Menuju konten utama

Tiada Guna VAR di Indonesia kalau Kualitas Wasit Buruk

VAR tanpa perangkat yang baik belum tentu akan memperbaiki kualitas pertandingan. Itulah mengapa penerapannya di Indonesia belum tentu maksimal.

Tiada Guna VAR di Indonesia kalau Kualitas Wasit Buruk
Wasit Deniz Aytekin memeriksa VAR (Video Assistant Referee) selama pertandingan sepak bola persahabatan internasional antara Inggris dan Italia di Stadion Wembley di London, Selasa, 27 Maret 2018. AP Photo / Alastair Grant

tirto.id - Football Association of Ireland (FAI) menginjak usia ke-100 pada 2021 lalu. Untuk memperingatinya, mereka menyelenggarakan satu pertandingan istimewa pada Maret 2022 di Stadion Aviva, ibu kota Dublin, yang mampu menampung lebih dari 51,7 ribu penonton. Tidak tanggung-tanggung, musuhnya adalah tim peringkat satu FIFA: Belgia.

“Belgia sudah menunjukkan standar pengembangan pemain muda dalam beberapa tahun terakhir dan kita sangat bersemangat untuk bertemu tim asuhan Roberto Martinez,” kata Chief Executive FAI Jonathan Hill pada Januari 2022.

Martinez sudah menangani Belgia sejak 2016. Pada pertandingan persahabatan itu dia memboyong mantan penyerang timnas Prancis, Thierry Henry, yang berstatus asisten pelatih.

Kehadiran mantan pemain Arsenal tersebut menarik karena menjadi kesempatan Irlandia menuntaskan dendam kesumat yang sudah tersimpan lebih dari 12 tahun.

Ceritanya, untuk dapat lolos Piala Dunia 2010, Irlandia harus mampu mengatasi Prancis. Pertemuan pertama di Dublin berakhir 1-0 untuk kemenangan Prancis. Pada pertemuan kedua, Irlandia unggul satu gol pada menit ke-33 berkat Robbie Keane yang bermain untuk Tottenham Hotspur. Agregat 1-1 bertahan selama 90 menit dan pertandingan harus dituntaskan di babak perpanjangan waktu.

Di momen krusial tersebut, Henry mengontrol bola dengan menggunakan tangan di dalam kotak penalti Irlandia. Bola itu kemudian dia oper ke rekannya William Gallas dan dengan mudah gawang Irlandia dijebol. Prancis menang dan tentu saja Henry dianggap sebagai biang kerok kegagalan Irlandia menembus Piala Dunia.

Setelah pertandingan, Henry berkali-kali mengakui kesalahannya meski tidak bisa mengubah apa-apa. Dia juga mengakui hal tersebut kepada Richard Dunne, pemain bertahan Irlandia. Henry mengaku bahwa dia telah menyentuh bola dengan tangan setelah laga berakhir.

Gara-gara perkara ini, Henry berkali-kali mendapat ancaman dan bahkan harus mempekerjakan pengawal pribadi untuk putrinya.

Ketika pertandingan Belgia dan Irlandia berlangsung, stadion tampak penuh sesak. Kemudian momen yang ditunggu-tunggu pun tiba di menit ke-25. Salah satu operator kamera mengarahkan kamera kepada Henry yang berada di bangku pemain. Wajahnya terpampang besar di layar utama dan cemooh menggema dari segenap penjuru.

VAR Cegah Wasit Bobrok?

Setelah handball Henry, FIFA mengadakan rapat darurat. Mereka hendak mencari cara bagaimana agar hal yang sama tidak terulang. Kemudian muncul dua proposal. Pertama, menambah jumlah wasit agar bisa membuat keputusan lebih jelas; kedua, mengizinkan ada pengecekan tayangan ulang. Proposal kedua mengalami penolakan, namun sebenarnya hanya tinggal tunggu waktu agar menjadi umum.

Teknologi Video Assistant Referee (VAR) akhirnya resmi digunakan. VAR pertama kali diuji pada pertandingan persahabatan antara Italia melawan Belanda pada 2012. The International Football Association Board (IFAB) kemudian menyetujui penggunaan VAR pada 2016 dan setahun kemudian digunakan di FIFA Confederations Cup di Rusia.

Dengan VAR, sejarah dan momen penting dalam sepak bola bisa jadi berbeda–termasuk dendam publik Irlandia pada Henry. “VAR akan menganulir gol Thierry Henry pada tahun 2009. Sudah jelas. Itu adalah handball,” ucap mantan pemain Prancis Bacary Sagna, dilansir Irish Post.

Infografik Var dan Teknologi Goal Line

Infografik Jika Var & Teknologi Goal Line Berlaku Sejak Dulu. tirto.id/Mojo

Gaung penggunaan VAR juga sampai ke Indonesia. Tahun 2019 lalu, sebagian pengelola klub Liga 1 mendukung penggunaannya. Tiga tahun kemudian, Menteri BUMN Erick Thohir juga berjanji akan menerapkan VAR di Liga 1. Hal ini ia nyatakan ketika memutuskan maju sebagai kandidat Ketua Umum PSSI.

Tidak bisa dimungkiri bahwa penggunaan VAR akan sangat berguna. Di Indonesia, teknologi ini akan semakin menegaskan betapa banyak keputusan wasit yang bermasalah atau setidaknya berapa gol yang seharusnya tercatat atau tidak.

Di akhir 2022 lalu saja setidaknya ada dua momen yang jelas-jelas menunjukkan keputusan buruk wasit. Pertama pertandingan antara Borneo FC Samarinda melawan PSS Sleman pada Senin 12 Desember.

Stefano Lilipaly mengirimkan umpan dari dalam kotak penalti Sleman ke Matheus Pato yang berdiri bebas. Dengan mudah dia menyundul bola dan gol. Dalam tayangan ulang terlihat bahwa Pato berbeda satu garis dengan pemain belakang terakhir Sleman, Bagus Nirwanto. Komentator pertandingan saat itu juga menyatakan hal yang sama, bahwa gol sah.

Namun hakim garis berpendapat lain. Dia mengangkat bendera dan hasil pertandingan berakhir tanpa gol. Posisi Pato dianggap offside.

VAR PSSI

VAR PSSI. foto/Dok. Indosiar

Tiga hari sebelumnya peristiwa serupa terjadi dalam laga RANS Nusantara FC melawan Persikabo 1973 di Stadion Maguwoharjo. Dalam laga yang berakhir 1-1 itu, pelatih Persikabo Djadjang Nurdjaman menyebut “kemenangan kami seperti dirampok oleh wasit.” Murka mantan pelatih timnas Indonesia itu meledak karena ia menilai timnya seharusnya bisa menang dengan skor 3-1.

Salah satu gol yang semestinya disahkan terjadi hampir di akhir laga, tepatnya menit 90+2. Ketika itu operan Yandi Sofyan berhasil menembus pertahanan RANS di dalam kotak penalti. Gustavo Tocantins yang menerima umpan terobosan langsung menendang bola dengan keras tanpa mampu dihalau penjaga gawang. Operan itu dinilai offside oleh hakim garis.

Tendangan Tocantins pada menit ke-63 juga terlihat melewati garis gawang RANS, tapi wasit menganggap itu tidak gol. Dari pertandingan ini, jelas Indonesia juga membutuhkan teknologi garis gawang (goal line technology).

VAR PSSI

VAR PSSI. foto/Dok. Indosiar

Data pertandingan Liga Inggris menunjukkan bagaimana VAR memang mampu memperbaiki keputusan wasit menjadi lebih tepat.

Dilansir dari ESPN, ada 27 keputusan VAR yang berujung pada terjadinya gol di musim 2019-2020 dan delapan di antaranya adalah gol yang terjadi karena koreksi keputusan offside. Sementara gol yang dianulir karena terbukti offside setelah pemantauan VAR mencapai 34 kali.

Di musim 2021-2022, angkanya bertambah. Pemantauan VAR berhasil memuluskan gol sebanyak 47 kali dan 11 di antaranya didapat dari koreksi putusan offside. Gol yang dianulir karena pengecekan VAR terbukti offside ada 32.

Data dari Liga Inggris tersebut kian diperkuat dengan artikel dari Jochim Spitz, dkk pada Journal Sports Sciences. Mereka meneliti 2.195 pertandingan di 13 negara dan mendata VAR telah melakukan 9.732 pengecekan. Hasil pengecekan meningkatkan akurasi keputusan wasit dari 92,1% menjadi 98,3%.

Meski hasilnya positif, Spitz dkk tetap memiliki catatan. Menurut mereka dampak penggunaan VAR adalah menurunnya kredibilitas wasit–hal yang sekarang juga sudah terjadi di Indonesia meski teknologi itu belum diterapkan.

“Menjadi penting untuk secara bijak menggunakan teknologi video ini karena VAR punya kemampuan untuk mendelegitimasi kredibilitas para wasit dan mengubah karakter sepak bola,” catat Spitz.

Erick Thohir Ada Benarnya

Setelah terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, Erick menunda janji penggunaan VAR. Baginya pemberantasan mafia pengaturan skor lebih utama dan VAR tidak bisa membantu menyelesaikan masalah itu. Memang, dalam hal pengaturan skor, entitas yang terlibat bisa saja bukan hanya wasit.

Di luar itu, memang ada faktor-faktor lain yang membuat VAR tetap gagal memperbaiki keputusan wasit. Pertama, kualitas VAR yang digunakan itu sendiri. Sistem VAR yang baik tentu akan berbeda dampaknya dengan VAR yang kurang berkualitas. Misalnya ada gambar yang buram atau jeda pengambilan gambar yang dikirim ke komputer. Namun soal ini sudah diantisipasi FIFA dengan pembuatan sertifikasi VAR pada 2022.

Kedua tidak lain adalah kualitas wasit itu sendiri. Punya wasit dengan standar tinggi menjadi sangat menentukan. Seperti yang dicatat oleh Arne Aarnink, pemantauan wasit lapangan (on-field review) bisa terdistorsi ketika kedua komponen ini tak punya kualitas yang sama. Wasit berkualitas rendah mungkin akan terus-menerus bergantung pada VAR sehingga mengganggu alur pertandingan.

Sedangkan Roy David Samuel, dkk dalam riset tahun 2020 lalu di Israel menyebut beberapa masalah lain adalah kurangnya kepatuhan wasit terhadap panggilan VAR (salah duanya karena ego merasa keputusan sudah tepat dan persaingan dengan wasit lain) dan kerusakan VAR saat dipakai.

Pemakaian VAR dikhawatirkan sebagian orang tidak akan maksimal karena tidak semua negara punya banyak wasit berlisensi FIFA. Indonesia sendiri hanya punya lima wasit berstandar federasi sepak bola dunia tersebut.

Vietnam dan Singapura yang mau menerapkan VAR pada 2023/2024 punya jumlah wasit berlisensi FIFA dua kali lipat daripada Indonesia. Mereka harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan dan pelatihan.

Vietnam harus mengeluarkan uang sekitar 3 juta dolar AS atau sekitar Rp45 miliar untuk menerapkan VAR di liga mereka. Dan itu, kata Sekretaris Jenderal Sepak Bola Vietnam, “Baru langkah pertama untuk menilai kemampuan Vietnam dalam memenuhi persyaratan teknis dan wasit untuk VAR.”

Waktu persiapan VAR juga terhitung tidak singkat. Baik Vietnam atau pun Singapura harus menunggu 13 sampai 18 bulan sampai VAR bisa digunakan. Itu sebabnya mereka baru bisa berekspektasi penggunaan VAR di musim 2023/2024.

Maka, pada akhirnya, seperti ditulis Pandit Football, “Hadirnya VAR tidak sepenuhnya mengobati dan memperbaiki kualitas sepak bola Indonesia. Betul, keputusan wasit di Indonesia adalah salah satu masalah besar, namun adanya VAR ketika SDM wasit masih belum siap akan dirasa sia-sia. Licensing FIFA wasit dirasa lebih penting untuk waktu dekat ini jika tujuannya untuk mewujudkan pertandingan yang adil dan berintegritas.”

Baca juga artikel terkait VAR atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino