Menuju konten utama

Terbenam dan (Terancam) Tersingkir di Saukobye

Kampung adat Saukobye di Biak Numfor menjadi salah satu kandidat untuk proyek bandar antariksa. Masyarakat adat jelas menolaknya.

Terbenam dan (Terancam) Tersingkir di Saukobye
Ilustrasi HL Masyarakat Adat VS Rencana Bandar Antariksa. tirto.id/Sabit

tirto.id - Jalan menuju Kampung Saukobye di Biak Numfor, Papua tergolong sukar ditempuh bagi orang yang tak terbiasa. Perjalanan hanya bisa dilakukan melewati jalan setapak yang dikelilingi perkebunan dan rimbunnya pohon serai serta semak belukar. Kampung itu pertama kali dibangun pada akhir 1990-an, ketika tsunami menerjang bagian timur Pulau Biak pada 17 Februari 1996 yang memaksa masyarakat pesisir mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Ada 120 kepala keluarga yang kini tinggal di kampung itu.

Kampung Saukobye berjarak sekira 36 km dari Kota Biak. Di kampung adat itu ada tanah ulayat milik suku Abrauw dan Rumander. Namun hak ulayat tersebut terancam direnggut ketika pemerintah lewat Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) berambisi membangun bandar antariksa untuk peluncuran satelit. Kini LAPAN telah memiliki sekira 100 hektare tanah yang menyempil di antara tanah adat milik dua suku tadi.

Marthen Abrauw tak bisa membayangkan seperti apa nasib kampungnya jika LAPAN membangun bandar antariksa di situ. Baginya, dan semua anggota masyarakat adat, tanah tersebut menjadi sumber penghidupan yang merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang.

“Kami pertahankan kami punya wilayah dan punya sejarah turun-temurun. Sejarah membuktikan dari moyang-moyang yang hidup di atas tanah ini, sejak pertama. Itu adalah warisan buat kami,” ujar Marthen yang juga seorang mananwir atau ketua marga Abrauw.

Berdasar dokumen warga yang didapat Tirto, pada 1980 LAPAN menyurvei 100 hektare tanah tanpa pemberitahuan kepada marga Abrauw dan Rumander sebagai pemilik resmi tanah. Saat itu LAPAN bertemu dengan masyarakat Kampung Andey. Pada satu pertemuan, camat kala itu, Alimudin Sabe, mewakili pemerintah meminta warga merelakan tanah adat untuk pembangunan.

Tidak ada penjelasan dari pihak pemerintah terkait proyek bandar antariksa. Dalam ketidaktahuan, penduduk diminta pasrah.

‘Bahasa Gula-gula’

Pemerintah mengiming-imingi warga dengan lapangan pekerjaan, rumah yang diisi dengan radio dan televisi, serta air bersih, apabila pembangunan bandar antariksa terealisasi. Para warga bergeming. Iming-iming tersebut, menurut mereka, tak lebih dari ‘bahasa gula-gula.’

Lantas terjadi negosiasi antara warga dan pemerintah. Warga meminta Rp1 miliar untuk 100 hektare tanah tersebut, namun pemerintah menilai harga tersebut tak wajar.

Warbon-Saukobye

Pantai Ordori, lokasi ritual dan pohon adat keret Abrauw. Selasa, 14 Desember 2021. tirto.id/Adi Briantika.

Pada 19 Juli 1980, pertemuan LAPAN dan warga kembali digelar. Kali ini LAPAN melalui Sekretaris Daerah Kabupaten Biak Numfor Dolf Faidiban, menyerahkan Rp15 juta kepada masyarakat adat sebagai uang ganti rugi 100 hektare tanah.

Setelah itulah LAPAN mengklaim telah mengantongi surat pelepasan tanah bertanggal 22 September 1980, sedangkan warga sama sekali tak pernah terlibat dalam penandatanganan maupun penyerahan surat pelepasan tanah.

Warga dan LAPAN bertemu kembali pada 9 Februari 1994 dan 21 Agustus 2002. Namun tak ada perkembangan berarti terkait pemenuhan keadilan. Warga adat meminta pemerintah menjelaskan dampak baik dan buruk dari pembangunan bandar antariksa, meminta LAPAN buka mulut sendiri ihwal rencananya, menginginkan tidak ada keterlibatan aparat keamanan dalam perkara ini, dan mendesak LAPAN mengembalikan tanah adat.

Pada pertemuan itulah masyarakat adat Warbon baru melihat surat pelepasan tanah adat. Di surat tersebut terjadi perubahan luas tanah yang diklaim, dari 15 hektare berubah menjadi 100 hektare dalam sertifikat. Warga Warbon merasa LAPAN telah menghina dan menyembunyikan berkas tersebut.

Darius Abrauw, seorang warga, menyatakan pada tahun 1980 tidak ada penandatanganan dokumen apa pun ihwal pelepasan lahan; yang dia tahu adalah penandatanganan daftar hadir –nama mereka dipanggil dan diminta tanda tangan sesuai kolom--, dan daftar terima uang ganti rugi. Darius menduga LAPAN merekayasa penandatangan itu sebagai persetujuan pelepasan lahan adat.

Berdasar data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemkab Biak Numfor Tahun 2015 dalam bentuk Peta Wilayah Adat Marga Abrauw-Rumander, tanah yang dimiliki marga Abrauw-Rumander mencapai 2.142,2 hektare. Sekira 26 hektare di luar tanah itu digunakan untuk permukiman; 41 hektare dimiliki oleh marga Ampnir-Dimara; 56 hektare lahan LAPAN; 1,2 hektare untuk SMA; 0,4 hektare untuk Polsek Biak Utara; 0,2 hektare untuk Kantor Distrik; dan 2 hektare untuk SD Nermnu.

Infografik HL Masyarakat Adat VS Rencana Bandar Antariksa

Infografik HL Masyarakat Adat VS Rencana Bandar Antariksa. tirto.id/Sabit

Belum Ada Penetapan

Laksana Tri Handoko, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang kini menaungi LAPAN, menyatakan pihaknya hingga kini belum menetapkan Biak sebagai lokasi pembangunan bandar antariksa.

“Sampai saat ini kami belum melakukan penetapan. Biak hanya salah satu kandidat, belum ada penetapan. Di Biak dan Morotai, ada tanah LAPAN di kedua lokasi itu. Jadi, sebagai kandidat artinya dia memenuhi persyaratan secara teknis. Kami belum memilih,” katanya kepada Tirto, (10/12).

Plt. Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Erna Sri Adiningsih menambahkan, Biak dan Morotai bukan pilihan terakhir. Terkait Biak, di sana sudah ada Stasiun Bumi untuk Telemetry, Tracking, and Command (TT&C), maka penganalisisan berlangsung.

“Kajian terkait bandar antariksa ini dilakukan sejak tahun 2007. (Menentukan) lokasi itu tidak mudah, tidak hanya persyaratan teknis harus dipenuhi. Tidak hanya (hal) teknis kalau dibangun menjadi bandar, tapi juga lingkungan, kondisi sosial budaya dan sebagainya juga jadi pertimbangan,” ucap Erna. Biak jadi daerah yang pertama kali dikaji lantaran sudah ada aktivitas terkait keantariksaan di sana yang sampai saat ini masih beroperasi.

Selain Biak, LAPAN juga mengkaji di lokasi-lokasi lainnya yang memang cocok sebagai bandar antariksa ekuatorial atau dekat dengan ekuator. Tidak semua daerah memenuhi syarat, terutama daerah yang dekat dengan permukiman.

Perencanaan kegiatan keantariksaan tidak terbatas hanya untuk uji coba roket, tapi juga roket peluncur satelit. Selain Biak dan Morotai, BRIN juga mengkaji daerah di Sumatera sebagai kandidat.

“Itu sebagian dari lokasi-lokasi yang kemungkinan akan bisa ditetapkan. Kami mengkaji kemudian menyusun rekomendasi, hasil teknisnya seperti ini. Ini sesuai secara teknis, ini kurang sesuai. Hanya saja sampai saat ini pemerintah Indonesia belum menetapkan dari lokasi-lokasi yang sudah dikaji kelayakannya sebagai lokasi bandar antariksa,” jelas Erna.

Aspek yang dianalisis tidak sekadar letak geografis di sekitar ekuator, tapi juga kelayakan daerah untuk pendaratan, kondisi meteorologis dan topografis, infrastruktur, ekonomi, sosial, dan budaya setempat.

Sebagian besar bandar antariksa di dunia ini, sambung Erna, cenderung dekat dengan laut demi meminimalisir risiko jatuhnya material roket ke permukiman. Sedangkan pemilihan daerah yang dekat dengan khatulistiwa semata demi efisiensi bahan bakar.

Kendati kajian kandidat telah rampung, pemerintah masih harus menyusun rencana induk dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). LAPAN telah menyelesaikan kajian teknis di Biak sejak dimulai pada 2007, dengan pembaruan terakhir pada 2018.

Warbon-Saukobye

Alex dan Marthen Abrauw di sekitar patok LAPAN. Selasa, 14 Desember 2021. tirto.id/Adi Briantika.

Penolakan Terus Berlangsung

Meski belum ada keputusan, masyarakat adat di Biak terus menyuarakan penolakan. Pada 21 Oktober 2021, anggota masyarakat adat Warbon mengadang rombongan BRIN yang hendak menuju ke hutan adat. Jalan yang dilalui rombongan tersebut diblokade menggunakan batang-batang pohon. Para warga turut membawa poster bernada protes dengan tulisan ‘Ini Tanah Kami!’

Kepala BRIN Handoko tak ambil pusing dengan penolakan tersebut. Menurutnya BRIN siap mencari tempat lain seandainya penolakan terus menggaung.

“Pokoknya kalau tidak mau, ya, sudah. Saya cari tempat lain. Kalau saya sesimpel itu. Kami bagi-bagi kerjaan, yang dapat untung juga pemda dan masyarakat di situ. Wong tanah tak ada apa-apanya, sekarang hanya perdu-perdu saja. Jadi hutan juga tidak, sawah juga tidak, buat pertanian juga tidak bisa,” sambung dia. Bagi handoko hutan adat Warbon saat ini adalah lahan kosong tak berpenghuni.

Handoko justru mendesak agar Pemkab Biak Numfor turut proaktif mendukung program pemerintah dengan memanfaatkan potensi lahan. Handoko memahami bahwa tanah ulayat tak gampang dilepas, maka Pemkab berperan besar untuk memuluskan proyek pemerintah pusat.

“Kalau untuk kasus Biak, bahkan pemda sudah (berdialog) dengan pemangku adat. Karena itu lahan di Biak Utara itu adalah tanah ulayat. Beda dengan Morotai, kami cukup dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tapi kalau Biak Utara, hampir keseluruhan adalah tanah ulayat, sehingga pemda yang memfasilitasi. Yang saya pahami, mereka sudah menyepakati,” kata Handoko.

Bagi BRIN proyek bandar antariksa membawa dampak positif bagi suatu daerah. Selain infrastruktur pendukung yang akan menguntungkan warga, bandar antariksa akan membawa dampak positif bagi sosial-ekonomi masyarakat.

“Mau kami sinergikan begitu. Kalau jadi (menetapkan) di situ. Itu mampu memberikan dampak ekonomi yang konkret dan signifikan. Daripada kasihan, mereka tidak punya penghasilan apa-apa. Makanya [Pemkab] sangat ingin [dibangun bandar antariksa],” jelas Handoko.

Menurut Handoko, proyek bandar antariksa tersebut akan mendukung proyek satelit mandiri. Sebab menurutnya, Indonesia masih mengandalkan satelit milik negara lain yang memberatkan APBN.

“Satelit juga bisnis, bagian dari bisnis global. Kalau Indonesia ada bandar antariksa akan sangat kompetitif, akan banyak yang mau meluncurkan di sini,” terang Handoko. “Memang, bahan bakar adalah biaya terbesar dari peluncuran satelit. Negara sebesar ini, ya, harus punya bandar antariksa. Tidak mungkin kami beli terus, terlalu mahal.”

Warbon-Saukobye

Batas dusun Kampung Warbon dan Saukobye. Selasa, 14 Desember 2021. tirto.id/Adi Briantika.

***

Sebelum pulang ke Jakarta, saya mengingat lagi perjalanan menembus perkebunan dan hutan di bibir pantai di Saukobye. Cuitan nuri, ekor gunting, dan burung siang - yang merupakan satwa endemik Biak - terus menemani sejak pertama masuk hutan. Saya ditemani Aleks Abrauw saat itu. Aleks adalah anak keempat Marthen, si mananwir marga Abrauw.

“Kita mau ke mana?” tanya saya.

“Ke pohon keluarga.”

Kami tiba di sebuah hutan, dengan sebuah pohon Aisabau khas Biak yang miring sekira 45 derajat. Pohon itu hanya tumbuh di pantai saja, namun lantaran erosi populasi pohon tersebut terus berkurang.

“Dahulu, nenek moyang kami tinggal di bawah pohon ini. Rumah pertama marga Abrauw dibuat di bawah pohon ini,” tutur Aleks.

Agaknya sulit membayangkan jika kekayaan hutan tersebut terancam musnah demi peluncuran roket. Tentu ini bukan hanya perkara tanah, tapi juga kehidupan baik spiritual maupun jasmaniah. Aleks, dan mungkin banyak anggota masyarakat adat lain, jelas tak bisa membayangkan ruang hidup mereka yang terancam hilang.

“Kalau pemerintah bersikeras mau ambil, kami mau ke mana?” kata Aleks.

Liputan ini merupakan kolaborasi Tirto.id dan suarapapua.com, bagian dari fellowship ‘Peliputan Sektor Keamanan dan HAM di Papua’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.

Baca juga artikel terkait KONFLIK TANAH ADAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Indepth
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Adi Renaldi