Menuju konten utama
Misbar

The Diplomat, Kerja-kerja Diplomasi Berbumbu Spionase

Apa yang dilakukan para diplomat dan politisi di balik layar krisis internasional? The Diplomat mengurainya dengan bumbu masalah keluarga dan spionase.

The Diplomat, Kerja-kerja Diplomasi Berbumbu Spionase
The Diplomat. FOTO/Netflix

tirto.id - Tak ada yang rela mengalah untuk mengganti judul; Dua serial TV berjudul The Diplomat sama-sama mulai ditayangkan pada 2023 ini. Judul pertama ialah serial TV Inggris yang ditayangkan di platform Alibi, sementara The Diplomat yang satunya lagi produksi Amerika yang ditayangkan di Netflix.

Untuk menghindari kebingungan, saya perlu bilang bahwa artikel ini bakal membahas soal The Diplomat yang kedua.

The Diplomat rekaan Debora Cahn bermula ketika Kapal Royal Navy Inggris diterjang serangan misil yang menewaskan 41 awaknya. Kate Wyler (Keri Russell), seorang petugas hubungan luar negeri yang tadinya hendak diutus ke Afghanistan, mendadak dialihtugaskan menjadi duta besar Amerika Serikat untuk Kerajaan Inggris. Meredakan krisis internasional sekalian memperkuat aliansi strategis AS-Inggris menjadi tugasnya.

Kate menerima penugasan mendadak itu dengan ogah-ogahan. Padahal, tensi tinggi geopolitik dan intrik internasional telanjur menantinya di London.

Hubungan Antarnegara, (Pada Dasarnya) Hubungan Antarmanusia

Satu hal utama yang bikin Kate enggan menjadi dubes adalah karena orang-orang tak betul-betul menerima masukannya. Saran yang ditolak atau diplomasi yang mental jadi makanannya sehari-hari.

Poin serupa ditegaskan suaminya, Hal Wyler (Rufus Sewell), seorang eks dubes yang kini sibuk mencari posisi baru di pemerintahan. Dalam pidato menyoal diplomasi, dia berujar, “teruslah bicara kepada siapa saja.” Cara itu bisa gagal berkali-kali, tapi yang penting lakukanlah sampai berhasil.

Itu menjadi momen pengungkapan perbedaan perspektif di antara keduanya. Hal yang sibuk menjalin koneksi dan lobi-lobi di belakang layar seolah membayangi istrinya yang tengah mendapat penugasan krusial. Sang suami yang mantan diplomat itu punya pesona tersendiri, semacam kemampuan untuk membuat orang lain merasa penting.

Sementara itu, Kate jelas cerdas pula dilimpahi wawasan bermanfaat. Namun, gaya bicara yang blak-blakan hingga rambut yang kerap acak-acakan tak banyak membantunya di panggung tertinggi politik.

Ironisnya, sebaik apa pun keduanya berkomunikasi—yang merupakan tugas utama diplomat—dalam waktu bersamaan, tetap nyaris tak punya kekuatan untuk menyelamatkan pernikahan mereka. Ketimpangan relasi kuasa dan insekuritas diri yang menyertai Kate kian diperburuk seksisme yang tertanam di sekitar lingkungannnya, termasuk di kancah teratas politik.

The Diplomat memberi porsi yang cukup besar untuk menampilkan orang-orang berjabatan tinggi sebagai manusia dengan egonya masing-masing—plus tensi seksual di sana-sini.

Satu momen unik terjadi pada episode 6, ketika para pejabat tinggi itu harus menginap dalam rumah yang sama lantaran berlarutnya formulasi strategi menghadapi Iran dan Rusia. Saat itulah momen kepala pemerintahan mencari kudapan tengah malam di dapur atau mendatangi pejabat negara lain di kamarnya berlaku laiknya drama rumahan. Itu juga bisa dilihat sebagai momen yang menampilkan sisi personal mereka.

Momen yang disebut terakhir sekaligus menegaskan sahihnya Kate dan UK Foreign Secretary Austin Dennison (David Gyasi) sebagai love interest. Itu poin tak terelakkan akibat intensitas kuat mereka dan perubahan situasi internasional (maupun rumah tangga).

