Menuju konten utama

Tiada Hari Libur bagi Kematian

Mereka bekerja dengan dedikasi. Melihat mayat hancur, menangani jenazah berjam-jam, mengantar dan menjemput korban kematian dari lokasi kejadian hingga ke rumah almarhum. Karena merekalah, sebagian urusan hidup kita dipermudah.

Tiada Hari Libur bagi Kematian
Petugas pemulasaran DKI Jakarta sedang menerima telepon dari petugas kepolisian dikantor dinas Pertamanan dan Pemulasaran DKI Jakarta pada 31-12-2016. Foto/Tirto/Dieqy Hasbi

tirto.id - Saya baru saja duduk di salah satu kursi Ruang Kerja Pemulasaraan Jenazah ketika seorang petugas menarik tangan saya untuk jadi bagian dari lelucon malam tahun baru mereka. “Ayo, sini sebentar, saya kenalkan dulu sama pocong cewek cantik di dalam,” kata M. Luthfi, petugas bagian sopir mobil jenazah, pada Sabtu malam, 31 Desember 2016.

Pasrah dan memejamkan mata, saya mengikuti ajakannya. “Buka matanya,” kata Luthfi. “Itu dia ada di pojok samping kiri tivi. Pasti kamu bisa lihat.” Dia terkekeh saat saya tiba di pintu masuk ruang istirahat para pegawai.

Ternyata pocong itu patung plastik perempuan terbungkus kain kafan. Tri Nurcahya, 35 tahun, petugas pemulasaraan bagian administrasi, bercerita bahwa pocong yang ditaruh dengan posisi berdiri itu hasil praktik pemulasaraan jenazah beberapa minggu lalu.

Mereka berdua ditemani petugas lain, Rosid dan Ervan, di malam tahun baru. Semestinya ada sembilan hingga tiga belas petugas yang biasa bekerja di lantai dua dari gedung Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta itu. Tetapi, mungkin karena malam pergantian tahun, hanya ada delapan petugas yang tersisa untuk melayani seluruh warga Kota Jakarta. Saya mendatangi lokasi kerja para petugas yang merawat jenazah di Jakarta Barat ini selepas isya. Jalanan masih lengang. Suasana gelap di halaman parkir, begitu pula pos satpam. Di belakang pos, ada ambulans yang pintunya terbuka dan ada keranda yang baru dicuci.

Para petugas hari itu sudah menerima enam panggilan telepon sejak pagi. Mulai dari menjemput jenazah di rumah sakit umum daerah Cengkareng, Kalideres, Kembangan, rumah sakit Pelni, serta penemuan mayat mengapung tanpa identitas di kawasan Cipayung dan Tanggul Kalijodo.

Luthfi agaknya orang yang paling senang bercanda. “Kalau di sini memang gitu, ceng-cengan. Tapi kalau di lapangan, kita solid,” ujar Tri.

Telepon berdering tepat pukul 8 malam lewat 20 menit. Ruangan yang semula ramai berubah hening.

“Halo, selamat malam.” Tri mengangkat telepon di meja samping kiri dari tempatnya duduk. Suaranya mendadak lembut dan tenang.

“Malam, Bapak.”

“Rumah Sakit Tarakan?”

“Sebentar. Dengan siapa ini? Oh, Rian Saputra.” Dia mencari-cari bolpoin di rak alat tulis. Dia melanjutkan, “Almarhum namanya siapa? Perempuan umur berapa, Pak? Agama? Meninggal tanggal 31 ya, Pak? Mau dibawa ke mana?”

“Setengah jam kali, Pak. Sudah mulai macet, nih. Tolong ditunggu ya, Pak. Disiapkan saja surat-suratnya.”

Dari kamar mandi, Luthfi mendekat ke meja Tri. Tanpa banyak omong, dia sigap mengambil dua lembar kertas kuning dan putih yang disodorkan Tri. Belum sampai 30-an menit lalu Luthfi beristirahat usai mengantar mayat di kawasan Kalijodo ke Polsek Tambora. Kini dia harus kembali merayap ke jalanan Jakarta menjelang pesta kembang api tahun baru.

“Kamu harusnya ikut naik mobil. Biar tahu,” kata Luthfi kepada saya. “Tapi nanti saja. Tunggu yang bawa jenazah yang bukan BPJS.” Dia pergi menjauh dari pintu masuk.

Maksud Luthfi, saya perlu melihat mayat dari korban pembunuhan atau kecelakaan atau semacamnya, bukan jenazah dari pasien yang dirawat di rumah sakit atau di rumah. Menyaksikan langsung sesosok tubuh yang boyak bakal menghadirkan pengalaman dramatis, bisa pula traumatis. Pengalaman macam itulah yang mereka hadapi sehari-hari.

Tugas Antar-jemput Jenazah

Selain menerima permintaan kepolisian untuk menjemput dan memandikan dan mengafani korban pembunuhan atau kecelakaan—baik yang beridentitas maupun tanpa kartu identitas—petugas seperti Luthfi terbiasa pula melayani jenazah yang sebelumnya dirawat dengan jaminan asuransi kesehatan nasional.

Di bagian pemulasaraan jenazah ini, ada 48 personel yang bekerja sehari-hari. Dan karena kematian tidak mengenal hari libur, mereka bekerja selama 24 jam, bergiliran jam kerja, selang-seling libur sehari, dengan upah bulanan Rp3,1 juta. Dalam sehari mereka kadang melayani antar-jemput 16 jenazah. Tetapi kadang juga sepi selama tiga hari. Itu rutinitas tak tentu tetapi mensyaratkan pekerjanya harus sigap selalu—persis seperti tulisan “rescue” di bahu kaus yang dikenakan Tri Nurcahya malam itu.

Selagi teman-teman kerjanya sibuk, Tri melayani saya mengobrol. Dia bilang bahwa tidak banyak orang yang tahu jika memanfaatkan fasilitas antar-jemput dengan mobil jenazah ini gratis. Syaratnya ialah kelengkapan administrasi. Di antaranya, ada kartu asuransi kesehatan pemerintah atau surat pernyataan sebagai keluarga miskin milik almarhum. Selain juga kartu keluarga, kartu identitas, dan surat kematian almarhum. Juga ada kartu identitas pemohon. Namun khusus untuk akses ke luar DKI Jakarta dikenakan retribusi Rp1.500/km.

“Kita bisa mempermudah, misalnya belum difotokopi, repot. Yang penting ada surat kematian. KTP almarhum dan pemohon ada. Tinggal kita foto saja. Kita kerja nyata, jujur, enggak pungli, enggak nyusahin orang,” tegas Tri.

Pengalaman Tri dengan kematian ketika melihat neneknya meninggal di Stasiun Pasar Senen. Neneknya berniat mendatangi keluarga Tri di Jakarta. Dari Malang, Jawa Timur, nenek Tri berangkat dengan kereta api bersama saudaranya. Sesampai di stasiun, neneknya koma, lalu mengembuskan napas terakhir. Saat diberi kabar, Tri menghampiri stasiun. Dia merasakan sendiri betapa repot mengurus jenazah keluarga sendiri dalam kondisi berduka.

“Kita ngerasa dibantu petugas antar-jemput jenazah, jadi saya sendiri penginlah bantu orang. Dari situ kepikiran, kalau ada lowongan, masuk.”

Tekad itu ditempuhnya setahun selepas kematian nenek. Pada 2005, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta membuka perekrutan karyawan baru. Semula Tri ditugaskan di bagian administrasi keuangan. Sehari-hari tugasnya memasukkan angka-angka pengeluaran ke dalam kolom anggaran. Namun saat senggang, Tri berinisiatif ikut bekerja membantu tim pemulasaraan jenazah. Sejak 2010 barulah dia bertugas melulu di bagian pemulasaraan.

“Dulu lihat bangkai kucing aja ogah. Awal sih kaget, namanya kita enggak pernah dekat sama mayat, sekarang kita satu mobil sama mayat.” tutur pria lulusan STM di Serang jurusan instalasi listrik ini. Sebelum bekerja mengurus mayat, dia sempat berpindah-pindah kerja, dari kurir pakaian, tukang sablon, pegawai toko, hingga tukang servis komputer.

Pengalaman pertamanya menjemput jenazah korban kecelakaan kereta api di sisi barat Stasiun Pesing. Dia melihat kepala belakang korban hancur. Dia memunguti satu-persatu serpihan bagian tubuh korban dalam plastik, lalu menaruhnya ke dalam kantung jenazah.

Tetapi ada pula kisah sedih. Tepat pergantian tahun lalu, Tri diterkam duka. Istrinya meninggal beberapa bulan setelah melahirkan anak laki-laki pertamanya.

“Saya lagi di Puskesmas, ngurusin rujukan,” cerita Tri. “Mendengar kabar itu, pikiran nge-blank, stuck, berhenti. Enggak bisa nenangin diri sendiri. Nge-blank semua. Yang ada, kepikiran nangis.”

Selama tiga kali Lebaran terakhir Tri juga selalu melewatinya dengan bekerja. “Setelah salat, salam-salaman bentar, terus berangkat kerja,” imbuhnya.

Setiap pulang ke rumah, Tri selalu diminta ibunya untuk langsung ke kamar mandi. Lalu berdiam diri sejenak di teras beberapa menit. Setelah itu dia baru boleh beraktivitas di dalam rumah.

Soal pekerjaannya, Tri sering pula disindir teman-temannya. Mereka bingung mengapa Tri betah melakukan pekerjaan yang mereka anggap aneh ini.

“Gue cuma jawab, 'Kita calon mati. Siapa tahu besok elu, gue yang ngurusin. Dan giliran gue, elu yang ngurusin,'” katanya.

Kamar Mayat

Kembang Api di Luar Jendela

Jam 21.30, telepon berdering. Tri mendekatkan ujung gagang telepon ke telinganya.

“Lama? Oh, mau dimandiin? Tadi mintanya buru-buru tuh orang. Mau pulang? Ngomong di situ saja, kalau sudah siap, telepon!”

Yang menelepon adalah Luthfi. Dia sudah menunggu lama di Rumah Sakit Pelni. Rupanya keluarga jenazah meminta Luthfi menunggu sampai jenazah dimandikan dan dirias terlebih dulu. Jarak rumah sakit dan kantor dinas kurang dari dua kilometer. Luthfi berniat balik ke kantor.

Tri berkisah, sudah terbiasa timnya datang dengan tergesa-gesa tapi harus menunggu untuk mengangkut jenazah. Pernah timnya menanti selama 11 jam. Kejadiannya adalah pembunuhan seorang ibu dan anak di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, Oktober 2015. Saat itu tim yang diterjunkan Tri sudah sampai di lokasi sejak pukul 5 sore. Tetapi kedua jenazah baru bisa dibawa jam 4 pagi esok hari. Peristiwa ini terjadi pada bulan yang sama dengan kasus mayat bocah dalam kardus yang menggegerkan Jakarta.

Obrolan Tri dengan mayat macam-macam. Terdengar ke mana-mana, tetapi meninggalkan satu jejak: rasa jijik.

Dia menuturkan, satu kali ada panggilan dari pihak kepolisian. Seorang perempuan tua ditemukan meninggal di rumahnya, kawasan Cimanggis, Depok. Diperkirakan jenazah ditemukan setelah lima hari berlalu. Warga mengetahuinya setelah mencium bau busuk setiap melintasi rumah korban.

Ketika Tri tiba di lokasi, seorang polisi mendekat dan menunjuk pintu masuk rumah, menjelaskan bahwa jenazah yang tubuhnya sudah biru legam ada di dalam, siap dievakuasi. Tri membuka pintu dan samar-samar dia melihat mayat berjarak sekitar 10 meter dari pintu.

“Kita masuk saja ke arah mayat. Terus sepatu bunyi ... kletus... kletus...” cerita Tri.

Di tengah perjalanan, dia mengangkat kaki kanan. Dia tak menduga sedari tadi menginjak belatung sepanjang 2 sentimeter.

“Ternyata di bawah itu hamparan belatung. Sudah menyebar ke mana-mana, kayak hamparan beras,” katanya.

Tri dan rekannya lantas berbalik arah. Mereka meminta kepada polisi untuk menyediakan kopi bubuk. Gunanya untuk sedikit meredam bau busuk. Seorang warga menghampirinya, membawa tiga bungkus kopi bubuk seberat 380 gram.

Cerita sampirannya: ada rekannya bahkan ogah makan nasi hingga lima hari. Sebabnya, setiap melihat nasi, dia teringat belatung.

Dia menyarankan kepada saya: “Kalau di rumah ada bangkai tikus, kasih saja kopi bubuk, enggak pakai gula, ya!” Seakan-akan itu sebuah lelucon.

Pukul 10 malam lewat 20 menit, seseorang yang memperkenalkan diri Dando datang menghampiri kami. Dia mantan pegawai bagian pemulasaraan jenazah. Namun dia hanya bertahan bekerja selama setahun.

“Enggak betah. Saya ada yang ngikuti,” kata Dando, dibayangi-bayangi sesosok mayat.

Usai Nando bercerita, Luthfi tiba juga ke kantor. Dia segera menyambut kisah yang dialami mantan rekannya itu. “Wah dulu dia wajahnya merah banget, kelihatan sekali!” Luthfi mencandai Dando. “Gue bilang, sudah lu sana ngopi dulu.”

Tri mengatakan bahwa di lapangan, tim evakuasi harus berkoordinasi berulangkali. Yang tersulit ketika menekuk bagian tangan jenazah. Kebanyakan bagian sendi jenazah akan memuncratkan cairan.

“Sudah tiga seragam saya buang gara-gara kena muncratan. Cuci kagak ilang-ilang,” ujar Tri.

Pukul 11 malam lewat 45 menit letusan kembang api dan suara terompet di luar terdengar seperti ledakan di dalam ruangan pemulasaraan jenazah. Selama 15 menit rentetan dan semarak kembang api itu menghiasi langit Jakarta. Di halaman parkir, alarm dua mobil ambulans saling menyahut, terpicu getaran bunyi kembang api.

“Ya gini,” kata Tri, “cuma bisa lihat kembang api dari jendela. Tapi saya dari dulu enggak suka kembang api. Saya cuma senang kalau ngumpul-ngumpul saja, kebersamaannya.”

Orang-orang ini punya lelucon yang bagus di malam tahun baru. Lelucon mereka, yang sebagiannya memperlancar urusan kehidupan kita sehari-hari, patut dicatat dan mendapat tempat. Di luar, suara dan pijar kembang api sahut-menyahut, susul-menyusul.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam