewa. Pahlawan adalah mereka yang berada di garis depan pertempuran ketika musuh menyerang.

Menurut Ensiklopedia Britannica, pahlawan super adalah mereka yang punya kemampuan “…manusia super”, dan prototipe-nya adalah Superman, manusia super dari angkasa luar yang punya aneka macam kemampuan luar biasa: terbang, bisa mendengar dari jarak jauh, anti peluru, hingga sanggup mengeluarkan laser dari matanya.

Stan Lee, pria yang banyak menciptakan karakter pahlawan super, pernah menulis dalam What is Superhero (2013), bahwa pahlawan super adalah, “orang yang melakukan tindakan heroik, dan punya kemampuan untuk melakukan tindakan itu, ketika manusia biasa tidak bisa. Jadi, untuk menjadi pahlawan super, kamu perlu kekuatan yang lebih besar ketimbang kekuatan manusia biasa.”

Di dunia nyata, terutama sejak pandemi menyebar, narasi pahlawan perlahan berubah. Kini, mereka yang dianggap pahlawan adalah orang-orang biasa, para pekerja sehari-hari, yang terasa jauh dari karakter pahlawan super seperti yang digambarkan oleh Stan Lee.

Majalah Time membuat laporan-laporan panjang nan bernas tentang para pahlawan yang ada di garis depan dalam pertempuran melawan pandemi. Di sana ada kisah para pekerja kesehatan, petugas koroner, pengemudi ambulans, pekerja supermarket, hingga sopir bus.

“Ini adalah kisah tentang para pekerja pemberani yang mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan nyawa kita,” tulis Time.

Kenapa para pekerja biasa ini menjadi pahlawan?

Jelas, sebab mereka berada di jalan, tetap bekerja di luar sembari mempertaruhkan nyawa, ketika sebagian besar orang harus tetap tinggal di rumah. Tanpa para pekerja ini, dunia akan berhenti berputar.

Bayangkan kalau para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan memutuskan untuk tidak mau bekerja dan memilih tinggal di rumah. Korban jiwa akan terus berjatuhan tanpa ada yang bisa mencegah. Begitu pula dunia tanpa pekerja transportasi umum, pegawai supermarket, hingga para pedagang. Dunia bisa tinggal menanti masa keambrukan.

Niat Murni Melakukan Kebaikan

Di Indonesia, hal serupa juga terjadi. Mulai banyak orang yang menyadari arti penting para pekerja sehari-hari. Ini termasuk driver ojek online, pekerja informal, hingga tenaga kesehatan. Tiga pekerja di sektor ini memang amat membantu para mereka yang berdiam diri di rumah.

Para pengemudi transportasi daring sangat membantu pengiriman barang hingga pemesanan makanan. Mereka membantu industri rumahan dan industri makanan untuk tetap bisa bertahan. Para pengemudi ini juga mempertaruhkan nyawa, karena masih harus bertemu dengan banyak orang.

Para pekerja informal juga tak kalah membantu. Mereka yang berjualan makanan, gorengan dan aneka kudapan, juga para pekerja minimarket atau pedagang kecil, tetap melayani mereka yang mesti tetap bekerja di luar rumah.

Kemudian para tenaga kesehatan yang amat berisiko terpapar penyakit menular. Bisa dibilang mereka adalah pekerja yang paling rentan terpapar virus. Namun, mereka tetap bekerja dan mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang lain, persis seperti apa yang ditulis Time. Meski amat berpengaruh dan berjasa, tiga sektor pekerja ini juga kerap kali diabaikan. Sering mereka tidak mendapat asupan makanan bergizi yang cukup, tak mendapat penghasilan yang layak, dan tak mendapat perlindungan berarti dari virus.

Ini pula yang mendorong Bear Brand melakukan penggalangan dana bertajuk #NiatMurni untuk tiga kelompok pekerja ini. Berkolaborasi dengan Kita Bisa, dana yang terkumpul ini akan didonasikan dalam jenis bantuan yang berbeda. Untuk pengemudi online dan pekerja informal akan mendapatkan paket sembako berisi kebutuhan dasar sehari-hari. Sedangkan bagi para pekerja kesehatan, akan ada dukungan berupa paket makanan bernutrisi, susu Bear Brand, dan vitamin.

Untuk program NiatMurni, Bear Brand mengajak tiga orang pekerja kreatif: Arief Muhammad, yang merupakan penulis best seller dan pembuat konten; Isyana Sarasvati, seorang musisi muda dengan jam terbang tinggi; serta pasangan muda Ayudia dan Ditto, yang dikenal berkat buku Teman Tapi Menikah yang kemudian diangkat ke layar lebar.

“Berbeda dengan Ramadan di tahun-tahun sebelumnya,” ujar Isyana, “kita harus menjalankannya dari rumah.”

“Akan tetapi, semua gak akan mungkin kita lewati tanpa mereka yang berjuang di luar sana. Di saat puasa, di tengah semua kesulitan ini, mereka tetap terus jalanin niat murninya bekerja demi orang tersayang dan demi kita semua agar tetap aman di rumah,” tambah Arief.

“Kami semua mengajak kalian semua untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka dan ikut aktif mendukung dengan ikut berbagi melalui program kolaborasi kami, Bear Brand, dan Kita Bisa,” ujar Ditto dan Ayudia.

Untuk melakukan donasi, klik tombol Donasi Sekarang yang ada di laman Kita Bisa. Ada tiga pilihan donasi, untuk para pekerja medis, pekerja informal, juga pengemudi online. Kamu bisa memilih salah satu, atau juga bisa berdonasi untuk tiga pekerja sekaligus. Setelah pilih Donasi Sekarang, kamu tinggal masukkan nominal donasi, dan pilih metode pembayaran. Semudah itu ikut berdonasi dan membantu para pahlawan yang membantu kita melewati hari-hari sulit ini.

Dan kalimat di awal itu terasa makin relevan; tak perlu jubah dan kekuatan super untuk bisa membantu para pahlawan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis

Artikel Terkait