Dinamika hubungan Kate dan Austin bisa saja dibaca sekadar soal sempitnya kolam percintaan bagi mereka yang 24/7 mengurusi negara. Yang pasti relasi itu berkembang perlahan seiring bergulirnya plot, menempatkan keduanya dalam posisi yang sama rentannya saat kepentingan negara dan individu membaur.

Dengan lugas keduanya saling mengisi. Selalu menempatkan negara di depan, senantiasa punya langkah-langkah jitu untuk membuat kepala pemerintahan masing-masing tidak merasa tolol—ini setidaknya dua kali ditunjukkan, dalam rapat soal Rusia dan negosiasi dengan Prancis.

Sejauh ini, Kate dan Austin seakan menjelma duet protagonis sebagaimana laiknya Inggris dan AS ingin dipandang dunia—kendatipun karakter-karakter lainnya, seperti Hal Wyler atau bahkan Perdana Menteri Inggris, bisa jadi lebih pas sebagai personifikasi dunia kedua negara.

Menyisipkan Elemen Kejutan dalam Plot

Kisah di balik layar peristiwa atau konflik internasional tentu berpotensi menjemukan. Normalnya, kisah para serdadu yang kapalnya diledakkan atau rentetan reaksi yang mengikutinya tentu lebih menarik di atas kertas. Apa enaknya menyaksikan langkah-langkah para diplomat dalam situasi mendesak, rutinitas mereka mematuhi (atau mengabaikan) protokol, dan kerja-kerja kantoran para politikus dalam setelan formal?

The Diplomat nyaris terlempar ke sana. Nyaris saja, sampai kau mendapati pola dalam pergerakan plotnya condong membuktikan sebaliknya.

Belum diketahuinya pelaku pemboman menjadi kuncinya.

Sebagian besar episodenya akan terdengar seperti duo Amerika-Inggris menuding Iran, Rusia, China, atau siapa pun yang bukan sekutu mereka. Kate lantas masuk untuk menguji dan membantah tudingan-tudingan tak berdasar itu. Baik dengan mengonfrontasi kepala pemerintahan, seperti Presiden AS maupun PM Inggris, atau menjalin koordinasi dengan karakter-karakter penting seperti Deputy Chief of Mission Stuart Hayford dan CIA Station Chief Eidra Park (masing-masing dimainkan dengan solid oleh Ato Essandoh dan Ali Ahn).

Hingga akhirnya, terduga pelaku justru mengerucut pada orang dalam, yakni PM Inggris sendiri, dan keterlibatan kontraktor tentara bayaran. Ini bukan twist yang baru dalam banyak kisah fiksi konflik geopolitik, tapi paling tidak menjadi pilihan aman untuk tak kian meruncingkan relasi antaraliansi di dunia nyata.

Untuk sampai ke tahap itu, The Diplomat menampilkan muatan-muatan laiknya kisah spionase. Formula ini berulang kali ditampilkan melalui kongkalikong Kate dan Austin, pertemuan rahasia dengan Dubes Iran, atau bagaimana Kremlin mengutus Kate ke “pertemuan dalam pertemuan”--momen genial yang secara sadar menampilkan potensi panjangnya keluhan Rusia (atau dunia internasional) terhadap kebijakan dan kompas moral AS sebagai negara adidaya.

Saat terasa tak terjadi apa-apa dalam ragam hambarnya drama kantor pemerintahan, The Diplomat rutin menyiapkan setidaknya satu momen tak terduga di setiap episodenya. Dari Kate yang “meledak” di pekarangan rumah dinasnya hingga akhirnya ledakan betulan pada episode finale.

Ledakan bom (dan ledakan fakta) yang sama memberikan cliffhanger besar pada akhir season pertamanya.

Infografik Misbar The Diplomat

Infografik Misbar The Diplomat. tirto.id/Tino

Main Aman Seraya Tetap Mencoba Menghibur

Siapa yang meledakkan bom di mobil? Bagaimana nasib karakter-karakter utama di sekitar ledakan? Lebih lanjut, apa pula yang hendak disampaikan Merritt Grove kepada AS? Apa benar PM Inggris sendiri arsitek di balik serangan misil yang meledakkan kapal perang negaranya? Motif macam apa yang diusungnya?

Pertanyaan-pertanyaan yang terang bakal memantik beredarnya teori dan diskusi di internet. Sederet pertanyaan serupa yang membuat season kedua The Diplomat layak dinantikan. Tanpa cliffhanger yang monumental semacam itu, sulit melihat kelanjutannya masuk ke dalam daftar tontonan di masa depan.

Ekspansi plot yang demikian dan pengemasannya yang rapi nyatanya efektif untuk membetot perhatian mereka yang peduli dengan ceritanya. Pasalnya, serial ini mulanya terasa seperti jalinan kisah yang kurang bumbu. Dengan durasi 40-an menit sampai nyaris satu jam per episode, tersebar sejumlah sekuens yang bisa dilewatkan, yang terkesan hadir untuk memadatkan struktur cerita.

Perlu sedikit waktu untuk menerima arahnya, begitu pun sifat naratifnya. Dengan segala kejutannya, dengan pendekatan humornya yang rada teredam—meskipun ini pendekatan yang masuk akal ketika menampilkan kisah orang-orang penting di panggung terpenting.

Pada satu waktu, The Diplomat terasa cukup menyepelekan salah satu poin plotnya: kematian Dubes Iran. Isu superserius macam demikian seakan diakhiri begitu saja dengan konklusi serangan jantung dan diterima siapa pun.

Ia juga langsung melemparkan karakter utamanya ke dalam konflik besar-serius, plus memberikan Kate iming-iming posisi di luar perkara diplomasi: Wakil Presiden AS. Ini bisa jadi mengecewakan mereka yang mengharapkan serial ini lebih menyoal para diplomat secara keseluruhan, alih-alih satu sosok dengan plot yang tak melulu soal kerja-kerja diplomasi, malahan menempatkannya dalam kelindan bingkai besar drama politik.

The Diplomat tidak benar-benar “wah”, tapi tetap punya suasana khas. Di banyak titik, ia terasa generik, tapi cukup disertai nuansa dan iklim pekerjaan ini (terutama perihal “optik” dan impresi antarnegara untuk setiap keputusan). Ada langkah-langkah dengan motif yang jelas dari berbagai pihak dan, pastinya, angle segar soal perang atau konflik internasional.

Dialog-dialognya bisa digolongkan cerdas, dengan diksi “berkelas” yang seringkali mudah dipahami. Pilihan tepat karena sebagian penonton bakal sulit menikmatinya jika seluruh percakapannya disajikan dalam bahasa politik tingkat tinggi.

Seluruhnya dibawakan dengan meyakinkan, nyaris alami, oleh para aktor utamanya. Keri Russell yang kendati bisa jadi figur bos-tak-tertahankan bagi para stafnya, tetap terlihat manusiawi menampilkan Kate sebagai perempuan yang selalu berada dalam bayang-bayang suaminya.

Sementara itu, Rory Kinnear sebagai PM Inggris Nicol Trowbridge, tampak cukup logis dengan apa pun motif tersembunyinya. Ia serius, tapi rada komikal. Hampir terasa seperti perannya di Our Flag Means Death. Dan pastinya, Rufus Sewell jadi pemeran paling pantas untuk karakter Hal yang selalu mencuri perhatian pada setiap momen. Dia sejatinya hanya tampil di belakang, tapi senantiasa punya trik tak terduga di balik lengan bajunya.

Pada akhirnya, serial ini tampil relevan dengan situasi terkini berdasarkan dunia nyata. Meski penggambarannya rada berlebihan, ia cukup memberikan bayangan tentang kerja-kerja balik layar ketika peristiwa internasional terjadi. Sedikit cita rasa spionase dan relasi antarpersonal jadi bumbu yang bikin serial ini, walau rada panjang, jadi tontonan yang tak mubazir.

Baca juga artikel terkait SERIAL NETFLIX atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi