Menuju konten utama
Misbar

The Banshees of Inisherin, Ramuan Tragikomedi Martin McDonagh

Kisah getir hubungan dua orang kawan akrab berlatar kehidupan datar pulau kecil Inisherin. Boleh jadi karya McDonagh paling lengkap sejauh ini.

The Banshees of Inisherin, Ramuan Tragikomedi Martin McDonagh
FILM THE BANSHEES OF INISHERIN. FOTO/IMDB

tirto.id - Bagaimana cara mengakhiri hubungan platonik?

Di waktu-waktu terkini, kita menemukan banyak cara. Mulai dari mengabaikan chat atau tak menghiraukan ajakan ketemuan. Semuanya lebih mudah lagi jika kau tumbuh dan menjalani hidup terpisah dari teman dan rekan, bersembunyi di balik “kesibukan”.

Namun, metode macam tampaknya lebih sulit dilakukan di pulau kecil yang nyaris tak ada apa-apa, di mana setiap orang mengenali seluruh penduduk dan rutinitasnya. Temanmu barang tentu itu-itu saja, yang pasti akan kautemui setiap jam 2 siang di satu-satunya pub di pulau.

Terkadang mengakhiri hubungan macam itu bisa saja sama ringkasnya dengan pemutusan hubungan romantis.

"Aku hanya tak menyukaimu lagi," ujar Colm kepada Pádraic yang pernah menjadi kawan baiknya. Begitu saja.

Akan tetapi, The Banshees of Inisherin adalah film karya Martin McDonagh, sutradara yang kerap menyingkap hubungan antarmanusia melalui gaya black comedy, satire, hingga tragikomedi. Pasti ada suatu—atau beberapa—hal yang bakal terjadi.

Peliknya Memutus Hubungan

Gambar-gambar menawan diambil sinematografer Ben Davies. Ia menyajikan potret pulau kecil Inisherin (pulau fiktif di Irlandia) yang hijau dan indah, mengoptimalkan kemegahan alam berupa tebing-tebing batu menjulang perkasa di atas laut, sekaligus menampilkan kesan terpencil, lagi kecil, terhadap penghuninya.

Di pulau kecil itu, Pádraic (Colin Farrell) tinggal di rumah sederhana bersama saudarinya, Siobhan (Kerry Condon), dan keledai mereka, Jenny. Suatu saat, dia mendapati teman akrab satu-satunya, Colm (Brendan Gleeson), tak lagi menghiraukannya. Sang sohib tak lagi mau mendengar Pádraic bercerita panjang-lebar selama 2 jam soal benda yang ditemukannya di tahi keledai—atau tahi kuda poni atau apa pun.

Banshees berjalan tenang dengan pembukaan yang terkesan datar. Sesederhana kisah keseharian warga Inisherin yang biasa-biasa saja ditingkahi musik Celtic folk dan bir hitam mengalir tiada henti menuju kerongkongan. Di seberang pulau—tepatnya di mainland Irlandia, perang sipil tengah berkecamuk.

Perang yang sama kelak memecah masyarakat Irlandia selamanya. Namun selain sebagai metafora, ia tak punya banyak fungsi lain bagi perjalanan kisah hubungan kedua sahabat di Inisherin.

Colm mengklaim cerita-cerita Pádraic sama sekali tak membantunya. Dia malah menuding kawannya itu bukan main membosankan. Sebagai musisi folk tua, Colm hanya menghendaki ketenangan seraya menggubah komposisi terbarunya.

Terlepas dari itu, Colm sendiri seakan menyimpan sesuatu di balik sikapnya yang tiba-tiba menafikan Pádraic.

Kegetiran kisah hubungan dua orang itu diselingi sederet kekonyolan di sekelilingnya. Salah satu sumber kekonyolan itu adalah kelakuan Dominic (Barry Keoghan) alias pemuda yang dicap paling bego seantero pulau. Juga melalui kalimat-kalimat quotable diselingi dialog-dialog lucu dalam bilik pengakuan hingga tipu-tipu Pádraic terhadap seorang mahasiswa musik.

Tak kalah lucu pastinya adegan di pub, tatkala Pádraic mengonfrontasi Colm soal keretakan hubungan mereka yang berlanjut menjadi adu perspektif. Colm berdalih bahwa manusia hanya dikenang atas karyanya—tak ada yang bakal mengenangmu bila kau “hanya” menjadi orang baik semasa hidup.

Sementara itu, Pádraic berargumen bahwa seperti halnya seni, kebaikan juga tak lekang (buktinya, dia tak tahu siapa itu Mozart).

Kata-kata paling jujur bisa datang dari congor orang mabuk. Berkatnya, barang sebentar kita diberi pengharapan akan pergeseran film menuju arah yang “lebih damai”. Momen yang sama juga barangkali mendorong penonton mempertanyakan ulang persepsi mereka terhadap awal kisah.

Mulanya, memang terasa lumrah untuk mendukung keputusan Colm (bahkan menganggap Pádraic sebagai karakter yang annoying dan kelewat putus asa dalam berteman). Namun, ia tak lagi sesimpel itu. Pertanyaan-pertanyaan Pádraic terhadap dirinya sendiri atas perubahan drastis kawannya mendadak kian valid, sudah bukan sekadar perkara dirinya tak lagi disukai.

Pilihan Colm akan judul komposisi terbarunya, The Banshees of Inisherin, memberi lebih banyak lapisan pada narasi. Bukan sekadar karena kata “Banshee” (roh perempuan dalam kisah rakyat Irlandia) cocok dipadupadankan dengan “Inisherin”, melainkan bahwa Banshee kini tak lagi membawakan pesan kematian.

Bagi Colm, “tugas” sang roh telah selesai. Banshee kini hanya mengamati. Ia tak lagi perlu meneriakkan pesan kematian lantaran mungkin ia sudah tak perlu diramalkan, tatkala orang-orang bisa menghadirkannya sendiri, kapanpun, terhadap orang lain maupun diri sendiri.

Pasang-surut upaya damai keduanya baru kian terang arahnya pada pertengahan film, ketika Colm membuktikan ucapannya selama ini bukalah gertak sambal belaka. Dan itu bukan sekadar keinginan lepas dari Pádraic semata, melainkan juga puncak keputusasaannya sebagai seniman dari tempat terpencil.

Pulau kecil minim fasilitas dengan peluang nyaris nihil menjadi latar sempurna untuk kisah yang ditulis McDonagh. Ini kembali ditekankan dengan tetap berangkatnya Siobhan menuju mainland Irlandia. Meski tengah dilanda perang, tapi menurutnya orang-orang di sana "tak segetir dan segila di Inisherin".

Bahwa di tempat di mana kehidupan tampak bisa dijalani dengan tenang, ketidakberdayaan nyatanya demikian mencekik.

Infografik Misbar The Banshees of Inisherin

Infografik Misbar The Banshees of Inisherin. tirto.id/Tino

McDonagh Melunak dan Menguat

Peluang dan kesempatan tentu tak sepenuhnya absen di Inisherin, tapi itu juga jelas tak semelimpah seperti di kota besar. The Banshees of Inisherin menyoroti aspek di mana individu kreatif seperti Colm menyongsong hilangnya harapan bila berada di tempat yang tak mendukung, sekalian soal kesepian akut yang dialami Pádraic, serta pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan upaya untuk tetap terkoneksi yang bisa membelok ke arah yang tragis.

McDonagh menghadirkannya dalam penuturan yang lebih lambat dan santai, kalau bukan melunak, ketimbang karya-karya terdahulunya (bisa dikatakan lebih dekat dengan In Bruges ketimbang Seven Psychopaths). Ada lebih banyak ruang untuk mengeksplorasi perubahan batin manusia, baik berangkat dari situasi maupun domisili. Namun, ia tetap mampu menghadirkan unsur “kegilaan”.

Ditingkahi score yang kuat dari Carter Burwell dalam menggambarkan Inisherin dalam bebunyian. Muram dan acap melankolis, kadang menyiratkan keangkeran tertahan, mengimbangi cerianya musik folk yang beberapa di antaranya betul-betul dimainkan Brendan Gleeson.

Bila ada penulis sekaligus sutradara yang mampu memaksimalkan penampilan Brendan Gleeson dan Collin Farrel, tentu itu McDonagh. Baik raut tak tertebak dari nama pertama dan ekspresifnya nama terakhir sebagai lelaki-desa-sederhana, maupun pertukaran dialog dan caci antara keduanya bisa jadi tak bisa lebih mantap lagi.

Tambahkan Kerry Condon yang cukup sukses memainkan karakternya secara utuh, menerjemahkan cela karakter-karakter di sekitarnya sebagai manusia. Sebagai penyempurna jajaran pemeran, ada Barry Keoghan yang mampu mencuri perhatian dengan gestur-gestur canggung atau kelancangan demi menutupi kerentanannya dalam meraih afeksi di pulau terpencil itu.

The Banshees of Inisherin pantas berada di jajaran film terbaik tahun ini. Sebuah pengalaman sinematik yang apik dan bisa juga dibilang salah satu karya paling lengkap sang sutradara sejauh ini.

Baca juga artikel terkait BANSHEES OF INISHERIN atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi