Menuju konten utama
Periksa Fakta

Tidak Benar Sinar UV Melindungi Indonesia dari Varian Omicron

Radiasi UV C sepenuhnya disaring oleh lapisan ozon sehingga tidak bisa tembus ke bumi.

Tidak Benar Sinar UV Melindungi Indonesia dari Varian Omicron
Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Beberapa hari lalu pada 18 Desember 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI kembali mendeteksi dua pasien terkonfirmasi positif COVID-19 varian Omicron di Tanah Air. Penemuan ini membuat total kasus positif varian ini menjadi tiga orang per Jumat (17/12/2021), menurut Kemenkes.

"Dua pasien terkonfirmasi terbaru adalah IKWJ (42) laki-laki, perjalanan dari Amerika Selatan serta M (50) laki-laki perjalanan dari Inggris. Saat ini keduanya sedang menjalani karantina di Wisma Atlet," kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Siti Nadia Tarmizi melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (18/12/2021).

Siti Nadia juga mengatakan dua pasien tersebut merupakan hasil pemeriksaan sampel dari lima kasus probable Omicron yang baru kembali dari luar negeri.

Di antara kasus Omicron yang sudah terdeteksi di Indonesia, klaim-klaim tentang varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 ini kerap bermunculan. Kali ini, sebuah klaim dibagikan oleh akun Facebook Nanik Zakia R, yang disebarkan Putra Jombang, melalui teks (tautan, arsip) dan akun Angelus Solapung II melalui video (tautan, arsip). Kedua akun tersebut membagikan informasi yang disebut berasal dari Dahlan Iskan, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menurut unggahan itu, Indonesia lebih tahan terhadap varian Omicron sebab Indonesia bercuaca panas dan tingkat sinar ultraviolet (UV) di Indonesia juga tinggi. Sinar UV di Indonesia tinggi disebabkan berada di garis khatulistiwa. Lalu, disampaikan pula di unggahan-unggahan tersebut bahwa indeks sinar UV paling tinggi terdapat di Papua, yakni sampai 12. Sementara itu, daerah Jawa disebut memiliki indeks sinar UV sebesar 8 hingga 10. Ini disebut lebih tinggi dari banyak negara lain, termasuk Inggris dan daerah panas di Amerika Serikat (AS) seperti Texas, yang indeks sinar UV-nya hanya 4.

Periksa Fakta Sinar UV di Indonesia

Periksa Fakta Tidak Benar Sinar UV Melindungi Indonesia Dari Varian Omicron. (Screenshot/Facebook/Angelus Solapung)

Dahlan juga menyebut asal usul kenapa varian ini dinamakan Omicron. Menurut beliau, penamaan varian Omicron didasarkan pada planet/bintang ke 15, sementara varian Omicron sendiri diberi nama tersebut karena merupakan varian virus penyebab COVID ke-15 yang ditemukan, sehingga namanya perlu dimulai dari huruf O.

Dahlan juga menyebutkan informasi mengenai efek sinar UV terhadap virus penyebab COVID-19 ini ia peroleh dari Indro Cahyono. Menurut Indro, hal ini tidak sengaja ditemukannya ketika sedang meneliti virus di laboratorium. Virus-virus tersebut mati karena Indro lupa mematikan lampu UV, namun tidak dijelaskan berapa lama virus ditinggalkan dengan cahaya UV. Pada tulisan yang disebarkan Nanik, Indro juga disebut mengulangi percobaan ini di alam terbuka dengan hasil yang sama.

Lalu, benarkah klaim-klaim yang disebutkan?

Penelusuran Fakta

Tirto menyaksikan video yang berisi wawancara dengan Dahlan Iskan tersebut. Awalnya kami meragukan informasi tersebut berasal dari Dahlan Iskan. Namun, video yang sama juga dibagikan di akun Instagram @jambiekspres (tautan) dan akun Tiktok @jambiekspres (tautan, arsip). Jambi Ekspres sendiri merupakan salah satu media di bawah Jawa Pos News Network (JPNN) milik Dahlan.

Kami melakukan konfirmasi pada Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, mengenai klaim-klaim yang disebut Dahlan, terutama mengenai sinar UV yang bisa membunuh virus penyebab COVID-19, utamanya varian Omicron. Menanggapi hal itu, dr. Siti Nadia menyanggah klaim tersebut.

"Tidak ada hubungannya penyebaran Omicron dengan tingkat sinar ultraviolet di Indonesia. Omicron sendiri pertamakali terdeteksi di Afrika Selatan yang punya cuaca panas seperti Indonesia," ujar dr. Siti Nadia melalui pesan singkat pada Rabu (22/12/2021).

"Yang jelas varian apapun bisa dicegah dengan vaksinasi, penerapan protokol kesehatan yang ketat dan deteksi dini kalau ada keluhan. Banyak masyarakat yang lebih percaya hoaks dan misinformasi, itu sebabnya edukasi harus terus dilakukan agar kejadian Juli kemarin tidak terulang," tambahnya.

Pada Juli 2021, kasus positif COVID-19 di Indonesia melonjak tajam, bahkan mencapai penambahan harian sebesar 56.757 pada 15 Juli 2021. Sepanjang 1-29 Juli 2021, angka kematian terus melonjak, bahkan sejak 16 Juli penambahan kematian karena COVID-19 selalu di atas 1.000 orang.

Kami juga mengecek bagaimana Omicron mendapatkan namanya. Berdasarkan laman resmi organisasi kesehatan dunia WHO, penamaan varian didasarkan pada alfabet Yunani. Hal ini agar memudahkan publik dan berbagai pihak memahaminya. Contohnya, varian yang muncul di India lebih populer disebut Delta, ketimbang nama ilmiahnya B.1.617.2.

WHO sendiri melewatkan alfabet “NU” dan “Xi” dan langsung melompat ke Omicron. “Sementara ‘Nu’ terlalu mudah disalah artikan sebagai ‘New’ atau baru, ‘Xi’ dilewatkan karena sering digunakan sebagai nama belakang,” menurut juru bicara WHO, Tarik Jasarevic, seperti dilaporkan New York Times.

Sementara mengenai sinar UV sendiri, menurut laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sinar UV merupakan bagian gelombang elektromagnetik dari energi radasi matahari dengan panjang pita 100-400 nm. Sinar UV sendiri dibagi lagi menjadi UV A, UV B, dan UV C, yang memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda.

Pada saat memasuki atmosfer, hampir seluruh UV C akan tertahan pada lapizan ozon dan 90 persen dari UV B akan diserap oleh ozon, uap air dan gas lain yang ada di atmosfer. Adapun UV A sebagian besar akan dapat mencapai permukaan bumi. Dengan demikian, dari total sinar ultraviolet yang dikandung radiasi matahari saat sampai permukaan bumi adalah UV A (90-99%) dengan sedikit UV B (<10%).

Menurut laman BMKG juga, indeks UV adalah angka tanpa satuan untuk menjelaskan tingkat paparan radiasi sinar ultraviolet yang berkaitan dengan kesehatan manusia. Dengan mengetahui indeks UV, kita bisa memantau tingkat sinar ultraviolet yang bermanfaat dan yang dapat memberikan bahaya.

Misalnya, indeks UV 1-2, yang ditandai warna hijau, masuk kategori risiko bahaya rendah dan orang bisa hanya mengenakan kacamata hitam di hari cerah dan menggunakan tabir surya SPF 30+.

Di sisi lain, indeks UV 8-10, yang ditandai warna merah, masuk ke kategori risiko bahaya sangat tinggi. Bahaya tinggi ini utamanya bagi orang yang terpapar matahari tanpa pelindung. Perlu tindakan pencegahan ekstra karena kulit dan mata dapat rusak rusak dan terbakar dengan cepat. Orang-orang di daerah dengan indeks UV 8-10 harus meminimalkan waktu di bawah paparan matahari antara pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore, menurut laman itu.

Adapun indeks UV di atas 11, yang ditandai warna ungu, artinya risiko bahaya sangat ekstrim. BMKG menghimbau bahwa diperlukan semua tindakan pencegahan untuk orang-orang di daerah dengan indeks UV ini karena kulit dan mata dapat rusak dan terbakar dalam hitungan menit.

Menurut data BMKG yang divalidasi per 22 Desember 2021, pada pukul 10, memang daerah pulau Jawa berwarna kemerahan (indeks UV 8-10), sementara Papua dan Papua Barat berwarna ungu (indeks UV 11 ke atas).

Kemudian, situs kesehatan Healthline pernah menjelaskan apakah sinar UV dapat membunuh virus Corona. Healthline kembali menyebut tipe-tipe sinar UV; yakni UV A, UV B, dan UV C. Sinar matahari sendiri termasuk dalam UV A, yang memiliki energi paling rendah. Ketika kita terkena sinar matahari, kita terpapar sinar UV A.

Sementara sinar matahari mengandung sebagian kecil sinar UV B. Jenis sinar ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan kulit merah karena terbakar sinar matahari (sunburn) dan bisa pula menyebabkan kanker kulit.

Lalu, sinar UV C yang memiliki paling banyak energi. Namun seperti yang disebut BMKG juga, UV C yang berasal dari sinar matahari sendiri kebanyakan sudah disaring oleh lapisan ozon, sehingga kita tidak terpapar secara langsung oleh sinar ini. Sinar UV C ini adalah jenis sinar UV yang paling efektif membunuh kuman. Ia dapat digunakan untuk mendisinfeksi permukaan, udara, dan cairan.

Sinar UV C membunuh kuman, seperti virus dan bakteri, melalui molekul yang merusak asam nukleat dan protein. Hal ini membuat kuman tidak mampu melakukan proses yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Menurut Badan Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA), hingga saat ini keefektifan berbagai jenis lampu sinar UV C untuk menonaktifkan virus SARS-CoV-2 masih belum diketahui. Sebab data yang tersedia masih terbatas terkait panjang gelombang, banyaknya UV C yang dibutuhkan, hingga durasi paparan UV C yang diperlukan untuk menonaktifkan virus SARS-CoV-2.

FDA juga mengingatkan bahwa secara umum sinar UV C tidak dapat menonaktifkan virus atau bakteri kalau tidak ada paparan langsung terhadap UV C, misalnya jika pada permukaan itu terdapat debu atau tanah, atau virus berada di permukaan berpori maupun berada di bagian bawah sebuah permukaan.

Kemudian, kebanyakan lampu rumahan mengandung sinar UV C yang kecil, jadi dibutuhkan waktu lebih lama untuk membunuh virus.

FDA juga memaparkan, UV C biasanya digunakan di dalam saluran udara untuk mendisinfeksi udara. Ini adalah cara teraman untuk menggunakan radiasi UVC karena paparan UVC langsung ke kulit atau mata manusia dapat menyebabkan cedera.

Hal serupa juga disampaikan pendiri komunitas Partner Sehatku, Dokter Mutiara Lirendra pada Mei 2021 ketika terdapat klaim bahwa ‘Alat Sterilisasi dengan Sinar UV C dapat membunuh virus Corona’.

Mutiara menjelaskan bahwa perangkat sterilisasi dengan sinar UV C memang dapat membunuh bakteri dan virus, namun dengan pengkondisian tertentu.

"Pada dasarnya perangkat dengan sinar UV C sering dipakai di rumah sakit untuk mensterilisasi alat-alat medis," kata Mutiara melansir Antara. Mutiara juga menjelaskan, sinar UV C merupakan sinar ultraviolet dengan gelombang paling pendek namun tingkat energi tertinggi. Radiasi UV C sepenuhnya disaring oleh lapisan ozon sehingga tidak bisa tembus ke bumi.

Sinar UV C tidak bisa didapatkan secara alami dari sinar matahari melainkan harus direkayasa menggunakan alat tertentu. Mutiara juga menyampaikan, “Sinar UV C bisa berbahaya jika mengenai kulit atau mata. Oleh sebab itu, harus dipastikan perangkat benar-benar aman."

Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa kasus varian Omicron tidak terdeteksi di Indonesia barangkali karena testing yang masih rendah di negara ini. Selama 7 hari terakhir (pantauan pada 22 Desember 2021), menurut Our World in Data, jumlah tes COVID-19 di Indonesia adalah 700 per 1 juta penduduk. Sangat berbeda dengan Malaysia yang jumlah tesnya mencapai 3.820 per 1 juta penduduk dan Singapura dengan 3.050 per 1 juta penduduk.

Sementara itu, jumlah kasus varian Omicron di Malaysia sebanyak 13 kasus (per 18 Desember 2021) dan Singapura sebanyak 65 kasus (per 22 Desember 2021). Sementara jumlah tes harian tentunya menentukan bagaimana deteksi varian dapat dilakukan lebih cepat.

Perlu pula diketahui bahwa Singapura dan Malaysia juga terletak di sekitar garis khatulistiwa, meskipun tidak terlewati langsung oleh garis khatulistiwa seperti Indonesia. Melihat tetap adanya kasus-kasus positif varian Omicron di negara-negara ini, klaim bahwa lokasi di sekitar garis khatulistiwa dapat menyelamatkan kita dari varian Omicron kurang tepat.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa klaim yang menyebut bahwa sinar UV dapat melindungi dari varian Omicron bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).

==============

Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Baca juga artikel terkait OMICRON INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty