Menuju konten utama

The Meg: Tak Masalah Mengingkari Sains, Asal Laris di Cina

Cina adalah pasar terbesar Hollywood. Meski The Meg cuma film kelas B, di pekan pertama penayangan untungnya 120% lebih tinggi ketimbang perkiraan analis.

The Meg: Tak Masalah Mengingkari Sains, Asal Laris di Cina
The Meg. FOTO/The Meg

tirto.id - Trauma masa lalu adalah rumus klasik yang sering dipakai untuk membuat tokoh protagonis tampak manusiawi. Contohnya melekat pada tokoh Jonas Taylor di film The Meg yang diperankan oleh Jason Statham, seorang penyelam yang pernah meninggalkan rekan-rekannya saat menjalankan misi penyelamatan.

Jonas memilih menyelamatkan nyawa para ilmuwan saat kapal selam yang dipakai untuk penelitian bawah laut diserang makhluk misterius. Para penyelamat lain, yang juga kawan dekat Jonas, terbunuh. Jonas kapok, kemudian melanjutkan hidup sebagai pemabuk dan pebisnis sewa kapal nelayan di Thailand.

Lima tahun berselang, tim peneliti di bawah arahan Dr. Minway Zhang (Winston Chao) sedang mengekplorasi Palung Mariana alias palung terdalam di dunia yang terletak di Samudera Pasifik. Pangkalan penelitian Zhang adalah yang termahal sekaligus tercanggih di dunia berkat sokongan dana dari miliarder Jack Morris (Rainn Wilson).

Anak Zhang adalah Suyin (Li Bingbing), ahli kelautan yang bertugas mengawasi misi penerjunan kapal selam ke titik terdalam palung. Kapal selam diisi oleh tiga orang. Pemimpinnya adalah Lori (Jessica McNamee), mantan istri Jonas.

Tim Lori diminta untuk mendokumentasi dunia di bawah lapisan tipis yang terbuat dari hidrogen sulfida, yang selama ini publik kenal sebagai dasar Palung Mariana. Usai sukses menembusnya, dan dalam perasaan takjub menyaksikan flora-fauna unik, Tim Lori diserang oleh makhluk misterius. Mesin kapal selam rusak, dan mereka tak bisa naik ke permukaan.

Tim Zhang sampai harus terbang ke Thailand untuk meminta bantuan Jonas. Jonas awalnya menolak. Maklum, karakternya adalah tipikal legenda dalam profesinya yang sudah lelah dengan petualangan (dan trauma) di masa muda.

Saat tawaran uang tak mempan, Tim Zhang akhirnya mengeluarkan kartu AS: Lori dalam kondisi kritis. Jonas akhirnya mau membantu Zhang—sebuah keputusan atas dasar motif sentimentil yang juga tipikal dalam film heroik.

Belakangan diketahui bahwa monster yang menyerang Tim Lori adalah Megalodon, hiu purba yang dulu juga menyerang Jonas. Usai adegan penyelamatan Tim Lori, The Meg diisi oleh rangkaian teror demi teror Megalodon yang berhasil naik ke permukaan laut.

The Meg adalah Jaws (1975) KW kesekian. Dan sebagaimana film teror hiu lain, film besutan sutradara Jon Turteltaub itu membutuhkan hero yang minimal bisa menyamai kegaharan si monster. Oleh Turteltaub, Jason Statham dipoles sedemikian rupa menjadi lelaki berwajah keras yang sudah putus urat takutnya.

Ia mau berenang sendiri untuk memasang pelacak ke sirip Megalodon. Ia juga tak berpikir dua kali untuk menyelamatkan Suyin dalam misi meracun sang ikan. Asyik untuk ditonton, namun sosok Jason yang terlalu sempurna pada akhirnya terseret ke dalam lubang klise—sebagaimana pembentukan karakter dirinya di film-film lain.

The Meg tentu saja mengandalkan adegan-adegan “nyaris” untuk menaikkan level ketegangan bagi penonton, terutama nyaris dimakan Megalodon. Megalodon digambarkan sebagai makhluk yang buas sebuas-buasnya. Ia bukan binatang pasif, melainkan yang aktif memburu mangsa.

The Meg pada dasarnya film yang cocok untuk ditonton keluarga. Campur-aduk genrenya cukup lengkap. Selain laga, The Meg dibumbui adegan atau dialog humoris, meski beberapa di antaranya berujung garing sebab muncul dalam situasi yang kurang tepat. Ada juga drama percintaan yang manis antara Jonas dan Suyin, yang secara cukup mengejutkan direstui oleh Lori.

Sayangnya kualitas The Meg secara umum masuk film kelas B; alur dan akhirannya mudah ditebak. CGI-nya agak lemah. Mutu akting dari para aktor dan aktrisnya juga tidak terbilang istimewa. Barangkali kecuali Shuya Sophia Cai, aktris cilik yang sukses memerankan anak Suyin secara “unyu”.

Reputasi The Meg sebagai “science-fiction” turut lebur karena menampilkan Megalodon secara tidak akurat dalam perspektif sains. Baru beberapa hari usai film yang diadaptasi dari Meg: Novel Deep Terror karya Steve Alten itu tayang di bioskop, kritik dari para ilmuwan bertebaran di berbagai media massa.

Carolyn Gramling dari Science News, misalnya, mewawancarai Meghan Balk selaku paleobiolog dari Smithsonian National Museum of Natural History. Balk selama ini berfokus mempelajari binatang-binatang pemangsa di era purba, termasuk di antaranya Megalodon si hiu raksasa.

Balk mengatakan ukuran Megalodon dalam The Meg tidak akurat sebab panjangnya mencapai 20-25 meter. Estimasi ahli hanya menyatakan paling panjang sekitar 18 meter, dan itu pun yang “pastinya paling besar,” kata Balk. Rata-rata, lanjutnya, hanya sekitar 10 meter. Sebagai perbandingan, panjang hiu putih yang kini hidup di lautan berkisar 5-6 meter.

Dari segi penampilan, Balk mengatakan bahwa sebenarnya agak aneh jika Megalodon di film tidak menunjukkan evolusi yang jelas sebab terlalu mirip dengan hiu kekinian. Matanya seharusnya lebih besar setelah hidup di kegelapan dasar laut. Bahkan semestinya ukuran Megalodon menyusut akibat terisolasi secara geografis.

Menurut Balk, ekosistem Megalodon dalam The Meg pun mustahil mendukung kebutuhan pangan sang hiu purba. Hiu dikenal sebagai pemakan banyak hal, mulai dari paus pembunuh hingga cumi-cumi, sementara ekosistem di Megalodon film hanya menampilkan beberapa spesies kecil yang cenderung homogen.

Apakah hiu dapat hidup di kedalaman seperti di Palung Mariana? Mengacu pada wawancara Mary Halton dari BBC Science & Environment bersama peneliti hiu Catalina Pimiento dari Swansea University, hiu pada dasarnya hidup di kedalaman tidak lebih dari 200 meter dan di sekitar pesisir pantai. Bukan di Palung Mariana yang dalamnya hampir 11 kilometer.

Pada akhirnya, apakah Megalodon masih hidup di era kekinian? “Sudah pasti punah. Tidak akan mungkin sekarang ia masih hidup,” tegas Pimiento.

infografik misbar the meg

Sayangnya, dalam industri film Hollywood, sains jadi urusan kesekian demi menangguk untung sebesar-besarnya.

The Meg adalah proyek kolaborasi pemodal asal Amerika Serikat dan Cina. Tak heran jika film tersebut memuat banyak elemen Negeri Tirai Bambu, mulai dari aktris pendamping aktor utama, figuran, latar tempat, hingga lagu penutup film. Film ini sejak awal memang ditujukan untuk menggaet pasar Cina, yang tak lain adalah pasar terbesar Hollywood di Asia.

The Meg awalnya dianggap sebagai calon kegagalan besar Warner Bros selaku salah satu rumah produksi sekaligus distributornya. Berbagai survei mengindikasikan respon penonton dunia terlalu sedikit untuk film yang dibuat seharga $200 juta itu.

Namun, di akhir pekan pertama pemutaran, The New York Times melaporkan The Meg mengantongi $44,5 juta di bioskop Amerika Utara. Pencapaian tersebut melebihi 120 persen pendapatan yang diperkirakan para analis. Di seluruh dunia, The Meg mengantongi $97 juta, yang setengahnya dari Cina. Angkanya akan terus bertambah.

Hiu terlanjur punya reputasi sebagai hewan terbuas di lautan, yang akan rugi jika tidak direproduksi terus-menerus oleh pelaku industri film. Dampaknya, sejak kesuksesan Jaws (1975), hiu mendapat publikasi yang buruk. Padahal, jika melihat data statistik, kekejaman manusia terhadap hiu lebih banyak ketimbang sebaliknya.

Forbes mencatat hanya ada kurang dari 100 kasus gigitan hiu di seluruh dunia per tahunnya dan hanya sedikit yang mematikan. Pada 1996, misalnya, manusia 200 kali lebih mungkin terluka oleh penyegar ruangan dan 845 kali lebih mungkin terluka oleh ember—daripada diserang oleh hiu.

Hiu hanya membunuh sekitar 5 manusia per tahun. Angka yang terlalu timpang jika dibandingkan dengan 10 juta hiu yang dibunuh manusia per tahunnya. Beberapa perkiraan bahkan lebih “ngeri” lagi: tiap tahun 100 juta hiu diburu oleh industri perikanan.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf