Menuju konten utama
17 Juli 1994

Terpana pada Barat, Sutan Takdir pun Meninggalkan Kebudayaan Usang

Gerak pujangga.
Mempersatukan bangsa
lewat bahasa.

Terpana pada Barat, Sutan Takdir pun Meninggalkan Kebudayaan Usang
Sutan Takdir Alisjahbana (11 Februari 1908-17 Juli 1994). tirto.id/Sabit

tirto.id - “Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru.”

Kalimat itu diucapkan Sutan Takdir Alisjahbana dengan penuh keyakinan. Ia salah satu pendiri majalah Poedjangga Baroe yang gemas dengan stagnasi kesusastraan lama. Menurutnya, kesusastraan lama tidak berkembang mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat.

Sumber utama semangat perubahan itu, bagi Takdir, adalah kebudayaan Barat. Dalam pandangannya, pengaruh Barat adalah sebuah keniscayaan.

“Kedatangan bangsa Barat di negeri ini dalam segala hal membawa perubahan,” tulisnya dalam Perjuangan Tanggungjawab dalam Kesusastraan (1977).

Ia merasa ganjil jika kesusastraan yang hendak membayangkan jiwa suatu bangsa dalam segala hal tidak terkena pengaruh tersebut. Takdir lalu menyebut bahwa kesusastraan Melayu dengan bentuk-bentuknya yang tradisional, selama ini tumbuh sendiri dan tersembunyi di balik tembok yang tiada dapat dilalui angin. Betapa rapatnya.

Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa prosa Melayu lama diibaratkan sebuah sungai yang telah dikuasai manusia: tak ada gelora, tiada arus deras yang menghantam, dan senantiasa tenang.

“Sungai yang tepinya telah bersemen, liku dan belok-beloknya telah diluruskan, dalamnya telah disamakan, lekuk-lekuknya telah diperbaiki dan di sana-sini telah dipasang pematang yang indah dan rapi. Hujan di hulu tiada mengesan, musim kemarau airnya tiada berubah," tulisnya.

Dalam amsal yang lain, Takdir menyebut prosa Melayu seperti kuda yang sudah dikekang, ia telah jinak sejinak-jinaknya. Penunggangnya bisa mengantuk-ngantuk duduk di atas pelana. Ia sudah tahu jalan kudanya.

Perumpamaan-perumpamaan telengas tersebut menurutnya lahir karena para pengarang prosa lama kerap tak menjelmakan perasaan dalam dirinya, tapi sekadar menguraikan dan menerangkan perasaan itu. Ia menambahkan bahwa bentuk uraian perasaan pun telah beribu kali memakai bandingan-bandingan yang itu-itu saja. Misalnya: bibir seperti delima merekah, umur setahun jagung, dan sebagainya.

“Bukan sekali-kali kami hendak mengatakan, bahwa cara menyusun cerita, cara memilih perkataan itu buruk sekaliannya!” tegas Takdir.

Selamat Tinggal Peradaban Usang

Keranjingan Takdir terhadap budaya Barat, menurut Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), membuat ia menggambarkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan sedang mengalami proses evolusi di bawah pengaruh Barat.

Evolusi itu, menurut Takdir, adalah perubahan tatanan masyarakat yang semula berdasarkan kolektivisme, beralih ke tatanan lain berdasarkan konsep individualisme. Ia pun mendesak agar para seniman mengakui dan menjadi bagian dari kenyataan baru itu.

Takdir juga mengusulkan pembagian yang tegas antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Dan pengaruh ini hendak ia diterapkan juga dalam kesusastraan, salah satunya terhadap puisi.

Ia berpendapat bahwa pengakuan bagi usaha penemuan keaslian puisi tidak ada dalam masyarakat tradisional. Puisi dibacakan dan dinyanyikan sekadar untuk hiburan, pengantar makan dan minum, atau bercakap-cakap.

“Sebagai hiburan niscaya mengandung cerita yang memikat, sebagai pengiring acara lain niscaya mengenakkan telinga. Masyarakat tradisional tidak memperhatikan puisi di luar cerita yang dikandungnya dan di luar musik yang dihidangkannya: kebanggaan terhadap mutu orisinalitas dan kepribadian tidak diperlukan,” tulisnya.