Menuju konten utama

Terapi Konversi Gay: Klaim Selangit, Risiko Maut, Basis Ilmiah Nol

Berpijak pada asumsi yang salah tentang seksualitas manusia terapi konversi gay terus dipromosikan. Risikonya besar.

Terapi Konversi Gay: Klaim Selangit, Risiko Maut, Basis Ilmiah Nol
Ilustrasi Pseudosains dalam Terapi Konversi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pesan berisikan dorongan untuk “mengusir iblis di dalam diri” agar menjadi “normal kembali” dikirimkan kepada sejumlah aktivis dan organisasi pembela hak LGBTQ di Indonesia. Dikirim lewat DM Instagram oleh akun bernama @mohammadsusantu, pesan tersebut mencantumkan tautan situs terapikonversi.co yang menawarkan layanan terapi konversi untuk kelompok LGBTQ.

Kredibilitas situs itu masih dipertanyakan—hanya ada alamat email dan tautan ke laman Facebook yang dicantumkan di situs, tanpa ada nomor telepon resmi ataupun alamat kantor. Laman Facebook Terapi Konversi sendiri telah dibuat sejak 12 November 2020 dan memiliki lebih dari 2.000 pengikut.

Terlepas dari resmi atau tidaknya situs, pesan tersebut telah menjadi teror yang memantik trauma bagi sejumlah orang. Layanan terapi konversi yang ditawarkan situs ini termasuk “corrective rape” yang menormalisasikan perkosaan dengan tujuan agar seseorang mengalami “dunia seks heteroseksual yang indah”.

Stonewall mendefinisikan praktik terapi konversi sebagai sebuah upaya pengobatan atau psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah orientasi seksual atau identitas gender seseorang berdasarkan asumsi bahwa LGBTQ adalah sebuah penyakit kejiwaan dan dapat disembuhkan.

Hanya saja, homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan, apalagi sesuatu yang perlu disembuhkan. Sejak 1973, buku panduan diagnosis kondisi kesehatan mental Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA) telah mencabut homoseksualitas dari klasifikasi gangguan kesehatan mental.

Keputusan APA diambil berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman klinis organisasi kesehatan mental selama beberapa dekade ke belakang. Pada 1948, seksologi Alfred Alfred Kinsey dan sejumlah peneliti lain melakukan survei kepada ribuan orang yang bukan pasien psikiatri. Mereka menemukan bahwa homoseksualitas lebih umum ada di masyarakat dibandingkan kepercayaan sebelumnya. Tepatnya, Kinsey menemukan bahwa 10% populasi orang dewasa adalah homoseksual—yang kemudian dikoreksi oleh penelitian-penelitian selanjutnya menjadi 1-4%.

Pokok bahwa homoseksualitas bukan bentuk gangguan mental juga dikonfirmasi oleh hasil penelitian psikolog Evelyn Hooker yang melakukan studi kepada 30 laki-laki heteroseksual dan 30 laki-laki homoseksual pada 1950-an. Ia membandingkan hasil tes psikologi kedua kelompok tersebut, dan menemukan bahwa tidak ada tanda-tanda gangguan psikologis di kelompok laki-laki homoseksual yang berbeda dengan kelompok heteroseksual.

Jauh sebelum itu, ahli neurologi Sigmund Freud pada 1905 pun telah berargumen bahwa mustahil homoseksualitas adalah “kondisi degeneratif” karena—salah satu alasannya—kondisi ini ditemukan pada orang-orang dengan tingkat efisiensi [kerja] yang “tidak bermasalah” dan memiliki “perkembangan intelektual dan budaya etis yang tinggi”.

Di masa-masa akhir hidupnya, pada 1935, Freud kembali menuliskan bahwa “Homoseksualitas tentu tidak menguntungkan, tetapi tidak ada yang perlu dipermalukan […]; tidak bisa diklasifikasikan sebagai penyakit; kami anggap sebagai variasi dari fungsi seksual yang disebabkan oleh perkembangan seksual tertentu”.

Larangan Praktik Terapi Konversi

Terapi konversi memantik atau memperdalam rasa benci kepada diri sendiri, sehingga berisiko memantik gangguan mental seperti depresi, kecemasan, hingga perilaku merusak atau menyakiti diri sendiri.

Studi “Changing Sexual Orientation: A Consumers’ Report” (2002) mewawancarai dan mengevaluasi 202 peserta terapi konversi. Studi tersebut menemukan 176 peserta di antaranya merasa terapi ini gagal dan memiliki efek buruk jangka panjang: depresi, keinginan untuk bunuh diri, rusaknya hubungan dengan keluarga dan teman, hingga kehilangan kepercayaan terhadap agama yang mereka anut dan perasaan dikhianati oleh pemuka agama.

Dari sisa partisipan yang merasa terapi sukses, hanya 8 orang atau 3,96% yang merasa “berhasil berubah” dan tak pernah lagi merasa “tergoyang” untuk kembali menjadi homoseksual. Hanya saja, dari 8 orang tersebut, 7 di antaranya merupakan konselor terapi konversi itu sendiri.

San Fransisco State University pada 2010 pun menemukan bahwa anak-anak muda LGBTQ yang identitasnya ditolak atau melalui terapi konversi punya risiko 8,4 kali lebih besar untuk melakukan percobaan bunuh diri, memiliki tingkat depresi 5,9 kali lebih tinggi, hingga berisiko tertular HIV ataupun penyakit seksual menular lainnya 3,4 kali lebih tinggi dibandingkan anak-anak muda LGBTQ yang diterima oleh lingkungannya.

Oleh karena itu, praktik terapi konversi telah ditolak oleh berbagai asosiasi psikologi dan psikiatri. APA, misalnya, merilis lembar fakta pada 1997 yang menyatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung efektivitas terapi konversi dalam mengubah orientasi seksual seseorang.

APA juga menolak segala praktik “penyembuhan” atau “konversi” yang berbasis pada asumsi bahwa homoseksualitas adalah sebuah gangguan jiwa atau seorang pasien mesti mengubah orientasi seksualnya.

Tak hanya oleh organisasi kesehatan mental, penolakan terhadap terapi konversi juga diserukan oleh ratusan tokoh agama pada Desember 2020 lalu. Sebanyak 370 tokoh agama di seluruh dunia, Kristen, Yahudi, Islam, Buddha, hingga Sikh, meminta agar praktik ini dilarang di seluruh dunia. Salah satu pemuka agama yang ikut mendukung larangan praktik ini adalah pemenang Nobel Peace Prize Desmond Tutu.

Hingga saat ini, OutRight Action International dalam laporannya “The Global Reach of So-Called Conversion Therapy” (2020) mencatat bahwa baru lima negara di seluruh dunia yang melarang sepenuhnya praktik terapi konversi: Ekuador, Brasil, Taiwan, Malta, dan Jerman. Sementara itu, negara seperti Amerika Serikat dan Kanada baru melakukan pelarangan di sejumlah negara bagian. Ada pula negara seperti Prancis dan Inggris Raya yang sedang dalam tahap pengajuan untuk melarang praktik ini.

Indonesia

OutRight mencatat belum ada negara Asia Tenggara yang melarang sepenuhnya, sebagian, atau dalam tahap untuk melarang praktik terapi konversi.

Organisasi ini juga menyorot Indonesia yang masih kental mempromosikan dan melakukan terapi konversi. Pada 2018, misalnya, pemerintah Kota Padang meluncurkan kampanye Padang Bersih Maksiat yang salah salah satunya agendanya “mensucikan” kelompok LGBTQ melalui ruqyah. Totalnya terdapat 18 orang, 10 orang lesbian dan 8 transgender, yang dimasukkan ke dalam rehabilitasi untuk “menyembuhkan” mereka dari gangguan mental yang disebabkan oleh jin.

Ada pula yayasan Peduli Sahabat yang sejak 2014 punya misi untuk menuntun kelompok LGBTQ untuk “hidup dengan identitas heteroseksual dan tetap berada di jalan agama dan tradisi”. Begitu pula Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang punya aspirasi untuk mempertahankan nilai-nilai keluarga dan menganggap bahwa homoseksualitas merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia.

Infografik Pseudosains dalam Terapi Konversi

Infografik Pseudosains dalam Terapi Konversi. tirto.id/Quita

Padahal, Indonesia telah mengadopsi International Classification of Diseases (ICD) dan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) menjadi Pedoman dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Pada edisi ke-III yang direvisi pada 1993, disebutkan pada poin F66 bahwa, “Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan”.

Hal ini juga kembali ditekankan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialias Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Danardi Sosrosumihardjo pada 2016. Mengacu pada Undang-undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan PPDGJ, ia mengatakan bahwa homoseksual dan biseksual termasuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), tetapi ini bukanlah diagnosis.

ODMK memiliki arti orang tersebut punya risiko mengalami gangguan jiwa, berbeda dengan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang mengalami gangguan jiwa. “ODMK bukanlah diagnosis,” kata Danardi dikutip dari BBC. “Itu bisa juga, misalnya, orang sedang dalam bencana alam, orang sedang kebanjiran, orang sedang ujian.”

“Dalam profesi kami, untuk memahami lesbian, gay, dan biseksual, orientasi seksual bukan menjadi fokus diagnosisnya. Fokus diagnosis adalah apabila terjadi gangguan psikologis, gangguan perilaku pada kelompok lesbian, gay, dan biseksual. Gejala perilaku bisa terjadi dari berbagai hal, apakah itu aspek biologi, aspek psikologi, bisa aspek sosialnya. Orientasi seksual justru bukan yang menjadi fokus masalahnya.”

Klasifikasi homoseksual ke dalam ODMK ini pun masih dipermasalahkan. Pada 2016, APA menyurati PDSKI untuk meminta organisasi mempertimbangkan ulang kebijakan yang memasukan homoseksualitas ke dalam kategori tersebut.

Ini serupa dengan rekomendasi The Working Group di buletin Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 untuk mencabut kategori F66 di ICD-11 yang akan diresmikan pada 2022 mendatang.

“Orang dengan orientasi sesama jenis yang memiliki masalah kejiwaan dapat didiagnosis dengan kategori-kategori lain yang sudah ada. Klasifikasi diagnosis yang didasarkan pada orientasi seksual tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut pandang klinis, kesehatan publik, ataupun hasil penelitian.”

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Permata Adinda

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Permata Adinda
Editor: Windu Jusuf