Menuju konten utama
Misbar

The Sandman: Ihwal Pencarian dan Kisah "Keluarga" Disfungsional

The Sandman adalah opsi tontonan bagi mereka yang suka sejarah alternatif dan dunia mitologi. Bisa dinikmati oleh mereka yang belum baca komiknya sekalipun.

Poster Film The Sandman. FOTO/Netflix/IMDB

tirto.id - Guratan imajinasi Neil Gaiman kembali ke medium gambar bergerak. Setelah Stardust difilmkan pada 2007 dan Coraline menyusul dua tahun kemudian dalam bentuk film animasi, memang sudah saatnya komik The Sandman yang dianggap sebagai magnum opus-nya Gaiman dapat giliran.

The Sandman mulanya merupakan tokoh dalam cerita rakyat Eropa yang erat kaitannya dengan mimpi. DC Comics lantas menggunakannya untuk beberapa karakter komik terbitannya. Dari 1930-an sampai 1988, tiga karakter tercatat pernah menyandang nama The Sandman.

Hingga akhirnya, Gaiman bersama Sam Kieth dan Mike Dringenberg ditugaskan untuk membangkitkan karakter lama itu ke dalam seri komik yang mulai dipublikasikan sejak 1989.

Di tangan Gaiman dkk., komik The Sandman berpusat pada karakter Morpheus alias Dream. Dia adalah salah satu entitas dari The Endless, sosok-sosok mahahebat yang disebut lebih tinggi dari para dewa.

Personifikasinya muncul dalam wujud manusia, dalam kisah sekaligus semesta yang memadukan unsur mitologi dan sejarah nyata.

The Sandman lantas menjadi karakter sekaligus kisah populer di kalangan pencinta komik. Karenanya, gerbang bagi alih wahana ke bentuk live-action pun terbuka. Sebuah percobaan adaptasi film pernah dibuat, tapi lantas hanya mendekam di fase development hell selama tiga dekade.

Proyek itu akhirnya menemui jalan berbeda sebagai serial televisi yang mungkin jauh lebih cocok untuk skala dan kompleksitas ceritanya.

Dalam The Sandman yang ditayangkan Netflix sejak awal Agustus 2022 ini, Gaiman terlibat langsung sebagai produser eksekutif sekalian mengembangkan kisahnya bersama Allan Heinberg dan David S. Goyer.

Bagi yang baru hendak menontonnya, ia mungkin bukan kisah yang mudah dicerna. Kau mungkin perlu bertahan untuk beberapa episode, sampai menemukan hal menarik di dalamnya.

Format dan Plot Tak Biasa

Di pusat cerita, ada Dream the Endless (Tom Sturridge), sosok ilahiah penguasa alam mimpi. Dia dipersonifikasikan sebagai lelaki berwajah pucat, berambut acak-acakan bak penggemar berat The Cure dan Bauhaus, serta parka atau mantel panjang serba hitam.

Titelnya banyak, sebutlah Lord of Morpheus, Ruler of the Nightmare Realms, The Oneiromancer, dst.

Segalanya normal belaka bagi sang Raja Kerajaan Mimpi sampai seorang manusia bernama Roderick Burgess (Charles Dance) melakukan ritual untuk memanggil paksa Death demi ambisi mengembalikan anaknya yang telah tiada.

Entah bagaimana, dengan segala pentakel, mantra, dan prosedurnya, yang tiba ke dunia manusia bukanlah Death, melainkan Dream. Dia lantas dibelenggu hingga seabad lamanya dan pusaka-pusaka yang menyimpan sebagian dari kekuatannya pun berpindah ke tangan manusia.

Absennya Dream membuat dunia mimpi dan dunia manusia kacau. Kerajaannya hancur, para pembantunya kabur ke dunia manusia, dan jutaan manusia tak pernah terbangun dari tidurnya. Lain itu, muncul pula Vortex, manusia yang mampu mengikis dinding antara mimpi dan dunia nyata.

Tanpa mimpi, kemanusiaan bakal punah. Pertaruhan besar itu hadir sedari mula sembari serial ini menerangkan kekayaan mitologi, semesta, dan karakternya.

Dengan banyaknya subplot, The Sandman menempuh penceritaan yang berliku. Para sineasnya menggunakan beberapa episode awal untuk menerangkan semesta The Sandman seiring dengan masalah di dalamnya. Kisah pencarian Dream bisa dibilang baru mulai bergulir di episode empat.

Terkadang, arah plotnya dibelokkan begitu saja ke arah lain di luar pencarian-pencarian Dream. Misalnya, episode lima yang penonton diajak berbelok menengok perspektif sekaligus angan John Dee (David Thewlis) bila seluruh manusia berlaku dan berkata jujur.

Sedangkan di episode enam, kita disuguhi interaksi Dream dan Death plus kisah "pertemanan" Dream dan manusia yang hidup berabad-abad.

Belokan-belokan plot macam ini—plus kisah atau penggambaran yang ganjil—mungkin membuat serial ini terkesan membingungkan atau kurang fokus. Namun di lain sisi, ia justru menghadirkan episode-episode yang menonjol, yang bisa jadi lebih berkesan ketimbang keseluruhan serialnya sendiri.

Disesaki Banyak Karakter dan Akting Berwarna

Sembari mengikuti kisah Dream, The Sandman berupaya sebaik mungkin memperkenalkan kita pada setumpuk karakter dari materi sumbernya.

Di sini, kita bisa melongok keabadian Cain dan Abel dan kisah pembunuhan pertama yang dilakukan manusia. Kita juga mendapati kisah Constantine, tepatnya Johanna Constantine (Jenna Coleman), dan leluhurnya.

Apalah artinya karakter utama yang dingin dan serius tanpa sidekick yang konyol, bingung, dan kontras tabiatnya. Dengan ocehan yang disuarakan Patton Ostwalt, seekor gagak gaib bernama Matthew sontak membantu "menghidupkan" sosok Dream sekaligus mengubah suasana serial.

Casting dan penggambaran para Endless (saudara kandung Dream) patut dikedepankan. Sosok Lucifer Morningstar, misalnya, yang di banyak cerita ditampilkan sebagai lelaki justru tergambar dalam wujud perempuan pirang dan lembut nan berwibawa oleh Gwendoline Christie.

Seperti halnya Lucifer, sosok Death pun hadir dalam wujud yang berbeda dari penggambarannya dalam komik. Penonton tak akan mendapati Death yang mirip Siouxsie Sioux, melainkan Kirby Howell-Baptiste.

Masih mengenakan kalung bersimbol ankh (kehidupan), sang pencabut nyawa hadir dalam sosok yang hangat dan penuh daya hidup. Raut wajah dan senyum ramahnya terkesan melegakan sebagai pemandangan terakhir yang bisa kau lihat sebelum mangkat. Pengenalannya di episode enam agaknya juga menjadi salah satu perkara terbaik dalam The Sandman.

Meski sejauh ini hanya tampil sebentar, kita juga bisa melihat si kembar Despair dan Desire yang juga mampu mencuri perhatian, terutama nama terakhir.

Dari sisi antagonis, kita mendapati para villain yang punya motif kuat untuk setiap tindakannya. Entah itu John Dee maupun Corinthian (Boyd Holbrook), yang dengan caranya masing-masing menunjukkan kekejiannya bukan semata dilandasi niat jahat belaka. John memimpikan dunia yang lebih jujur, sementara Corinthian hanya ingin merasakan bagaimana menjadi manusia.

Nama terakhir barangkali hanya ingin "protes" pada penciptanya, tapi ulahnya yang kelewatan juga bisa dikatakan sebagai aksi yang dilakukan para mortal ketika sang pencipta absen.

Infografik Misbar The Sandman

Infografik Misbar The Sandman. tirto.id/Ecun

Merenungkan Eksistensi Endless

"Apa gunanya ada kamu?" tanya Constantine pada Dream, mempertanyakan sosok sehebat dirinya yang ternyata tak bisa menyelamatkan satu jiwa manusia. Pertanyaan yang sama mungkin hadir di benak penonton.

Gerbang istana neraka ditampilkan dalam ukuran raksasa, begitu juga gerbang The Dreaming yang masif. Kerajaan-kerajaan itu bukan main besarnya, seolah menegaskan para Endless sebagai entitas agung dengan kekuatan mahahebat.

Namun, para Endless dan makhluk ciptaan mereka bukannya tanpa cela. Mereka eksis hanya karena manusia meyakini mereka eksis.

The Sandman memberi banyak porsi untuk perbincangan filosofis. Di sepanjang pelarian John Dee, kita disuguhi dua sudut pandang berbeda tentang mengapa manusia tak jujur. Apakah orang-orang berbohong karena mementingkan diri sendiri, atau karena mereka takut?

Di lain waktu, para entitas mahahebat ini rupanya bisa mengalami krisis eksistensi, mulai dari sosok lebih rendah macam Corinthian hingga penciptanya sendiri, Dream. Ketika semua benda keramatnya terkumpul, Dream yang seberkuasa itu malah merasa kosong.

Setidaknya sampai dia bertemu Death. Sekuens perbincangan keduanya sarat akan perenungan hidup dan mati, dan bahwa fungsi mereka semata untuk melayani manusia.

Mencari dan Menemukan Lebih Banyak Lagi

Sejauh ini, The Sandman mungkin bukan serial televisi yang tergolong masterpiece. Meki begitu, serial ini tidak menyerah untuk menjelaskan kompleksitas komiknya dan kemanusiaan.

Penceritaannya juga mungkin memicu pertanyaan sederhana: apa yang sebetulnya dilawan Dream? Apakah itu manusia, makhluk ciptaannya sendiri, atau kesialannya sendiri?

Agaknya, sah-sah saja jika kau ingin menyederhanakan The Sandman sebagai drama keluarga disfungsional—yang dampaknya meluas pada manusia.

The Sandman juga menyoal ketidakstabilan dan jalinan kaotis kejadian berskala besar. Ia tak selalu murung, terkadang juga agak cheesy, tapi di sana-sini pula terdapat implikasi gelap seperti paedofilia dan para psikopat penyiksa sesama.

Dan ia tentu pula menyoal pencarian. Melacak benda atau sosok kasatmata, untuk kemudian menemukan lebih banyak lagi perkara tak terlihat atau meraih perspektif dan pemahaman baru.

The Sandman adalah opsi tontonan yang gampang bagi mereka yang menyukai atau terbiasa dengan kisah-kisah seperti Preacher, Constantine, atau film-film yang memuat kisah para malaikat agung dan dunia bawah dalam imajinasi Barat. Serial ini pun lumayan menarik bagi pencinta sejarah alternatif berkat kehadiran nama-nama dunia nyata seperti Aleister Crowley, Shakespeare, Marlowe, hingga Barbie dan Ken.

Meski begitu, mereka yang tak membaca komiknya pun tetap bisa menikmati serial ini. Kita mungkin bakal sama sekali tak ingat sebagian karakter ketika season berikutnya hadir kelak, tapi kelanjutan kisahnya tentu pantas ditunggu.

Terlebih dengan rencana Lucifer dan Azazel menginvasi alam mimpi, dunia nyata, hingga Silver City (tempat apa itu?), mencari tahu identitas para "generals", dan pastinya aksi-aksi Desire untuk menjatuhkan Dream.

Baca juga artikel terkait SERIAL NETFLIX atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
-->