Menuju konten utama

The Greatest Showman: Ambisi Berlebihan Membuat Film Musikal

Selain musiknya yang terlalu RnB dan Hip-hop—bahkan terlalu dance pop—untuk tahun 1800-an, The Greatest Showman punya banyak keganjilan lain.

The Greatest Showman: Ambisi Berlebihan Membuat Film Musikal
The Greatest Showman. FOTO/20th Century Fox

tirto.id - Popularitas The Greatest Showman susah dibantah.

Meski banyak kritik pedas menguliti film terbaru aktor kenamaan Hugh Jackman—yang tenar sebagai Wolverine di film-film X-Men ini, kesuksesannya tak bisa dipungkiri. Untuk film yang bujetnya $84 juta, The Greatest Showman langsung tembus Box Office mencapai angka $264,2 juta hanya dalam waktu singkat.

Di Indonesia sendiri, The Greatest Showman masih tayang di bioskop hingga hari ini. Dari semua film Hollywood yang tayang di waktu bersamaan atau hampir bersamaan pada Desember lalu—sebut saja Wonder, Ferdinand, Jumanji: Welcome to The Jungle dan beberapa lainnya—Showman adalah yang paling lama bertengger di bioskop; pertanda kalau pengelola bioskop reguler Indonesia masih melihat ceruk untung dari film musikal ini.

Setelah menontonnya, tak heran kalau The Greatest Showman jadi kesukaan banyak orang. Ia memang diciptakan agar demikian, dengan sengaja. Dan itu sangat amat kentara.

Pertama, protagonis utamanya diperankan Jackman—yang bukan cuma dikenal sebagai Wolverine—tapi juga aktor Triple Thread yang punya catatan sukses di sejumlah film musikal dan panggung Broadway: tampan, bersuara merdu, lincah menari, dan bertubuh atletis. Les Misérables (2012) adalah salah satu film musikal Jackman yang sangat sukses.

Dia juga menyanyi di film Happy Feet (2006), Oklahoma! (1999), dan Broadway 4D (2015). Jackman juga pernah masuk nominasi Aktor Terbaik di Oscar, menang di Piala Golden Globe dan Tony Award. Semuanya karena kariernya sebagai aktor musikal. Sebelum film ini punya sutradara, Jackman sudah lebih dulu dipilih distributornya, 20th Century Fox.

Kedua, naskah film ini ditulis oleh Bill Condon, sutradara Dreamgirls, film adaptasi dari Broadway yang sukses besar pada 2006 silam. Dreamgirls mengantarkan lagu Listen dari Beyonce jadi lagu populer di seluruh festival nyanyi di dunia, dan aktris-penyanyi Jennifer Hudson mendapat Oscar pertamanya. Condon juga sutradara di balik film musikal yang sukses tahun lalu, Beauty and The Beast. Keahliannya menggarap film musikal di Hollywood jelas bukan isapan jempol belaka.

Ketiga, semua lagu-lagu dalam The Greatest Showman diciptakan oleh duo Benj Pasek dan Justin Paul—dalang di balik lirik-lirik syahdu dalam La La Land—film musikal lain yang sukses jadi perhatian dunia, setidaknya sepanjang 2016.

Keempat, adalah tema yang dipilih 20th Century Fox dan Michael Gracey, sang sutradara. Naskah yang ditulis Condon bersama Jenny Bicks (terkenal sebagai penulis naskah Sex and The City) ini terinspirasi dari kisah Phineas Taylor Barnum, seorang pengusaha sirkus pada tahun 1800-an. Jackman ditunjuk memerankannya.

Dalam film ini, PT Barnum digambarkan sebagai suami dan ayah yang ambisius ingin membahagiakan istri dan dua anak perempuannya. Setelah kena pemangkasan karyawan, Barnum sempat bingung tentang bagaimana melanjutkan hidup.

Singkat cerita, ia akhirnya meminjam uang ke bank untuk membeli sebuah museum bekas yang kelak dirombaknya jadi tempat sirkus. Dalam proses itu, Barnum digambarkan cerdik dan tangkas. Ia selalu dapat ide dari situasi-situasi kepepet. Menunjukkan ketajaman insting bisnisnya, sekaligus cara pikirnya yang selalu berhasil mengubah keadaan negatif jadi peluang positif.

Sirkus Barnum lalu diisi oleh orang-orang berpenampilan unik: manusia jangkung, berbulu, albino, obesitas, wanita berjanggut, kembar dempet, dan lainnya.

Dengan karakter-karakter ini, Gracey kentara sekali ingin membawa filmnya ke ranah politis—seperti yang dilakukan kebanyakan film Hollywood belakangan. Tujuan pertamanya bisa saja memang ingin menunjukkan bahwa The Greatest Showman punya pesan moral yang cocok dengan penonton masa kini—cocok dengan situasi politik dewasa ini. Namun, alasan lainnya bisa jadi cuma demi mendongkrak angka penonton—tak lebih dari cerita cari untung belaka.

Lalu, kira-kira di mana posisi The Greatest Showman?

Buat saya, film ini cuma ambisi berlebihan membuat film musikal yang sukses. Mengapa? Sebab ramuan-ramuan di atas benar-benar tak bisa dimungkiri berhasil meraup perhatian banyak penonton. Lagu-lagu karangan duo Pasek dan Paul terbukti ramah di kuping, membuat “This is Me”, lagu pamungkas yang bercerita tentang penerimaan diri—salah satu tema lagu populer generasi ini—masuk dalam tangga lagu-tangga lagu dunia di Billboard dan Spotify. Orang-orang tak peduli betapa ganjilnya jenis musik dance pop dengan nuansa RnB dan Hip-hop macam demikian hadir di film berlatar 1800-an—saat Cher, penyanyi pertama yang pakai autotune saja belum lahir.

infografik the greatest showman

Tema film ini yang kelihatan ingin merayakan perbedaan juga disambut Generasi Y dan Z dengan baik. Akting bagus Jackman juga menguatkan tema tersebut, membuat orang-orang juga tak peduli siapa sebenarnya Barnum—karakter adaptasi itu—yang justru dicatat sejarah 180 derajat berbeda. Selain seorang penipu, sang pengusaha sirkus itu lebih senang mengeksploitasi orang-orang berbeda ketimbang merayakan perbedaan itu sendiri.

Contoh mengerikan yang paling tenar adalah kasus Joice Heth—seorang perempuan buta yang tubuhnya lumpuh sebagian. Oleh Barnum, perempuan keturunan Afrika itu diklaim berumur 161 tahun dan merupakan pengasuh George Washington, Presiden Amerika Serikat. Selain dijadikan “bahan sirkus”-nya, mayat mendiang Heth diotopsi Barnum secara terbuka untuk ditonton orang-orang.

Karakter keji Barnum itu diperhalus Gracey berkali-kali lipat. Barnum versi Jackman memang penipu dan orang yang tamak: menambah-nambahi angka timbangan orang obesitas dalam sirkusnya, menyuruh orang paling jangkung memakai enggrang, dan melarang para pemain sirkusnya masuk ke pesta “orang kulit putih” karena malu pada penampilan mereka. Namun, Barnum dalam film akhirnya meminta maaf pada para pemain sirkusnya dan dilambangkan sebagai pemersatu mereka-yang-berbeda.

The Greatest Showman bisa saja membodohi generasi yang memang wajar tak mengenal wajah asli Barnum. Namun, parahnya, Gracey melakukan improvisasi tolol lain: Ia menambahkan karakter Philip Carlyle, partner Barnum mengelola sirkus yang hadir sekadar untuk menampilkan kisah cinta beda ras. Tokoh ini terlibat hubungan cinta dengan Anne Wheeler (Zendaya), salah satu pemain sirkus keturunan kulit hitam. Sayangnya kisah itu cuma dieksplorasi sepintas lalu, menimbulkan kesan ‘agar-ada-saja’. Persis seperti karakter pemain sirkus lainnya, yang sebenarnya adalah simbol perbedaan yang ingin dirayakan film ini.

Namun tak satu pun dari mereka yang karakterisasinya digali lebih dalam daripada Barnum. Bahkan Keala Seatle yang membawakan ‘This is Me’ dengan apik, cuma jadi perempuan berjanggut belaka. Durasi 1 jam 45 menit tak cukup untuk mengeksplorasi karakter-karakter beragam itu kecuali cuma untuk menempatkan mereka sebagai penari latar. Mempertebal The Greatest Showman sebagai film yang dirayakan, ditulis, dan disutradarai oleh pria kulit putih.

Zach Efron dan Zendaya—aktor Triple Thread lain yang juga punya sejarah karier musikal sukses—pun mungkin cuma dipajang Gracey sebagai umpan belaka, demi menarik barisan penggemar mereka untuk menonton film ini. Untuk sebuah ambisi membuat film musikal sukses, ramuan Gracey nyatanya berhasil. Namun, bukan berarti harus mengubah karakter horor macam Barnum jadi malaikat pemersatu. Rasanya seperti menyebut Donald Trump sebagai orang paling hormat pada perempuan.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf