Menuju konten utama

Teror Depopulasi: Saatnya Benahi Sistem Pensiun & Layanan Lansia

Bappenas proyeksi perlambatan penduduk dan depopulasi. Namun, sistem layanan lansia di RI masih jauh dari kata mumpuni.

Teror Depopulasi: Saatnya Benahi Sistem Pensiun & Layanan Lansia
Header Depopulasi. tirto.id/Quita

tirto.id - Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan melambat mulai waktu dekat hingga akhirnya menyentuh 0,3% pada 2050 mendatang.

Jika ramalan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa ini benar-benar terjadi, maka patut bagi Pemerintah RI untuk segera membenahi sistem pensiun serta fasilitas yang lebih baik bagi warga lanjut usia (lansia).

Belum lama ini, Suharso membeberkan ke publik bermacam skenario yang bisa memengaruhi masa depan demografi Indonesia.

Satu di antaranya disebut tren tanpa ada kebijakan, di mana total fertility rate – estimasi jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita selama reproduksi – turun hingga 1,9. Di saat yang sama, infant mortality rate – angka kematian bayi – justru mencapai 7,85.

Dalam skenario di atas, rata-rata pertumbuhan populasi selama 2020-2050 hanya tercatat 0,67% dengan kecenderungan turun. Bahkan lajunya diyakini bisa menyentuh 0,43% pada 2045 mendatang. Sehingga total penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 324 juta jiwa atau bertambah 54,42 orang sejak 2020.

Saat waktu itu tiba, predikat Indonesia selaku populasi terbanyak keempat di dunia bakal digeser oleh Nigeria. Peringkat negara kita akan merosot ke urutan enam di bawah Pakistan. Sementara Tiongkok, India dan Amerika Serikat tetap berada di deretan tiga teratas. Namun, ini bukan ajang perlombaan penduduk terpadat.

Lebih dari itu, ada persoalan serius yang berpotensi memicu bom waktu di masa depan. Komposisi penduduk akan segera mengalami pergeseran dan konsisten berlangsung dalam waktu relatif lama. Dua dekade lagi, jumlah mereka yang berusia rentang 0-14 tahun akan menyusut drastis, sedangkan yang berumur lanjut semakin ramai.

Pada 2020 lalu, persentase penduduk usia di bawah 15 tahun tercatat sebanyak 24,5%, sedangkan penduduk yang sudah berumur lebih dari 65 tahun berjumlah sekitar 6,16%. Komposisi ini kemudian mengalami pergeseran pada 2045, sehingga masing-masing menjadi 19,61% dan 14,61%. Bahkan, porsi penduduk lansia akan menyentuh 16% pada 2050.

Dengan adanya pergeseran, maka persentase penduduk usia produktif yang awalnya 69,2% pada 2020 lalu menjadi susut di bawah 65% pada 2050 mendatang. Jika tidak diantisipasi secara holistik, maka situasi itu akan menimbulkan bencana baru bagi negara. Khususnya untuk sektor ketenagakerjaan dan sosial yang berujung pada perlambatan perekonomian.

Bercermin dari Langkah Tiongkok

Cina, negara berpenduduk terpadat di dunia, yang sebelumnya menetapkan kebijakan pembatasan jumlah kelahiran anak, merasakan ancaman depopulasi penduduk lebih dini.

Untuk diketahui, pada tahun 2015 pemerintah Tiongkok memutuskan untuk menghapuskan kebijakan “satu anak” yang telah berlaku sejak tahun 1979. Kemudian pada tahun 2021, pemerintah justru menggaungkan kebijakan “tiga anak.”

Melansir dari laporan Statista, pergantian kebijakan tersebut tidak memberikan dampak signifikan pada kenaikan angka kelahiran di Negeri Panda tersebut.

Itulah sebabnya Tiongkok bersungguh-sungguh menempuh langkah preventif demi mencegah krisis demografi karena tren depopulasi mulai menghantui negaranya.

Dilansir dari Reuters yang mengutip kantor berita Xinhua, Tiongkok telah mengeluarkan panduan ke semua provinsi untuk membangun sistem perawatan lansia dasar mulai 2025. Sistem itu dibentuk pemerintah guna menjamin masa depan penduduk di masa tua saat uang pensiun tergolong kecil.

Dalam pedoman tersebut, pemerintah daerah wajib menerapkan daftar layanan perawatan lansia berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti tingkat perkembangan ekonomi serta keuangan. Layanan yang dimaksud antara lain bantuan materi, perawatan dan pengasuhan.

Otoritas juga harus menyediakan layanan kunjungan dan perawatan untuk lansia yang tinggal sendiri serta untuk keluarga yang kesulitan finansial. Pemerintah harus memberikan subsidi lantaran uang pensiun mereka sejatinya kurang untuk membayar panti jompo yang mahal.

Pada 2010 lalu, jumlah penduduk Tiongkok yang berusia di atas 65 tahun masih tercatat sebanyak 8,87%. Persentasenya kemudian meningkat drastis menjadi 13,5% pada 2020. Saat ini, penduduk lansia mereka berjumlah 280 juta orang. Namun pada 2035 mendatang, jumlahnya akan mencapai 400 juta orang.

Jika itu terjadi, maka Tiongkok akan membutuhkan setidaknya 40 juta unit tempat tidur tambahan di panti jompo, melonjak signifikan dibanding saat ini yang hanya 8 juta unit. Di sisi yang sama, ada 11 dari 31 yurisdiksi tingkat provinsi di Cina mengalami defisit anggaran pensiun dan diproyeksi akan habis pada 2035.

Selain itu, pemerintah provinsi pun diminta untuk mulai membenahi sistem pensiun dasar sejak dini dan menerapkan layanan jaminan perawatan jangka panjang yang berhubungan dengan asuransi hingga kesejahteraan lansia.

Semua dilakukan Tiongkok demi mencegah tren depopulasi yang kelak menjadi bencana di kemudian hari.

Infografik Depopulasi

Infografik Depopulasi. tirto.id/Quita

Gambaran Sistem Pensiun dan Fasilitas Lansia RI

Berdasarkan data Statista, rasio ketergantungan lansia terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2035 mendatang, rasio ketergantungannya diramalkan mencapai 15,6%.

Indonesia akan menjadi satu di antara negara yang menua secara demografis atau aging population. Tingkat fertilitas dan mortalitas akan menurun sedangkan rasio ketergantungan orang tua dan harapan hidup bertambah. Beranjak dari perkiraan itu, sudah sewajarnya pemerintah juga menempuh langkah pencegahan yang sama seperti Tiongkok.

Sebab menurut penelitian, ada banyak hal yang masih perlu dibenahi. Dalam Kajian Grand Design Sistem Pensiun Nasional Dalam Rangka Penguatan Perlindungan Sosial di Hari Tua dan Akselerasi Akumulasi Sumber Dana Jangka Panjang (2022), Ronald Yusuf dkk menyimpulkan bahwa sistem pensiun di Indonesia belum berjalan dengan baik.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa desain dari program-program pensiun saat ini belum memenuhi keseluruhan aspek adequate atau kemanfaatan, affordable atau keterjangkauan, lalu sustainable atau kesinambungan, dan robust atau ketahanan.

Ada sejumlah indikator yang menunjukkan kelemahan pada desain program pensiun di Indonesia, baik itu yang tergolong wajib maupun sukarela.

Dari sisi kepesertaan, program pensiun saat ini relatif hanya mencakup pekerja formal, itu pun dengan tingkat partisipasi rendah. Hingga akhir 2021 lalu, hanya sekitar 40% pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta.

Kemudian dari sisi adequacy, equality dan fairness. Ketiganya termasuk masalah krusial karena nilai manfaat yang kelak diberikan program pensiun belum mampu menjamin perlindungan optimal sebagai sumber penghasilan yang berkesinambungan bagi masyarakat di hari tua.

Selain itu, total aset kelola dari seluruh program pensiun di Indonesia sangat rendah. Per 31 Desember 2021, jumlahnya hanya 6,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara kita. Persentase itu jauh di bawah Australia dan Kanada yang sudah mencapai 150% dari masing-masing PDB. Begitu pula dibanding dengan Malaysia yang tercatat 65%.

Tata kelola dan kebijakan investasi program pensiun merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, diperlukan perbaikan secara mendasar pada sistem saat ini, baik yang bersifat wajib maupun sukarela. Apalagi Indonesia akan segera menghadapi pergeseran demografi ke aging population.

Bukan hanya sistem pensiun, Pemerintah RI juga harus segera membenahi layanan atau fasilitas untuk kalangan lansia. Dalam laporan riset berjudul Kondisi Kesejahteraan Lansia dan Perlindungan Sosial Lansia di Indonesia (2020), Eka Afrina Djamhari dan sejawat menarik beberapa kesimpulan.

Sebanyak 63% lansia memiliki keluhan masalah kesehatan. Kebanyakan dari mereka biasa berobat ke Puskesmas yang pelayanannya belum merata di setiap daerah. Padahal, kondisi kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan lansia untuk bersosialisasi di tengah masyarakat.

Sementara itu, jika dianalisa berdasarkan kerangka kesejahteraan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sekitar 63% lansia tinggal dalam tiga generasi dan termasuk dalam kelompok ekonomi 40% terbawah. Sebanyak 73% lansia juga tidak memiliki sumber pendapatan yang pasti dan hanya 4% yang memiliki jaminan pensiun.

Bagi mereka yang masih bekerja, sektor informal seperti berdagang dan bertani adalah mayoritas pilihan, sebab ketersediaan lapangan bagi kalangan mereka sangat terbatas bahkan nyaris tidak ada. Oleh sebab itu, rata-rata memiliki pendapatan maksimal Rp500 ribu per bulan tanpa perlindungan sosial ketenagakerjaan.

Sebagian besar lansia memiliki aset berupa rumah meskipun tidak sedikit dalam kondisi tidak layak huni. Selain itu, kondisi sanitasi serta ketersediaan air bersih juga tergolong buruk. Di sisi lain, cakupan program perlindungan sosial untuk mereka masih terbatas.

Bantuan kepada lansia mayoritas berasal dari program-program pengentasan kemiskinan pemerintah pusat, meski belum ada alokasi khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama ini, bantuan untuk lansia difasilitasi dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang nilainya rata-rata hanya Rp100 ribu-Rp200 ribu per bulan.

Dalam pelaksanaannya, program bantuan untuk kalangan lansia mengalami banyak hambatan dan memerlukan perbaikan. Di sisi hulu, pemerintah pusat dan daerah masih belum berkomitmen kuat. Di sisi hilir, kendala disebabkan masalah administrasi, basis data, keterbatasan anggaran, dan fasilitas pendukung.

Selama ini, kesejahteraan lansia diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 yang sejatinya sudah tidak relevan lagi dengan situasi sekarang. Wacana untuk merevisi sudah tersiar sejak beberapa tahun lalu. Namun faktanya, perbaikan regulasi itu tidak masuk dalam daftar 39 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Baca juga artikel terkait PENDUDUK atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas