Menuju konten utama

Terpaksa Bayar Asuransi Meski PP Tak Mengaturnya

Ombudsman RI menengarai pembayaran Asuransi Bhakti Bhayangkara sebagai ladang pungutan liar. Para pemohon pembuat SIM merasa wajib membayar biaya asuransi tersebut. Padahal peraturan pemerintah jelas tak mensyaratkan asuransi sebagai kewajiban.

Terpaksa Bayar Asuransi Meski PP Tak Mengaturnya
Seorang warga mengikuti tes ujian berkendara untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) di Riau Safety Driving Centre di Kota Pekanbaru, Riau, Rabu (7/1). Pemerintah pada tahun ini akan menaikan tarif pembuatan SIM A, B, dan C dari Rp80.000-Rp120.000 menjadi Rp300.000 untuk menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak. [ANTARA FOTO/FB Anggoro/Rei/mes/15]

tirto.id - “Petugas Polri di Satpas mengarahkan pengguna layanan untuk terlebih dahulu membayar asuransi di loket yang telah tersedia.”

Begitu salah satu kalimat di dalam laporan investigasi Ombudsman RI berjudul “Perbaikan dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Surat Izin Mengemudi Pada Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi (SIM) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Pada Mei lalu, tim investigasi Ombudsman RI memang menemukan praktik pungutan liar di beberapa Satpas SIM, salah satunya Kantor Satpas SIM Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Hingga kini, pungutan liar berbentuk asuransi itu pun masih berlangsung. Asuransi Bhakti Bhayangkara (ABB) masih berada dan masuk dalam mekanisme pembuatan SIM.

Nanang, warga Buaran, Jakarta Timur, sama sekali tak mengetahui fungsi dan manfaat kartu berwarna kuning baru saja dia ambil di loket asuransi tempat dia membuat SIM di Daan Mogot, Jakarta Barat. Kartu itu ternyata kartu Asuransi Bhakti Bhayangkara (ABB).

Pada proses awal mengurus SIM, Nanang harus membayar biaya administrasi sebesar Rp100 ribu dan kemudian diarahakan untuk membayar asuransi sebesar Rp30 ribu. Tidak ada penjelasan dari petugas. “Satu SIM asuransinya bayar Rp30 ribu. Jadi saya bayar Rp60 ribu," kata Nanang yang membuat SIM A dan SIM C, saat berbincang dengan tirto.id, di Satpas SIM Daan Mogot, pada Jumat (12/8/2016).

Selain Nanang, ada juga Ahmad Hasan Khalid, warga Cibubur, Jakarta Timur. Berbeda dengan Nanang, dia sempat menanyakan kepada petugas di loket ABB mengenai biaya asuransi tersebut.

Petugas di loket ternyata hanya memberi jawaban singkat. ”Petugas loket bilang 'harus', demi menjaga diri si pemegang SIM jika terjadi hal yang tidak diinginkan,” kata Ahmad.

Sebenarnya, asuransi ABB bukan sesuatu hal yang wajib bagi setiap pembuat SIM. Namun kenyataannya, keberadaan asuransi tersebut seolah masuk dalam mekanisme proses pembuatan SIM. Sehingga pembuat SIM merasa wajib untuk membayar asuransi yang nilainya Rp30 ribu, baik untuk SIM A maupun SIM C.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang “Kendaraan dan Pengemudi”, pada pasal 217 ayat 1, tidak ada penjelasan jika pembuat SIM harus mengikuti asuransi. Dalam pasal itu dijelaskan, syarat pemohon pembuat SIM adalah mengajukan permohonan tertulis, bisa membaca dan menulis, mengetahui pengetahuan peraturan lalu lintas dan teknik dasar kendaraan bermotor. Kemudian memenuhi syarat usia minimal, terampil mengemudikan kendaraan bermotor, sehat jasmani dan rohani serta lulus ujian teori dan praktek.

Dalam peraturan itu sama sekali tak tertulis mengenai kewajiban pembuat SIM harus mengikuti asuransi. Namun, pada praktiknya justru berbanding terbalik. Hingga kini aktivitas yang disebut pungutan liar oleh Ombudsman itu masih berlangsung.

Terselubung dalam Satpas

Pungutan asuransi SIM ini terkesan “wajib” karena loket asuransi. Misalnya di Satpas SIM Polda Metro Jaya di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, yang menampung warga se-Jakarta untuk mengajukan dan memperpanjang SIM. Di Satpas SIM Daan Mogot ini, loket ABB berada di areal Satpas sehingga menjadi bagian dalam pembuatan SIM. Apalagi para pembuat SIM diarahkan untuk ikut ABB.

Secara letak, ruangan asuransi itu berada di dalam area pembuatan SIM. Kebanyakan pembuat SIM yang ikut asuransi juga tak diberi informasi kegunaan dan manfaat asuransi tersebut. Dari beberapa orang pembuat SIM yang ditemui, mereka tak mengetahui jika asuransi itu sifatnya tak wajib diikuti.

Mereka hanya mengikuti alur pembuatan SIM, termasuk membayar asuransi karena dianggap bagian dari proses pembuatan SIM di Satpas Daan Mogot. “Pas dibilang harus bayar, ya saya ikut saja," kata Nanang, salah seorang pembuat SIM di Satpas SIM Daan Mogot.

Adrianus Meliala, Komisoner Ombudsman sudah memperingatkan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) mengenai temuan ini. Kepada Adrianus, Kakorlantas Brigadir Jenderal (Pol) Budi Maryoto berjanji akan segera menginstruksikan jajarannya untuk segera memindahkan loket Asuransi Bhakti Bhayangkara dari lingkungan Satpas SIM.

“Minggu lalu saya mengirim SMS kepada Kakorlantas, mengingat asuransi itu tidak juga pindah dari lingkungan Satpas. Kakorlantas berjanji akan segera menyelesaikannya,” ujar Adrianus.

Sementara Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal (Pol) Indrajit saat ditemui tirto.id di kantornya, tidak bisa memberikan komentar. Dia mengarahkan untuk menemui Kepala Bidang Registrasi dan Identifikasi Korlantas Polri, Komisaris Besar Refdi Andri.

Menurut Refdi, keberadaan ABB di setiap Satpas SIM di Kepolisian tak wajib diikuti. Dia pun menegaskan jika keberadaan ABB tidak masuk dalam mekanisme pembuatan SIM. "Sebenarnya asuransi itu kan adalah perjanjian antara kedua belah pihak. Jadi tidak ada kewajiban," ujar Refdi.

Direktur Umum PT Asuransi Bhakti Bhayangkara, Inspektur Jenderal (Purn) FX Bagus Ekodanto mengatakan hal serupa. Menurutnya tidak ada paksaan bagi setiap pembuat SIM untuk ikut ABB. Dia juga meluruskan temuan Ombudsman mengenai ABB yang disebut sebagai pungutan liar. “Enggak, ini seperti Asuransi Pelangi. Jadi tidak diwajibkan. Yang mau ikut saja,” ujar Bagus Ekodanto.

Baca juga artikel terkait ASURANSI SIM atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mahbub Junaidi
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti