Menuju konten utama

Tidak Merdeka Belajar di Rumah: Gawai Mahal, Beli Radio Tak Mampu

Implementasi program belajar di rumah tak maksimal. Sebagian orang tua tak punya biaya untuk sekadar beli radio, apalagi ponsel.

Guru dan siswa melakukan kegiatan belajar mengajar luar jaringan (luring) dengan metode "home visit" di rumah siswa di Tulungagung, Jawa Timur, Senin (27/7/2020). (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/wsj)

tirto.id - Warga kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian bermata pencaharian petani dengan pendapatan yang minim. Maka, ketika Pemerintah Daerah Sikka menginisiasi pembelajaran dari radio karena akses internet lemah, hal itu tak membantu banyak.

Kepala Dinas Pendidikan Mayela da Cunha mengatakan sistem pembelajaran lewat Radio Suara Sikka milik pemda dipandu oleh beberapa guru SD dan SMP yang berkompeten. Harapannya, agar anak-anak langsung paham. Dinas juga membagikan jadwal kepada orang tua, sehingga ikut menjaga anaknya agar tidak keluar rumah pada saat jam pelajaran.

"Bagi siswa yang tak mendapatkan siaran radio, para guru akan menyalin materi, kemudian dibagi ke para murid. Selain itu, merekam video sehingga bisa ditonton oleh para murid di daerah terpencil," kata Mayela.

Paulus Moda, 56 tahun, salah satu orang tua murid yang juga bekerja sebagai petani, mengatakan ia tak mampu membeli internet, pun dengan radio handy talky, meski rumahnya terjangkau frekuensi radio.

"Kami tak bisa membeli radio karena penghasilan pas-pasan. Dengan program dari Pemkab Sikka ini jujur saya dan warga di sini khususnya anak-anak kami tak bisa belajar seperti biasanya," kata Paulus kepada Antara, Senin (27/7/2020).

Karenanya, ia tak mampu berbuat banyak melihat anak-anak di kampungnya membantu orang tua di kebun daripada belajar seperti siswa dari daerah lain.

"Kami juga berharap anak-anak bisa sekolah seperti biasa lagi, tetapi mau bagaimana lagi," ujarnya.

Di Provinsi Papua, karena lemahnya jaringan internet, sejumlah guru memutuskan mengajar dengan sistem tatap muka secara bergantian. Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Papua Christian Sohilait mengatakan pada hari tertentu siswa kelas 1 masuk, hari berikutnya ganti siswa kelas 2, begitu seterusnya berselang-seling agar mengurangi jumlah pertemuan demi mencegah penularan virus Corona kepada anak-anak.

"Tetap penerapan protokol kesehatan selalu diprioritaskan sehingga jangan sampai anak-anak ini terpapar COVID-19," ujarnya.

Pembelajaran Daring Tak Efektif

Di Pulau Jawa, tempat sebagian besar jaringan internet tersedia, juga ada kendala belajar di rumah. Siswa di SDN 4 Muara Ciujung Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, belajar di rumah salah satu guru secara bergiliran.

Pembelajaran secara daring dinilai tak efektif, apalagi saat pelajaran berhitung dan membaca, selain orang tua tak mampu beli gawai dan kuota internet.

Seorang guru SDN 4 Muara Ciujung, Heti, menyulap rumahnya sekolah bagi siswa 'tuna-internet'. Mereka belajar bergantian antara lima sampai tujuh anak per hari dari 30 siswa kelas 3 yang diampunya. Anak dan guru wajib memakai masker dan menjaga jarak demi mencegah penularan wabah.

Inovasi Heti bikin bungah Rosita, 40 tahun, salah satu wali murid. Anaknya yang kelas 3 belum mampu baca hitung, apalagi pakai gawai berbasis Android. Di tengah lamanya anak sekolah libur selama pandemi, kehadiran kelas tatap muka dinilai mampu menggairahkan semangat belajar.

"Kami datang ke rumah guru meski menempuh jarak 1,5 kilometer bersama anak untuk belajar di sini," kata Rosita.

Menurut Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, disparitas pembelajaran daring telah berdampak serius terhadap anak.

"Banyak anak tidak bisa mengakses pembelajaran jarak jauh secara daring, sehingga banyak dari mereka yang tidak naik kelas sampai putus sekolah," kata Retno. Ada pula yang stres hingga putus sekolah, padahal sekolah sudah diminta tidak mengejar target ketuntasan kurikulum.

Di antara semua, anak berkebutuhan khusus-lah yang paling terdampak dari sistem pembelajaran daring, katanya.

Retno lantas meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah kurikulum sehingga adaptif terhadap situasi pandemi. Ia juga meminta pemerintah membuat kebijakan yang peka terhadap karakteristik masing-masing daerah.

Dana BOS Boleh untuk Kuota Internet

Pemerintah tidak diam saja. Setelah pandemi berlangsung beberapa bulan, Kemdikbud mengubah peraturan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 19 tahun 2020.

Pasal yang diubah yakni 9A Permendibud 19/2020. Bunyinya, dana BOS bisa untuk “..pembiayaan langganan daya dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf g dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah..”

Implementasinya, menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Padmaningrum, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing sekolah. Karena terbatas, di daerah tersebut belum ada anggaran khusus buat menyubsidi internet, katanya.

Anggota DPRD Jawa Tengah, Yudi Indras Wiendarto, juga meminta ada mata anggaran dana BOS dari pemerintah pusat dan daerah khusus untuk membeli gawai.

Bagaimanapun, kebijakan Kemdikbud ini jelas belum cukup. Buktinya adalah kasus-kasus yang disebut di atas, dari mulai Lebak, Sikka, hingga Papua.

Baca juga artikel terkait BELAJAR DI RUMAH

tirto.id - Pendidikan
Sumber: Antara
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino
-->