Menuju konten utama

"Terhalangnya RUU Perlindungan PRT Potret Feodal"

Terlunta-luntanya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi sebuah simbol bagaimana negara memperlakukan pekerja kelas bawah. Bertahun-tahun mereka bekerja tanpa perlindungan hukum. Anggota Dewan yang seharusnya mewakili rakyat juga tak tergerak untuk membahasnya.

Lita Anggraeni, koordinator nasional Jala PRT. tirto/kresna

tirto.id - Sudah sejak 12 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) masuk ke DPR. Beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tak juga dibahas oleh anggota dewan untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang. Padahal, PRT di negeri ini belum terlindungi. Ratusan PRT menjadi korban tindak pidana kekerasan.

Lita Anggraeni, Koordinator Nasional Jala PRT, yang mengawal RUU ini pun geleng-geleng kepala. Dia nyaris kehabisan akal dan cara untuk memberikan pemahaman kepada para wakil rakyat agar segera merampungkan RUU tersebut. Apa saja yang sudah dilakukan Lita dan para aktivis untuk memperjuangan RUU tersebut? Berikut wawancara Mawa Kresna dari tirto.id dengan Lita Anggraeni, di Kantor ILO Jakarta, pada Kamis (23/6/2016).

Seberapa mendesak RUU Perlindungan PRT segera disahkan menjadi undang-undang?

Sudah sangat mendesak. Kita punya banyak PRT yang selama ini tanpa perlindungan. Mereka ini kelompok yang sangat rentan. Kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Setiap tahun, kasus yang didampingi Jala PRT dan jaringan kami di dalam negeri ada 400-an. Belum kasus di luar negeri. Herannya, sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda disahkan. Kita sudah 12 tahun mengawal RUU tersebut. Sejak tahun 90-an kita sudah rancang dengan teman-teman aktivis.

Apa sebenarnya kendala utamanya?

Kami sudah berupaya dengan banyak cara. Melakukan lobi dan mendesak agar disahkan. Tapi juga tidak ada solusi. Kendalanya memang ada di pemangku kebijakan. Ada 'wajah majikan' di mana-mana. Anggota DPR, pejabat publik dan pemangku kepentingan, mereka semua itu majikan. Tentu hal ini menjadi kendala. Kami semakin mendapat kejelasan, bahwa RUU ini memang tidak dikehendaki oleh para majikan.

Terhalangnya RUU Perlindungan PRT mencerminkan potret feodal. Kami menyesalkan kalau seorang Menteri Ketenagakerjaan yang seharusnya memperjuangkan perlindungan terhadap PRT, justru mengatakan RUU ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Seharusnya seorang menteri memiliki kapasitas dan tahu betul prinsip standar kerja yang layak. PRT saja sampai sekarang belum diakui sebagai pekerjaan.

Apa saja yang sudah dilakukan untuk mendorong lahirnya UU Perlindungan PRT?

Kami selama ini bergerak bersama dengan jaringan lain. Sejak RUU ini masuk ke DPR, kami terus mengawalnya. Kami juga melakukan lobi ke fraksi-fraksi agar segera meloloskan RUU ini. Kami setiap tahun juga melakukan aksi. Kami harus memberikan pemahaman kepada anggota DPR supaya bisa memahami apa pentingnya RUU ini. Banyak cara sudah kami lakukan. Kami sampai bingung bagaimana menjelaskannya.

Apa saja yang menjadi poin penting di dalam RUU Perlindungan PRT?

Pertama soal pengakuan bahwa PRT adalah pekerjaan dan diakui oleh negara. Kedua, perlindungan atas keseimbangan antara PRT dengan pemberi kerja. UUD 1945 jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan sesuai dengan harkat, martabat dan asasinya sebagai manusia.

Secara spesifik, apa yang nantinya diatur dalam RUU tersebut?

Yang diatur itu di antaranya soal perjanjian kerja. Perjanjian kerja harus jelas, apa kewajiban PRT, apa kewajiban majikan. Harus seimbang. Di dalam itu nanti termasuk jam kerja, libur seminggu sekali, upah sesuai UMR, cuti 12 hari per tahun, THR, jaminan sosial dan kesehatan, serta kondisi kerja yang layak. Kami juga memasukkan agar ada perlindungan terhadap pekerja anak. Batas usia minimum adalah 18 tahun. Para PRT juga harus dijamin haknya untuk berserikat.

Lebih untuk kepentingan PRT?

Tidak hanya perlindungan terhadap PRT, tapi juga untuk majikan atau pemberi kerja. Mereka juga nanti mendapat hak untuk mengetahui identitas dan latar belakang PRT. Mereka juga berhak mendapatkan hasil kerja sesuai dengan kesepakatan.

Saat ini RUU Perlindungan PRT hanya sekedar masuk daftar tunggu untuk dibahas. Apa yang harus dilakukan?

Kami akan terus mendesak agar RUU Perlindungan PRT menjadi prioritas. Kami tentu akan memperbaiki draf terakhir agar implementatif. Kami juga siap berkompromi. Sejak awal, soal upah kami juga tidak memaksa untuk langsung UMR. Tapi secara perlahan harus disesuaikan. Tapi ada juga beberapa hal yang tidak akan kami kompromikan. Yaitu soal pengakuan dan perlindungan, jaminan kesehatan, perjanjian kerja dan pemenuhan hak dasar. Itu harus ada.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti