Menuju konten utama

Terusir dari Kampung Halaman, Kristen Rohingya Dipersekusi di India

Pengungsi Kristen Rohingya di India diusir, dipersekusi, putus sekolah, dan kehilangan pekerjaan.

Terusir dari Kampung Halaman, Kristen Rohingya Dipersekusi di India
Pengungsi etnis Kachin di Tanai, Myanmar. FOTO/REUTERS

tirto.id - Kehidupan para pengungsi Rohingya di India mendadak serba sulit. Sejak Agustus 2017 lalu pemerintah berencana mendeportasi mereka. John Sultan (24) dan Mohd Ismail (20) adalah dua pemuda Rohingya yang pada akhir Desember 2017 lalu ditemui oleh The Indian Express di pengungsian Vikaspuri, Delhi barat, India.

Di tengah percakapan, mereka tiba-tiba beralih dari bahasa Rohingya ke Hindi (bahasa resmi India). Alasannya, “Kami tidak ingin tetangga baru kami bertanya-tanya bahasa apa yang kami pakai untuk berkomunikasi sehingga memunculkan kecurigaan dari mana kami berasal… kami mungkin juga harus meninggalkan daerah ini,” kata Sultan.

Sultan adalah seorang pemuda Kristen Rohingya yang datang ke Delhi pada 2013 setelah kampung halamannya di Rakhine bergejolak. Sebelumnya, ia dan Ismail mengungsi ke Vikaspuri, lalu tinggal di desa Mundka, distrik Delhi barat bersama dengan 34 keluarga Kristen Rohingya lainnya. Tetapi rencana deportasi yang diumumkan pemerintah India benar-benar berhasil mengusik ketenteraman kehidupan pengungsi Rohingya.

Pada November 2017 kepolisian setempat meminta para pengungsi Rohingya di desa Mundka untuk mengisi formulir verifikasi status kewarganegaraan. Para keluarga Kristen menduga hal inilah yang membuat para penduduk desa setempat takut. Mereka khawatir bakal berurusan dengan kepolisian kelak karena di desanya ada pengungsi Rohingya.

“Mereka (warga) meminta kartu identitas kami. Kami memberikan kartu pengungsi sebagai gantinya. Tapi mereka tidak menerimanya. Mereka bilang tidak bisa membiarkan kami menyewa rumah,” tutur Ismail ikut menjelaskan situasi puluhan keluarga Kristen Rohingya yang kembali terusir.

Sementara Ashish (40), pemilik properti yang menyewakan tempat kepada 34 keluarga Kristen Rohingya sejak tahun lalu mengaku terpaksa mengusir mereka karena mendapat tekanan warga.

"Saya tidak punya masalah [dengan pengungsi], tetapi tetangga menekan saya ... Mereka ketakutan karena para pengungsi Rohingya adalah orang luar dan punya nama Muslim. Saya menyerah dan meminta mereka pergi.” tutur Ashish.

Kesaksian lain dari Rashidullah (22) mengatakan bahwa para warga melakukan persekusi dengan merusak tenda-tenda pengungsian. "Mereka bilang semua orang Rohingya adalah Muslim dan harus minggat. Padahal, kami sudah masuk Kristen sejak 2004," aku Rashidullah, seorang pemuda yang kesehariannya berprofesi sebagai penarik becak. Ia juga mengatakan bahwa para warga memukuli pengungsi.

Di tempat pengungsian yang baru, keluarga Kristen Rohingya menjalani kehidupan yang lebih sulit. Anawar (14) mengaku tidak bisa lagi sekolah dalam seminggu terakhir sejak terusir dari desa Mundka. Sultan sendiri yang mulanya bekerja di pabrik kardus selama empat tahun terakhir didepak oleh bosnya sejak November 2017 lalu ketika sang bos mengetahui berita rencana pemerintah India bakal mendeportasi pengungsi Rohingya.

Dilansir dari The Wire, Kabir Ahmad, ketua komunitas pengungsi Kristen Rohingya menyebutkan bahwa sejak pemerintah mewacanakan deportasi, para pengungsi yang dalam empat tahun terakhir mengantongi dokumen resmi pengungsi Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) terpaksa menanggung cap ilegal dan dianggap meresahkan masyarakat sekitar.

Ahmad mendesak agar UNHCR melakukan intervensi. “Jika UNHCR tidak melakukan apa-apa untuk melindungi kami, kami yang berjumlah 170 orang ini mau tak mau harus minggat dari India,” ujarnya.

Sebagaimana dilansir Eurasian Times, sebanyak 120 pengungsi Kristen Rohingya juga tinggal di daerah Uttam Nagar, Delhi barat. Lingkungan mereka pun dilengkapi gereja.

Tuduhan Imigran Gelap

India cenderung tidak ramah bagi pengungsi Rohingya sejak Agustus 2017. Ketika itu pemerintah India yang dini dikuasai partai ultranasionalis Hindu Bharatiya Janata mengumumkan akan mendeportasi 40.000 pengungsi Rohingya keluar dari India.

Pada 18 September 2017, pemerintah meminta agar Mahkamah Agung (MA) mensahkan rencana deportasi. Alasan pemerintah: para pengungsi Rohingya bisa mengancam keamanan nasional. Seperti diwartakan Reuters, pemerintah berdalih bahwa beberapa pengungsi punya hubungan dengan kelompok-kelompok teror di Pakistan.

Sejak itu sidang MA terus bergulir, termasuk dari pihak Rohingya yang mencari keadilan dengan melaporkan balik rencana deportasi tersebut. Sementara di pihak pejabat dan kepolisian terlebih dahulu memprovokasi dan membuat situasi tidak lagi aman.

Dilansir dari The Hindu, pada September 2017, Menteri Dalam Negeri India Rajnath Singh mengatakan bahwa Muslim Rohingya adalah imigran gelap dan bukan pengungsi yang telah mengajukan permohonan suaka di India. Pada praktiknya, Kristen Rohingya tak luput dari sasaran empuk.

Pernyataan Singh bertolak belakang dengan sikap H.L Dattu selaku Ketua Komnas HAM India. Pensiunan hakim itu setidaknya masih melihat Rohingya sebagai manusia yang perlu dibantu karena alasan kemanusiaan setelah dianiaya di kampung halamannya, Rakhine, Myanmar.

Infografik Myanmar vs kristen rohingya

Pihak kepolisian India lebih semangat lagi. Mereka mulai menyambangi pengungsi Rohingya dan mendata status kewarganegaraan mereka.

Di sisi lain, rencana deportasi pemerintah terganjal Konvensi PBB tahun 1989 untuk Hak Anak yang telah diratifikasi India pada 1992. Walhasil, karena terdapat 12.000 anak-anak, pemerintah tak dapatmendeportasi para pengungsi.

Keputusan sidang lanjutan Mahkamah Agung terbaru pada 9 April 2018 mewajibkan pemerintah India menyerahkan laporan rinci tentang kondisi kehidupan keseluruhan di kamp-kamp Rohingya di India. Laporan itu harus dierahkan dalam waktu empat minggu. Laporan yang sama juga mesti menjawab apakah pengungsi memiliki akses ke kebutuhan dasar manusia seperti air minum, toilet, pendidikan dan perawatan kesehatan.

Sidang berikutnya telah ditangguhkan hingga 9 Mei 2018 mendatang setelah penyerahan laporan tentang kondisi kehidupan di kamp-kamp Rohingya. Dilansir dari Dhaka Tribune, pada 19 Maret lalu MA memerintahkan pihak berwenang untuk memastikan keberadaan fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi para pengungsi.

Pelanggaran hak asasi manusia (termasuk di dalamnya kebebasan beragama) oleh militer, gerakan nasionalis Buddhis dan etnis Burma di Myanmar tak hanya menimpa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine dalam beberapa tahun terakhir. Etnis minoritas lain seperti etnis Kachin yang ada di negara bagian Kachin turut mengalami hal serupa.

Seperti yang dilaporkan CBN News pada 19 April silam, tokoh masyarakat dari etnis Kristen Kachin membutuhkan perhatian medis lantaran sekitar 2.000 warga sipil termasuk wanita hamil dan lansia terperangkap di hutan. Mereka semuanya melarikan diri guna menghindari bentrokan antara tentara nasional dan gerilyawan Kachin di Myanmar bagian utara.

Gerilyawan Kachin umumnya tergabung dalam Tentara Kemerdekaan Kachin. Sama seperti kelompok bersenjata etnis minoritas lainnya, mereka telah berjuang sejak 1961 melawan pemerintah Myanmar. Sejak 2011, pertempuran gerilyawan Kachin dan militer kembali dimulai dengan berakhirnya 17 tahun perjanjian gencatan senjata. Ratusan orang meninggal dan lebih dari 100.000 warga sipil mengungsi.

Baca juga artikel terkait KASUS PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf