Menuju konten utama
Misbar

The Last of Us, Kompleksitas Kemanusiaan di Dunia Pascaapokalips

The Last of Us diangkat dari gim populer rilisan Naughty Dog. Tak hanya plot utamanya, plot-plot sampingannya pun sama memukau.

The Last of Us, Kompleksitas Kemanusiaan di Dunia Pascaapokalips
The Last Of Us. foto/https://www.hbogoasia.id/series/sr1064

tirto.id - Ini 2023 atau 20 tahun sejak Bumi disapu pandemi jamur Cordyceps. Ini pun bukan infeksi biasa lantaran Cordyceps yang bermutasi bisa menyebabkan inangnya menjelma makhluk serupa zombie. Peradaban sontak runtuh, kemanusiaan kolaps—singkatnya, umat manusia menghadapi apokalips.

Jauh-jauh hari, para ilmuwan telah menyerah. Tak ada jalan keluar bila jamur tertentu mengambilalih dunia.

Joel, seorang penyelundup, lantas ditugaskan mengawal Ellie melintasi Amerika Serikat pascaapokalips. Ini tak lain lantaran Ellie ialah seorang remaja yang imun terhadap Cordyceps dan diyakini menjadi kunci penemuan vaksin.

Kisah The Last of Us telah tiba ke hadapan khalayak (spesifiknya, para gamer) sejak 2013, ketika video game-nya dirilis Naughty Dog. Ditulis Neil Druckmann (co-president Naughty Dog) bersama Craig Mazin (belakangan angkat nama berkat serial Chernobyl), kini adaptasi live-action-nya menjumpai lebih banyak orang dalam wahana serial TV berjudul sama yang tayang di platform HBO.

Worldbuilding yang Memadai

Plot utama The Last of Us bermula di Boston 2023. Namun, ini adalah latar waktu yang benar-benar berbeda dari yang kita jalani hari ini. Quarantine Zone (QZ) didirikan di kota-kota besar, semua orang tampak kumal, hukum gantung diberlakukan, ration cards jadi mata uang, dan yang berkuasa (masih) yang bersenjata.

Di luar sana, alam tengah menyembuhkan diri. Bangunan bikinan manusia menghijau diakuisisi tetumbuhan. Lanskapnya dipenuhi infrastruktur terbengkalai dan deru mesin absen di jalan-jalan yang ambruk. Sekilas permai, selain sesekali terdengar raungan para Infected di kejauhan.

Para Infected (manusia yang terinfeksi Cordyceps) digambarkan tak bisa melihat, tapi bisa mendengar. Pergerakan mereka pun bisa menggila akibat dikontrol sang parasit. Mereka punya intensi menggigit manusia layaknya zombie kebanyakan. Hanya saja, makhluk ini bukan berangkat dari manusia mati, plus dilengkapi stamina dan kecepatan, dengan rupa yang sangat menjijikkan.

Namun di dunia seperti itu, manusia tetap tak kalah mengerikan. Di tengah hutan terpencil saja, Joel jauh lebih mengkhawatirkan sesama manusia, alih-alih para mutan jamur.

Federal Disaster Response Agency (FEDRA) digambarkan sebagai pemerintah, tapi bukan sebagai penyelamat dunia. Ia malah malah dicap fasis dan pihak-pihak resisten lantas bermunculan.

Di Kansas City, orang-orang begitu muak sehingga FEDRA digulingkan. Sementara itu, milisi revolusioner Fireflies bermekaran di banyak QZ dengan tujuan menumbangkan kediktatoran militer FEDRA serta mengembalikan demokrasi dan kebebasan.

Di Wyoming, saudara Joel yang lama hilang, Tommy (Gabriel Luna), menemukan tempatnya di komunitas yang dijalankan secara komunal. Di suatu pojokan Colorado, mereka yang terbuang membangun kultus menakutkan.

Manusia secara alami membangun koloni tertentu, mendirikan faksi politik atau ideologi tersendiri. Bukan hal yang baru dalam dunia pascaapokalips, yang bisa ditemukan pula dalam judul-judul seperti Fallout, Mad Max, hingga The Road-nya Cormac McCarthy.

Adapun The Last of Us tetap berhasil memainkan latar dan formula serupa dengan distingtif. Ini tak lain berkat ragam cara yang ditempuh dalam penceritaannya, baik dari segi perkembangan hubungan kedua karakter utama, perbenturan perspektif berbagai faksi maupun orang-orangnya, hingga eksplorasi mendalam beragam kisah yang terjadi di dunia seperti ini.

Duet Ikonik Berbalur Luka

Struktur penceritaan The Last of Us yang berupa perpindahan dari satu titik ke titik berikutnya memungkinkannya memasukkan berbagai kejadian yang tak selamanya berhubungan. Dan sebagai kisah survival, ia mulanya tak begitu berbeda ketimbang tontonan zombie apocalypse konvensional, dengan berbagai trope yang tak terelakkan.

Itu merupakan format petualangan standar. Sebuah petualangan yang juga tetap terasa nuansa video game-nya. Pasalnya, kau bisa merasakan plot mana yang menjadi main quest, side quest, juga siapa NPC dengan peran krusial. Meski begitu, itu diterjemahkan dengan baik sebagai tontonan.

Bedanya, The Last of Us diisi manusia dengan kompleksitas nuraninya masing-masing.

Di atas semuanya, tentu duet protagonis serial ini, Joel (Pedro Pascal), seorang survivalist sejati dan “kargo” yang dikawalnya, Ellie (Bella Ramsey). Dinamika hubungan keduanya jadi menu utama, dengan perkembangan perspektif dan relasi masing-masing, diwarnai dialog penuh silat lidah dan ungkapan sarkas.

Ellie mendapati dunia normal adalah dunia yang tengah dijalaninya ini lantaran dia baru lahir usai pandemi meledak. Sebagai kargo, dia tak jatuh ke dalam perangkap klise karakter yang bukan main menyusahkan, beban yang setiap saat mesti diselamatkan.

Ada sesuatu pada diri Bella Ramsey yang membuatnya tampak menguarkan aura bocah ajaib, the chosen one, yang menjadikannya cocok memerankan Ellie. Kian diperkuat pula dengan pembawaannya yang, cerdas, lucu, agak periang, tapi juga menunjukkan ngerinya teror yang bisa dialami seorang anak.

Sementara itu, Joel jelas bukannya manusia tanpa cela. Sedari awal, dia bahkan menolak menyelamatkan orang-orang tak dikenal tatkala outbreak terjadi. Segunung isu serius dipanggulnya ke mana pun dia melangkah.

Moralnya selalu bisa dipertanyakan. Ambil contoh saat dia mengeksekusi seorang resistan yang sudah tak berdaya. Sebagai seorang bapak yang kehilangan putrinya di tangan sesama manusia, pandangannya acap kali skeptis dan pragmatis terhadap sesama.

Joel adalah protagonis abu-abu yang berpusar pada sematan antihero atau anti-villain. Dia bahkan bisa disebut villain pada akhir season.

Pedro Pascal jadi pilihan jitu untuk memerankannya. Aktor dengan pancaran “kebapakan” dan kerentanan tertentu, tapi juga luwes berubah jadi mesin pembunuh sewaktu-waktu. Hari-hari ini, tampaknya memang “eranya Pedro Pascal” sebagai aktor laris yang terlibat pada sederet judul populer.

Predikat yang kian wajar bila mengingat bagaimana karakter Joel ditulis. Rasanya tak banyak yang bisa membuat karakter seperti ini tetap dinanti—kalau bukan malah menimbulkan empati.

Dunia The Last of Us dijelaskan seraya Joel dan Ellie terus berpindah, mulai dari perkiraan bagaimana outbreak serempak terjadi di Jakarta, Texas, lalu seluruh dunia, atau penjelasan mengapa Joel terus melangkah pada usia paruh baya walau tiada harapan.

Keduanya tidak selalu satu suara. Duet ikonik Joel & Ellie malahan baru betul-betul terbentuk setelah dua jam serial atau tuntasnya dua episode awal. Hubungan yang kelak perlahan berubah, membuat penonton tak menginginkan mereka terpisah.

Perkembangan relasi keduanya selalu jadi menu menarik. Salah satu episode bahkan terangkat levelnya berkat teka-teki pelesetan yang dilontarkan Ellie pada Joel—penggunaan dad jokes berulang yang alih-alih bikin keki, justru akhirnya mengguratkan senyuman di raut wajah-selalu-serius Joel, dan juga penonton.

Sesak akan Karakter Berkesan dan Konflik Survival

Suasana muram dunia pascaapokalips kadang terlupakan barang sejenak. Atmosfer yang sendu-mencekam dapat berubah drastis berkat narasinya yang memberi ruang besar untuk eksplorasi karakter sampingan, menampilkan karakter dari beragam latar, dan variasi bertahan hidup manusia pascaapokalips.

Pada salah satu titik tertinggi serial, episode "Long, Long Time" yang disutradarai Peter Hoar (pernah menangani Daredevil dan beberapa judul serial Marvel), The Last of Us menyelusup jauh menjelajahi hubungan interpersonal.

Kisah antara Bill, seorang preppers yang paranoid lagi misantropis, dan Frank, seorang penyintas apokalips, disajikan dengan matang. Tentu tak bisa dilepaskan pula dari akting gemilang Nick Offermann dan Murray Bartlett (yang kian diperhitungkan setelah keterlibatannya di The White Lotus).

Kisah keduanya telah berlalu, yang disajikan dengan flashback kronologis ihwal terbangunnya hubungan beserta konflik-konflik kecilnya, dilengkapi line yang berkesan ("I was never afraid before you showed up") yang pada akhirnya menjelma kisah romansa yang memukau. Bahwa di dunia di mana kekerasan jadi makanan sehari-hari, masih ada mereka yang membarter senapan dengan bibit stroberi.

Satu episode yang nyaris bagai film pendek terpisah, sampai masuknya keterkaitan pasangan kekasih itu dengan plot utama.

Sekali waktu, plot utamanya bahkan terasa riang. Semisal saat Ellie menemukan figur adik pada diri Sam (Keivonn Montreal Woodard). Sesaat saja, lantaran plot lantas berlanjut ke momen kehilangan yang lain lagi, dalam episode yang yang sanggup menghadirkan syok bagi para penonton.

Dalam episode Endure and Survive yang diarahkan Jeremy Webb, konflik kepentingan, pemaknaan keadilan yang berbeda, dan perselisihan cara survival individu digali dengan lebih dalam.

The Last of Us selalu bicara soal bentrokan pandangan lantaran tak ada pihak yang menganggap diri villain. FEDRA, misalnya, memandang diri mereka sebagai pertahanan terakhir umat manusia yang meyakini bahwa otoritasnya dibutuhkan agar orang-orang tak saling membunuh.

Tatkala sorotan dialihkan sejenak dari Joel dan Ellie, naratifnya memang bisa jadi menantang untuk diikuti. Namun, itu selalu terbayar.

Pada banyak titik, Joel dan Ellie menemukan kuatnya manusia yang berpegang pada harapan, unjuk kekuatan pada periode tersulit dalam kemanusiaan.

Sebuah komunitas tertutup yang dibangun Maria (Rutina Wesley) dan kawan-kawannya terasa bagai sedikit kehangatan tersisa di tengah dingin dan ngerinya dunia. Di sana, peradaban direstorasi, dirancang ulang ke arah yang lebih baik. Multi-kepercayaan diusung, sekolah dan prasarana dibangun, kepemilikan kolektif serta demokrasi tanpa pemimpin tunggal dijalankan—sebuah utopia yang demi merawatnya, turut melibatkan kekerasan.

Kehangatan (serta penyingkapan) yang ditemukan Joel dan Ellie di tempat seperti itu terbawa ke sisa perjalanan. Serial ini lantas menempuh belokan yang menjadikannya terasa heartwarming. Ada duet karakter yang kini saling membuka diri seiring mengendurnya tensi.

Pengembaraan mereka kini terasa seriang darmawisata. Begitu pula dengan penyingkapan hubungan masa lalu Ellie dan Riley (Storm Reid) yang menyenangkan, tadinya. Selepas itu, serial berbelok lagi ke arah tergelap dan tak pernah menoleh kembali.

Dunia distopia sudah barang tentu menyediakan potensi untuk manusia mengembangkan sisi-sisi tergelapnya. Joel dan Ellie pun mesti berpapasan jalur dengan orang-orang putus asa yang menghalalkan apa saja demi bertahan hidup. Ironisnya, mereka menggunakan ketuhanan sebagai kedok.

Kanibalisme dan upaya pemerkosaan menghadirkan horor dan trauma mendalam bagi Ellie—yang terasa kian mematahkan hati berkat akting menawan Ramsey.

Simpulan pengujung kisahnya sekilas memang menghangatkan. Itu terlebih saat Joel mengimplikasikan bahwa bukanlah waktu yang menyembuhkan lukanya, melainkan Ellie. Namun, kelanjutan hubungan mereka tak pernah terasa sama lagi.

Bukan hanya soal dinamika yang kini berbalik (Joel jadi lebih banyak cakap, sementara Ellie merespons sekenanya), tapi juga menjadi relasi yang dilandasi kebohongan. Malahan, itu menyerupai hubungan ayah-anak yang toksik—yang sialnya, bisa dipahami setelah melihat sepak terjang Joel sepanjang 9 episode.

Infografik Misbar the last of us

Infografik Misbar the last of us. tirto.id/Quita

Jenis Patah Hati yang Berbeda

Sialnya, itu ending yang memang bisa dipahami. Joel mengabaikan kemanusiaan demi ego kebapakan, menafikan greater good demi kebersamaan semu. Apakah itu ending yang bisa dimaklumi adalah lain soal, kita mungkin perlu menanyakannya pada para ayah.

Untuk saat ini, The Last of Us tidak memilih penyelesaian yang betul-betul wholesome—terutama jika dikaitkan pada intensi Ellie yang condong untuk menyelamatkan dunia kendati harus mengorbankan diri. Dan itu rada menyakitkan, sekalipun bila kita menginginkan Joel dan Ellie terus bersama.

Dari perspektif yang lain, terlebih untuk kisah sepopuler ini, ending yang tidak wholesome itu justru jadi penyegaran. Ia menimbulkan jenis patah hati yang berbeda dari biasanya, sekaligus membuka kans untuk season kedua.

Berbagai pertimbangan yang muncul di kepala penonton dari cara berlanjutnya hubungan Joel dan Ellie, toh, bermuara pada satu hal: alih-alih kekurangan, ini malahan karena kisahnya dikemas sedemikian baik.

Kekurangan” mungkin bisa ditujukan pada kurangnya penjelasan klasifikasi para Infected (apa itu Clickers, Bloaters, dsb.) atau penjelasan yang kerap kali seadanya, seperti soal berapa lama manusia yang terinfeksi bakal bertransformasi dan menggila.

Dengan kisah yang disusun secara cermat, “kekurangan” juga mungkin bisa ditujukan pada aspek teknis yang lebih remeh. Semisal bagaimana mungkin mereka masih bisa menyetel kaset berusia puluhan tahun tanpa kusut atau mengeok?

Atau, bagaimana serial berulang kali “menyembunyikan” adegan tergigitnya karakter oleh Infected. (Mereka baru menyadarinya setelah para Infected berhasil dimatikan, yang terasa jadi cepat usang ketika ditunjukkan berulang kali.)

Sebagai orang yang hanya pernah menonton sebentar seorang rekan memainkan gimnya, saya tak memiliki pembanding seberapa jauh narasinya diubah atau diperluas. Yang pasti, mendapati kisah ini sampai ke medium yang lebih mudah dicapai adalah kabar baik.

Saya menikmati heningnya dunia, jalanan Amerika yang lengang tanpa banyak bebunyian. Komposisi gubahan Gustavo Santaolalla dan David Fleming hanya masuk saat terjadi sesuatu dan itu sesuai fungsinya—terkadang mencekam atau bahkan jadi begitu menyayat seperti saat Joel membantai Fireflies.

Komposisi petualangannya pas dengan porsi bonding kedua karakter utamanya yang menyenangkan berkat adegan-adegan subtil berkesan. Serial ini masih pula ditopang skrip rapi bermuatan sederet kelakar. Salah dua episodenya berlangsung lebih dari satu jam, tapi saat tak perlu bertele-tele, ia tak ragu menyajikan cerita hanya dalam durasi 40an menit.

Di samping penulisan, akting menawan para aktor, desain dunia dan makhluknya, ada pula kejelian dalam pemilihan sutradara yang tepat untuk menangani setiap episodenya. Jasmila Žbanić, yang berpengalaman menggarap kisah manusia yang memperjuangkan keluarga dalam Quo Vadis, Aida? (2020) turut menangani satu episode. Sementara itu, dua episode terakhir yang bermuatan horor psikologis diserahkan pada Ali Abbasi yang piawai menangani tema serupa dalam karya-karyanya seperti Border (2018) dan Holy Spider (2022).

Gairah para pembesut serial ini terasa tertuangkan sepenuhnya dalam menghadirkan adaptasi yang tak seadanya, yang memikat untuk disaksikan secara binge watching (bila kau tak kelewat lama terhanyut merenungkan setiap episode yang baru lewat).

Ini 2023 dan mungkin tak banyak yang bisa dirayakan. Paling tidak, belum terjadi pandemi akibat mutasi jamur dan kita masih disuguhi tontonan sebaik ini. Sebuah serial yang pantas untuk gembar-gembornya, layak menjadi perbincangan luas, dan wajar bila menjelma judul serial baru terbesar di riuhnya gelanggang serial TV hari-hari ini.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi