Menuju konten utama

Tere Liye Putuskan Kontrak Penerbit Gara-gara Pajak Penulis

Tere Liye tidak melanjutkan kontrak untuk penerbitan 28 judul bukunya di dua penerbit besar karena persoalan pengenaan pajak bagi profesi penulis yang dinilai terlalu besar.

Tere Liye Putuskan Kontrak Penerbit Gara-gara Pajak Penulis
Tere Liye. FOTO/Istimewa.

tirto.id - Langkah penulis novel Tere Liye untuk memutuskan kontrak dengan penerbit baru-baru ini sempat menjadi bahan perbincangan. Dua penerbit yang akan menghentikan penerbitan 28 judul bukunya yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika.

Keputusan ini disampaikan Tere Liye melalui akun Facebook-nya karena pajak yang dibayarkan penulis lebih besar dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter, arsitek, artis, hingga pengusaha UMKM. Dari paparan Tere Liye, penulis dengan penghasilan Rp1 miliar (belum dikurangi penghasilan tidak kena pajak/PTKP), harus membayar pajak dengan besaran hampir seperempat penghasilannya tersebut.

“Total pajaknya adalah Rp 245 juta,” katanya melalui tulisan di akun FB-nya pada Selasa (5/9/2017) malam. Menurut pemahaman Tere Liye, yang menjadi pangkal masalah karena penghasilan penulis disebut royalti sehingga dianggap super netto maka tidak bisa menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Rincian perhitungan misal untuk penghasilan Rp 1 miliar karena tanpa perhitungan NPPN, lalu dikalikan dengan pajak penghasilan progresif, yaitu 5% untuk Rp 50 juta pertama, 15% untuk Rp 50-250 juta berikutnya, lalu 25% untuk Rp 250-500 juta berikutnya, dan 30% untuk Rp 500-1 miliar. Maka total pajaknya adalah Rp 245 juta.

Pengenaan pajak bagi penulis buku yang terlalu besar ini, membuat Tere Liye memutuskan kontrak dengan penerbit dan memilih jalur online. Keputusan ini dikonfirmasi oleh CEO Republika Penerbit, Aris Hilman, bahwa Tere Liye tidak melanjutkan kontrak untuk penerbitan 15 judul bukunya.

Sebagai salah satu penyumbang terbesar bagi penjualan di Republika Penerbit, Aris menyatakan dukungan bagi penulis yang menyuarakan haknya.

“Betul, Republika Penerbit sudah bersepakat dengan Tere Liye untuk menghentikan penerbitan buku-bukunya. Ini keputusan yang patut ditangisi karena Tere Liye adalah tipe penulis produktif,” ujar Aris Hilman saat dihubungi Tirto, Kamis (7/9/2017).

Mengenai keputusan ini, Aris menyatakan memberikan dukungan kepada Tere Liye dan penulis-penulis lain agar ke depannya iklim kepenulisan di tanah air lebih baik dengan keadilan mengenai pajak bagi penulis yang dikategorikan pekerja bebas.

“Kami turut merasakan ketidakadilan beleid perpajakan terhadap penulis dibandingkan profesi-profesi lain. Jelas posisi kami bersama Tere Liye,” ujarnya.

Pernyataan Tere Liye ini juga mendapat konfirmasi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan RI melalui rilis di website resmi pada Rabu (6/9/2017).

Ditjen Pajak mengklarifikasi pembayaran pajak bagi penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Besaran NPPN ini 50% dari royalti yang diterima dari penerbit. Hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni). Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak tersebut.

Terkait sengkarut pajak yang dikenakan bagi penulis ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan penulis adalah profesi yang diakui administrasi pajak sebagai pekerja bebas. Maka perhitungan pajaknya dengan mengenakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

“Penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp4,8 miliar boleh menggunakan ini, dan penghasilan netonya diakui (deemed) sebesar 50%, baru dikurangi PTKP dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku,” ujar Yustinus kepada Tirto, Kamis (7/9/2017).

Menurut Yustinus, pangkal masalahnya terletak pada pembayaran PPh Pasal 23 atas royalti penulis buku, yang dipotong 15% atas jumlah bruto. “Memang kejam ya? Saya setuju. Umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil.,” ujarnya. Dari perhitungan tersebut, menurut Yustinus, jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun.

“Sampai di titik ini saya sepakat, tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan, supaya lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala, semesteran. Di sinilah isu fairness relevan,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait PAJAK PENULIS atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri