Menuju konten utama

Tere Liye dan Polemik PPh 23: Aturan Pajak Penulis

Yustinus Prastowo mengatakan pangkal masalah yang dikeluhkan Tere Liye terletak pada PPh Pasal 23 atas royalti penulis buku yang dipotong 15 persen atas jumlah bruto.

Tere Liye dan Polemik PPh 23: Aturan Pajak Penulis
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pengarahan saat pelantikan pejabat eselon satu Kementerian Keuangan di Jakarta, Jumat (28/7). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Penulis Tere Liye memutuskan kontrak dengan dua penerbit, yaitu: Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit terhitung sejak 31 Juli 2017. Keputusan itu diambil sebagai protes kepada pemerintah lantaran membebankan pajak terlalu besar kepada penulis.

“Keputusan ini kami ambil mengingat tidak adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis. Dan tidak pedulinya pemerintahan sekarang menanggapi kasus ini,” demikian pengumuman yang diunggah Tere Liye, di akun Facebook-nya yang diunggah, pada Selasa (5/9/2017).

Tere Liye dalam tulisan “Jalan Keluarnya Selalu Ada” yang diunggah di laman Facebook-nya membandingkan pajak yang dibayarkan penulis dengan profesi lain, seperti dokter, arsitek, artis hingga pelaku UMKM. Ia menilai pajak yang dibayar penulis lebih besar dibandingkan bidang pekerjaan lain, karena penghasilan penulis buku disebut royalti, sehingga dianggap super netto dan tidak bisa menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Terkait keluhan Tere Liye tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, perlu dibedakan antara kebijakan dan aturan pajak dengan kompleksitas bisnis perbukuan. Keduanya tidak boleh dicampur adukkan, meskipun juga tak bisa dipisahkan begitu saja.

Prastowo menuturkan, penulis adalah profesi yang diakui dalam administrasi pajak sebagai pekerja bebas, maka boleh menghitung pajak dengan NPPN. “Intinya, penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp4,8 miliar boleh menggunakan ini, dan penghasilan netonya diakui sebesar 50 persen, baru dikurangi PTKP [penghasilan tidak kena pajak] dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku,” kata Prastowo dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (7/9/2017).

Hal senada juga diungkapkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama. Pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima, wajib dikenakan pajak sesuai peraturan hukum yang berlaku.

Penghasilan yang menjadi objek pajak, kata Hestu, adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, sehingga pajak dikenakan atas penghasilan neto yang ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

Terkait perlakuan pajak yang dinilai tidak adil, Hestu menjelaskan, wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya.

Penghitungan penghasilan neto tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan NPPN yang besarnya adalah 50 persen dari royalti yang diterima dari penerbit. Ketentuan teknis penghitungan dan penggunaan NPPN itu diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).

Hestu memastikan Direktorat Jenderal Pajak menghargai setiap saran untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan, yang saat ini telah didukung oleh pelaksanaan reformasi perpajakan secara konsisten.

Baca juga: Tere Liye Putuskan Kontrak Penerbit Gara-gara Pajak Penulis

Pangkal Masalah PPh Pasal 23

Menurut Prastowo, pangkal masalahnya terletak pada PPh Pasal 23 atas royalti penulis buku yang dipotong 15 persen atas jumlah bruto. Padahal umumnya jatah royalti penulis cukup kecil, hanya 10 persen dari penjualan.

Sebagai ilustrasi, jika tarif 15 persen berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp150 juta hingga Rp250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan jual buku sekitar Rp1,5 miliar hingga Rp2,5 miliar.

Prastowo menuturkan, andai satu buku harganya Rp100 ribu, maka kurang lebih harus menjual 15 ribu eksemplar. Karena jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih memilih bayar di akhir tahun.

“Sampai di titik ini saya sepakat, tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan, supaya lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala, semesteran,” kata Prastowo.

Namun demikian, Prastowo tidak sependapat dengan Tere Liye yang secara gegabah menuding pemerintah abai. Misalnya, pada awal 2015 secara langsung ia menyampaikan persoalan pajak penulis ini kepada Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan.

“Saya ingin mengklarifikasi Tere Liye, bahwa pemerintah tidak abai, bahkan mendukung dan memperhatikan ini, sayangnya revisi UU PPh masih dalam proses. Mari kita kawal bersama,” kata Prastowo.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun merespons keluhan tersebut. Ia mengatakan pemerintah siap untuk membenahi pelayanan terkait pajak penghasilan profesi yang dikeluhkan penulis Tere Liye terlalu tinggi dan memberatkan.

“Kalau masalahnya adalah pelayanan, seharusnya itu bisa diperbaiki segera. Tidak hanya untuk penulis Tere Liye saja, tapi juga kepada yang lain,” kata Sri Mulyani, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Rabu malam.

Sri Mulyani menuturkan, persoalan pajak ini segera diselesaikan sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Pajak agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Namun, kalau persoalan pajak penghasilan ini terkait dengan tarif yang berhubungan dengan peraturan hukum, maka permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat, karena harus menunggu revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kalau ini menyangkut masalah tarif yang berhubungan dengan UU, kita harus jelaskan ini tidak mungkin kita selesaikan dalam jangka pendek,” kata Sri Mulyani menjelaskan.

Baca juga artikel terkait PAJAK PENULIS atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz