Menuju konten utama

The Man from the Sea: Laut yang Memberi, Laut yang Mengambil

Misteri seorang pria Jepang yang terdampar di pesisir Aceh dalam visualisasi yang segar dan penokohan yang matang. Di tangan Fukuda, Serambi Mekah adalah tanah yang magis.

The Man from the Sea: Laut yang Memberi, Laut yang Mengambil
Poster The Man From The Sea. FOTO/Kaninga Pictures

tirto.id - Seorang pria Jepang terdampar di tepi pantai Banda Aceh. Telanjang. Tidak ada yang tau siapa namanya. Ia tak mau atau tak bisa bicara. Permulaan film The Man from the Sea tersebut langsung menggiring penonton kepada misteri yang melingkupi si pria, yang oleh orang-orang akhirnya dipanggil Laut (Dean Fujioka).

Kejadian terdamparnya Laut menghentikan proses syuting yang sedang dilaksanakan Ilma (Sekar Sari). Ia ditemani sahabatnya sejak kecil, Kris (Adipati Dolken), untuk mewawancarai Takako (Mayu Tsuruta).

Takako adalah seorang perempuan asal Jepang yang menjadi relawan usai bencana tsunami Aceh pada 2004. Ia memutuskan untuk menetap sembari mengelola sebuah LSM pemerhati program pencegahan dan penanggulangan bencana.

Dalam sesi wawancara Takako dibersamai anak laki-lakinya yang berusia 18 tahun, Takashi (Taiga), dan seorang supir lokal. Ilma tertarik dengan pengalaman Takako saat menangani tragedi yang merenggut 170 ribu jiwa itu, pandangan Takashi, dan cerita si supir sebagai salah satu korban yang selamat.

Ilma dan Takako bergegas menuju lokasi kejadian. Sementara itu Takashi, ditemani Kris, menjemput Sachiko (Junko Abe). Sachiko adalah adik Takashi dari beda ayah. Ia datang ke Aceh untuk menabur abu ayahnya yang punya kenangan dengan Serambi Mekah. Ia datang bersama seorang jurnalis Jakarta, kawan baik Takako.

Laut didiagnosa menderita hilang ingatan. Tak ada luka fisik. Tatapannya selalu kosong, matanya tak pernah tak sendu. Ia dititipkan di rumah Takako karena sama-sama berasal dari Jepang. Sejak momentum itulah rangkaian kejadian aneh bin ajaib mulai datang.

Misalnya, saat Laut, Takako, dan yang lain menumpang truk untuk pulang, si supir menghentikan kendaraan karena melihat perempuan dan anak kecil menyeberang jalan. Lainnya tak melihat, dan menilai si supir sedang berhalusinasi.

Contoh lainnya saat rombongan baru tiba di rumah, dan Sachiko ditawari mandi. Takako minta maaf karena di rumahnya hanya ada air dingin, tidak seperti rumah-rumah di Jepang yang umumnya menyediakan air panas. Laut menggosok-gosok jari ke lantai, lalu tiba-tiba Sachiko bilang air panasnya sudah menyala.

Sutradara dan penulis naskah Koji Fukada memanfaatkan kemisteriusan Laut untuk menyajikan elemen-elemen surealis dalam film ini.

Elemen tersebut sukses untuk membuat tokoh-tokoh lain mempertanyakan latar belakang Laut, mulai dari asal-usul ia terdampar di pantai Aceh, hingga pertanyaan yang lebih eksistensial: makhluk apakah Laut sebenarnya?

Tapi Fukada juga bersetia dengan gaya naturalisme. Ia tidak menjadikan kehadiran Laut sebagai pemantik kontroversi abad 21, atau membuat pemerintah Indonesia turun tangan karena menganggapnya sebagai ancaman asing. Fukada justru memperlakukan Laut sebagai figuran yang mendorong alur maupun konflik.

Setiap pemeran memberikan kemampuan akting yang pas. Tapi kekuatan terbesar film ini, menurut saya, adalah kemampuan Fukada dalam meramu penokohan dengan matang. Melalui dialog-dialog kasual, para tokoh mengungkap rahasia-rahasia mereka, latar belakang mereka, bak sedang menguliti bawang.

Ilma, misalnya, ternyata kehilangan ibunya akibat tsunami. Ia miskin, sehingga tidak mampu kuliah. Ia aktif di LSM Takako sembari belajar bikin laporan jurnalistik—dua hal yang tidak disenangi ayahnya, seorang mantan milisi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menderita lumpuh kaki akibat disiksa tentara Indonesia.

Kris adalah sahabat satu kampus Takashi. Kris pernah suka Ilma, tapi ia seorang pengajak kencan yang buruk. Ia naksir dengan Sachiko, dan Sachiko rupanya juga memendam perasaan yang sama. Di sisi lain, Takashi rupanya diam-diam juga menaruh rasa kepada Ilma.

Tenang, romantisisme itu dibungkus Fukada dengan elegan, serta lagi-lagi dibahasakan secara natural. Kisah percintaan para tokoh turut mengandung humor yang tidak overdosis. Minimal sukses memancing senyum, dan untungnya tidak mengambil alih cerita utama.

Ada banyak film luar negeri yang bertemakan bencana alam, sementara di Indonesia masih jarang. The Man from the Sea seharusnya menarik perhatian karena temanya tergolong segar. Apalagi jika dibandingkan dengan drama cringy, komedi garing, atau horor murahan yang masih mendominasi bioskop.

Tsunami Aceh kini menjelma menjadi memori kolektif. Fukada memilihnya sebagai semacam platform karena berguna untuk menyediakan baik konteks maupun subteks.

Dari konteksnya, film menggambarkan lanskap Aceh yang telah normal kembali. Meski demikian, jejak-jejak bencana masih bisa ditemukan. Bentuknya bisa berupa narasi traumatik para penyintas, atau kapal besar yang berada di tengah kota akibat terseret ombak raksasa.

Subteks film disajikan Fukada melalui kemisteriusan Laut. Banyak yang menebak, termasuk sang jurnalis Jakarta, Laut adalah reinkarnasi para korban tsunami. Salah satu buktinya kembali mengacu pada momentum magis di awal film, saat sang supir melihat perempuan dan anak kecil yang dianggap sebagai roh korban tsunami.

Sejujurnya, sosok Laut bisa diterjemahkan sebagai banyak hal. Dengan demikian Fukada membuka ruang interpretasi yang luas bagi para penonton.

Saya, misalnya, memandang Laut sebagai personifikasi laut itu sendiri. Sejak awal film menyorot kehidupan para nelayan di pesisir Aceh. Situasinya terasa ironis dan getir, sebab laut juga yang membunuh nyawa warga setempat melalui amukan tsunami. Laut yang memberi, laut pula yang mengambil.

Infografik Misbar The man from the sea

Infografik Misbar The man from the sea

Fukada mewakili generasi sutradara muda Jepang yang memiliki pola pikir dan gaya bekerja yang lebih global ketimbang para pendahulu mereka.

Ia menggunakan judul bahasa Perancis untuk dua film perdananya, Hospitalité (2010) dan Au revoir l'été (2013). Menurut Mark Schilling di kanal Japan Times, keputusan ini menggambarkan betapa besar pengaruh sinema Perancis dalam proses kreatif Fukuda, terutama karya-karya Eric Rohmer.

Atau dalam film fiksi ilmiah yang dirilis pada 2015, Sayonara, Fukuda menggambarkan Jepang di masa depan setelah kembali dilanda bom nuklir. Ia menggunakan aktris asal Amerika Serikat, Bryerky Long, sebagai salah satu pemeran utama.

The Man from the Sea boleh jadi karya Fukada yang sejauh ini paling multi-kultur. Selain mempertemukan Jepang dan Indonesia, film juga didukung oleh rumah produksi yang berasal dari tiga negara: Kaninga Pictures (Indonesia), Nikattsu (Jepang) dan Comme des Cinémas (Perancis).

Apresiasi lain bagi Fukuda adalah penggunaan empat bahasa: Indonesia, Jepang, Aceh, dan Inggris. Keputusan ini barangkali tidak membuat nyaman barisan pembenci subtitel, tapi makin mengentalkan aura natural film.

The Man from the Sea juga sebentuk karya visual yang memanjakan mata. Fukuda berhasil menggambarkan keindahan Aceh, terutama pesisir pantainya, dalam tone warna yang menyegarkan. Dijamin akan mendorong Anda untuk datang ke Serambi Mekah—dalam rangka relaksasi diri maupun merenungkan tragedi.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf